“Papa ingin aku nikah sama laki-laki cacat itu? Papa mau menjualku? Heh, ayah macam apa Papa ini? Tega menjual anaknya demi uang!” seruku takpercaya.
“El, Papa gak punya pilihan, Papa pun berat melakukan ini, tetapi kita butuh biaya besar untuk pengobatan mama, biaya kuliah adikmu di Paris. Papa tidak menjualmu Sayang, setidaknya kamu tetap tidak akan kekurangan jika menjadi menantu utama Diamond Group,” kilahnya. Pemikiran macam apa yang ia tanamkan dibenakku.“Cukup! Papa habiskan uang Papa untuk anak tiri dan istri simpanan Papa, kenapa tidak Papa nikahkan saja dengannya!” Aku menyambar jaket tebal yang ada di ranjang, melangkah meninggalkan Papa yang terlihat semakin frustasi.Kutatap mama sejenak dan berbalik melihat Papa. “Aku tidak ingin Papa menghentikan pengobatan mama, jika masalah kuliahku aku akan mengalah, tetapi untuk mama aku tak terima,” ucapku mempertegas, kuharap papa masih memakai otaknya.Taman rumah sakit yang sunyi menjadi tempatku untuk menyendiri, menenangkan pikiran yang mulai terasa berat, berkali-kali kutarik nafas agar sedikit saja memberikan kelegaan.“Kenapa malam-malam keluar?” Dokter Sean duduk di sampingku menyodorkan sebotol minuman dengan gambar strawberry dan susu. Sejak mama dirawat, Dokter Sean menjadi teman baik untukku. Aku sering menitip mama ketika harus mengurus perkuliahan yang sekarang hanya masuk sehari satu minggu.“Aku tidak tahu bagaimana dengan hidupku nanti jika Mama udah gak ada,” ucapku pelan, entah kenapa tiba-tiba pikiran itu melintas begitu saja di benakku.“Kenapa bicara begitu?”“Bebanku terasa berat sekali, Papa….” Aku tak melanjutkan ucapanku karena ponselku berdering, tanpa menunggu lama kutarik ponsel tersebut dan menjawab panggilan video dari Daren.Daren Cakrawinata adik semata wayangku yang sedang menuntut ilmu di negara tetangga.“Hay,” sapaku setelah terlihat gambar Daren di layar ponsel.“Bagaimana keadaan mama, Wel?” tanya Daren, matanya mulai berkaca. Wel, Bawel begitulah dia memanggilku.“Masih sama seperti kemarin.” Kutarik wajah membuat simpul senyum, tak ingin Daren tahu apa yang terjadi di sini atau dia akan terbang sekarang juga dan membuat keributan.“Are you okay?”“Okay, dont worry,”Aku berbincang sejenak dengan Daren, sementara Dokter Sean masih di sampingku memainkan ponselnya. Setelah puas melepas rindu walau hanya melalui layar telepon kumatikan panggilan video dari Daren.“Aku dengar biaya pengobatan Nyonya Hanum diberhentikan karena tak ada administrasi masuk untuk membayar biaya perawatan, dan kemungkinan besok pihak rumah sakit akan mengeluarkannya,” ungkap Dokter Sean.Aku menatap dokter Sean. “Papa gak bayar biaya tunggakan pengobatan Mama?” tanyaku meyakinkan.Dokter Sean menyandarkan tubuhnya di penyangga bangku tempat kami duduk, dan mengangguk memberikan jawaban ucapanku. Aku bergegas meninggalkannya. Papa benar-benar keterlaluan, ia lebih mementingkan membeli mobil untuk anak tirinya ketimbang membayar biaya rumah sakit mama.Nafas masih memburu ketika kumasuki ruang rawat mama.“Kenapa Papa gak bayar biaya pengobatan mama?”“El, Papa udah kasih tahu kamu alasannya.”“Itu bukan alasan! Papa membelikan mobil Citra dan rumah baru untuk simpanan Papa sementara itu lebih dari cukup untuk membayar biaya mama !” seruku dengan penuh emosi.“Itu sudah Papa janjikan sejak lama untuk Citra,” jawabnyaKakiku lemas, bagaimana aku akan membayar biaya rumah sakit mama.“Aku akan menjual mobilku.”“Mobil akan disita tiga hari lagi beserta rumah jika Papa tidak membayar tunggakan perusahaan.”Aku menangis sejadi-jadinya, bagaimana aku akan melewati ini?“Tidak ada pilihan lain selain kamu menikahi anak Tuan Chan, dan kamu harus mau. Tanda tangani ini.” Papa menyodorkan selembar kertas padaku. Surat perjanjian menerima lamaran.“Setelah menghancurkan mama, sekarang Papa ingin menghancurkanku? Jika harus menjadi tumbal itu bukan aku tetapi Citra!" sergahku tak terima.“El, Papa bukan ingin menghancurkanmu, Papa hanya ingin menyelamatkan keluarga kita. Tuan Chan tahu hanya kamu anak Papa, jika papa beri Citra tentu ia tak ingin menolong. Kamu sudah dewasa seharusnya kamu sudah mengerti, anggap saja kamu berkorban untuk Mama dan Daren. Menjadi menantu Diamond Group bukan hal yang buruk, walau kamu harus menikahi pria cacat.” Papa mengambil stempel dari saku jasnya dan memaksaku untuk menempelkan sidik jari di kertas tersebut.“Papa egois! Papa merusak semuanya tetapi mengorbankanku!”Papa tak menghiraukanku dan pergi begitu saja setelah mendapat apa yang ia inginkan.Seperti malam sebelumnya Aksa kembali dalam keadaan mabuk, dua orang yang mengantarkannya gegas keluar setelah membaringkan tubuh Aksa di atas dipan. Aku menghela nafas berat, kenapa dia harus melakukan ini setiap malam? Apa bebannya lebih berat dariku? Rasanya tidak mungkin karena dia memiliki apapun yang dia punya dan dia bisa melakukan apapun yang dia mau.“Cassandra, aku sangat merindukanmu,” lirihnya. Aku tak menghiraukan ucapan Aksa dan terus membuka satu persatu atribut lengkapnya, ya atribut ngantor maksudnya.“Casandra, kenapa kamu ninggalin aku,” ucapnya lagi.Ah, itu rupanya alasan dia mabuk karena kekasihnya meninggalkannya, kasihan sekali tetapi aku justru ingin tertawa.“Cassandra apa kamu lupa apa yang telah kita janjikan.” Kali ini Aksa menarik kuat tanganku hingga aku terjatuh dalam pelukannya.“Lepaskan Tuan,” lirihku sembari mengalihkan tangannya yang melingkar di pinggangku.Aksa membuka mata perlahan mungkin dia masih sedikit sadar. “Kamu rupanya.” Dia mendorong
“Besok malam aku tidak akan menundanya lagi,” ucap Aksa sebelum pergi meninggalkanku.Aku beringsut mundur dengan tubuh gemetar, takut itu yang kurasakan saat ini, sebenarnya memberikan keturununan untuk Diamond Group bukanlah perkara buruk, tetapi aku tidak ingin melakukan hal itu dengan orang yang seperti Aksa. Aku ingin melayani orang yang aku cintai. Tangisku pecah begitu saja.Kurapikan kembali baju yang sudah berserakan, mengenakan dengan cepat takut jika pemuda itu kembali masuk dan berubah pikiran. Aku harus mencari cara agar bisa menolak Aksa, atau mungkin aku bisa kabur dari sini. Aku berlari cepat menuju pintu, sialnya pintu terkunci dari luar, aku benar-benar seperti tawanan di sini. Tubuhku luruh ke lantai, bagaimana aku akan membawa mama pergi jika aku keluar dari sini saja aku tidak bisa.Kutatap jendela kaca. Mungkin aku bisa keluar dari sana. Namun, saat memandang tingginya jendela nyaliku menciut, itu terlalu tinggi. Jika aku jatuh bukannya bisa membawa mama keluar
“Ngapain berdiri di situ kayak orang enggak berguna, cepat bantu aku.” Aksa menatapku yang berdiri melipat tangan di dada tak jauh darinya. Kuhampiri cepat dirinya dan membantu dia naik ke atas kursi roda. Dasar sombong, apa salahnya minta bantuan baik-baik.Tanpa ucapan terima kasih ia meninggalkan aku ke kamar mandi untuk membasuh diri. Seharusnya ini bisa digunakan untuk kabur. Sedikit berjinjit kuhampiri pintu, secepat kilat aku sudah berdiri di depan pintu dan menyentuh handle pintu tersebut.“Jangan coba-coba untuk kabur, atau orang tuamu akan merasakan akibatnya,” ucap Aksara dari dalam kamar mandi.Astaga, apa dia punya indra ke tujuh? Padahal aku sudah berusaha tak membuat suara. Bagaimana dia bisa tahu? Terpaksa aku kembali duduk di atas ranjang karena takut dengan ancamannya. Jujur saja aku tak punya nyali untuk melawannya, aku bukan gadis kuat nan tangguh. Aku dibesarkan bagai putri sejak kecil walau akhirnya aku harus berada di sangkar neraka seperti ini.“Berikan bajuk
Berdiri seorang diri menatap cakrawala malam bertabur bintang. Kudekap tubuh yang dingin karena dersik angin malam membelai begitu kencang. Kulirik jam yang ada di pergelangan tangan, sudah hampir tengah malam tetapi Aksa belum juga kembali, entah kemana perginya lelaki itu.Kenapa aku memikirkannya? Bukankah lebih bagus jika dia tidak di sini, aku lebih leluasa merenda nasib yang tak berpihak kepadaku ini. Kembali kutengadahkan wajah menatap bintang yang berkelip. Bayang-bayang mama menari indah di mata, sedang apa wanitaku itu? Apakah dia baik-baik saja? Aku bahkan tak punya ponsel sekedar untuk menghubunginya. Kuseka air mata yang sudah memenuhi kelopak mata.“Jangan menangis Elsha, kamu sekarang harus menjadi wanita yang kuat.” Kutepuk dada berkali-kali, dada yang terasa amat sesak. Sesak dan sakit sekali, bahkan cintaku masih berlabuh untuk seorang lelaki yang telah menjalin cinta denganku lebih dari tiga tahun. Entah bagaimana perasaannya setelah tahu aku menikah dengan orang y
“Kenapa Mama enggak pernah jujur sama Elsha? Kenapa Mama simpan semuanya sendiri?” tanyaku, kuhapus air mata yang membasahi pipi mama.“Mama tidak bisa sayang, Mama takut Els akan membenci Mama.”Aku memeluk tubuh mama.“Elsha akan selalu sama Mama, Elsha akan selalu bersama Mama membalas Mayang dan Cakra atas semuanya penderitaan Mama. Tak akan sedikitpun kulepaskan mereka.” Tanganku mengepal kuat. Akan kulakukan berbagai cara untuk menghancurkan mereka satu persatu.“Maaf Sayang, maaf Mama harus menyeret dalam situasi ini.”Mama memelukku dengan erat sebelum ia dibawa keluar oleh seorang pelayan.Aku menatap punggung yang mulai menjauh tersebut. Tekad untuk membawanya pergi dari rumah itu, akan kulakukan apapun untuk menghukum mereka.Setelah ijab kabul terdengar, aku dibawa keluar oleh pelayan berjalan diatas altar menghampiri suamiku yang terduduk di atas kursi roda, aku tak ingin melihat lelaki itu, hatiku dipenuhi dendam.Pernikahan kami berjalan lancar, kulihat senyum sumringah
“Hanum, itu anakku, kan!” seru Mas Dimas, ia mencekal erat tanganku.“Bukan, ini bukan anakmu, Mas.” Aku mencoba mengelak tapi ia bersikeras untuk melakukan tes DNA. Aku tak ingin bersama lelaki itu lagi. Aku tak ingin menderita bersamanya lagiAyah melakukan berbagai cara agar Mas Dimas tak datang ke rumah, hingga harus meminta kepada Mas Cakra untuk mengaku menjadi ayah dari anakku. Sejak setahun bersama keluarga kami ayah melihat Mas Cakra begitu baik, ia juga bertanggung jawab kepada ibunya, terlebih ia mampu mengembangkan perusahaan ayah yang hampir bangkrut. Mas Cakra menerima keinginan ayah karena merasa berhutang budi, dan akhirnya ia mengakui di depan Mas Dimas bahwa anak yang baru saja lahir tersebut adalah anaknya. Ia sendiri yang memberi nama Elshanum Cakrawinata. Kami belum menikah, aku masih ingin sendiri, aku masih ingin sendiri, hingga Elsha menginjak usia dua tahun ayah meminta Mas Cakra untuk menikahiku. Tidak dipungkiri kasih sayangnya kepada Elsha sudah seperti ana