Share

Bab 7

ISTRI GLOWING SUAMI KELING 7

Deg

Hati Bu Dewi mencelos mendengar penuturan putra keduanya itu. Tiba-tiba matanya berembun, susah payah ia menelan salivanya, kerongkongannya terasa tercekat seketika. Ada rasa marah dan kecewa, tapi apa yang diucapkan Jaka memang ada benarnya. Tapi sejujurnya ia tak ingin pernikahan anak-anaknya mengalami kegagalan.

"Jadi, kamu nggak ikhlas merawat ibu selama ini?" tanya Bu Dewi dengan suara serak. Mati-matian ia menahan tangis.

Jaka memandang wajah ibunya sendu. Sadar sudah mengucapkan kata-kata yang mungkin menyinggung perasaan ibunya, tapi melihat sikap ibunya yang kadang kelewatan, rasa sabar yang ia pupuk mulai terkikis. Melihat istrinya sering dimaki di depan banyak orang juga membuat hati Jaka terusik. Satu sisi ibu kandungnya disisi lain istrinya.

"Jaka dan Risma ikhlas merawat Ibu. Kurang sabar apa Risma selama ini jadi menantu Ibu. Tak pernah mengadukan hal yang aneh-aneh. Dimaki pun cuma diam, menyahut pun masih dalam batas wajar saat sudah benar-benar kesal. Jaka hanya minta, tolong bersikaplah lebih baik. Kalau Risma sampai benar-benar sakit hati dan tidak mau membantu merawat Ibu, siapa yang rugi? Ibu sendiri. Jaka dan Mas Joni tidak akan setelaten dan sesabar Risma." Jaka mencoba menjelaskan apa yang jadi ganjalan hatinya selama ini. Jika sikap ibunya tidak kunjung berubah, bukan tak mungkin nasib pernikahannya juga akan sama seperti kakaknya.

Bu Dewi hanya bisa diam menunduk. Air matanya tak mampu ia bendung. Selama ini dia hanya ingin diperhatikan dan dipahami tanpa mau tau perasaan orang lain.

Jaka menghela napas pelan, jujur hatinya sakit melihat ibunya menangis karna kata-katanya. Jaka tidak ingin keluarga dan rumah tangganya hancur. Sebelum terlambat dia harus lebih tegas. Semua memang tidak mudah, pasti akan ada air mata yang terjatuh. Tapi setidaknya dia punya harapan yang lebih indah dikemudian hari.

"Jaka berangkat kerja dulu, Bu! Ini ada sayur mateng dari Risma, jangan lupa dimakan. Nanti Risma kesini kalau sudah nyuci baju. Ingat, jangan marah-marah terus, kendalikan diri Ibu sebelum semua hancur dan terlambat. Soal Mas Joni, nanti biar Jaka yang bicara!" pamit Jaka sambil mewanti-wanti ibunya. Dia meraih tangan ibunya, mencium punggung tangannya dengan takzim.

"Nanti siang aku ke sini lagi pas istirahat makan. Biar aku cek airnya. Ibu istirahat saja, nggak usah ngapa-ngapain," imbuhnya lagi.

Bu Dewi tak menyahut, pun tak mengangkat wajahnya saat Jaka pamit. Di ambang pintu Jaka menoleh lagi, menghela napas kasar, gamang meninggalkan ibunya sendiri tapi dia juga harus kerja. Ibunya sangat keras kepala, sangat sulit diberi pengertian. Tapi jika tak diingatkan, dia juga yang akan menyesal kedepannya.

***

Jam setengah sembilan Risma baru selesai bebenah rumah karna sekalian jemurin baju. Sebelum pergi selalu memastikan rumah dalam keadaan bersih dan rapi. Jadi selama pergi tidak kepikiran pekerjaan rumah, pulang pun tinggal santai.

"Pegangan ya, Sayang!" titah Risma pada putrinya yang ia bonceng di belakang.

"Iya, Ma!" seru Alika girang karna akan diajak ke rumah neneknya.

Sepeda warna pink itu melaju perlahan di jalanan kampung tempat Risma tinggal. Bocengan belakang sengaja dibuat lebih safety untuk Alika. Dibuat bangku kecil dengan pegangan kanan kiri, juga diberi sabuk pengaman sederhana. Kanan kiri rodanya ditutup dengan kardus agar kaki kecil Alika tidak terjepit roda sepeda.

Rumah ibu mertua Risma memang tidak jauh jaraknya. Namun Risma lebih memilih menggunakan sepeda agar lebih cepat, putrinya pun sangat senang jika diboceng sepeda. Sepanjang jalan tawanya tidak pernah berhenti. Sesederhana itu kebahagiaan Alika.

Sesampainya di depan rumah mertuanya, Risma sedikit heran karna pintu depan terbuka. Risma pikir ada tamu atau mungkin teman Mas Joni karna motor kakak iparnya itu juga terparkir di teras rumah. Tapi tidak ada sendal atau sepatu di depan teras jika memang ada tamu.

Setelah menstandarkan sepedanya, Risma gegas menurunkan Alika dari boncengan belakang.

"Sudah sampai! Ayo, turun!" Risma membuka sabuk pengaman lalu menggendong putrinya perlahan takut kakinya tersangkut sepeda. Lalu menurunkan kembali dan menggandeng tangannya. Keduanya masuk ke dalam rumah.

Di ambang pintu Risma mematung. Heran melihat ibu mertuanya tidur di sofa, dengan keadaan pintu depan terbuka. Tatapannya lalu beralih pada plastik di meja yang belum dibuka. Sudah pasti itu plastik berisi sayur mateng darinya, karna ia sangat hafal plastiknya.

Di kepalanya mulai bersliweran pikiran-pikiran negatif. Risma menggeleng-gelengkan kepala, berharap prasangkanya enyah. Ia lalu menuntun Alika masuk ke dalam, mendudukkan bocah itu pada sofa single di seberang sofa yang ditempati ibu mertuanya.

"Alika, duduk yang anteng, ya! Mama mau bangunin nenek dulu," bisik Risma lalu mengecup pucuk kepala putrinya.

Risma mendekat, lalu berlutut di samping sofa. Punggung tangannya lalu perlahan ia tempelkan pada dahi ibu mertuanya. Tidak panas, batin Risma dengan kening berkerut. Ia lalu mengamati wajah ibu mertuanya itu. Matanya sembab, juga terdapat bekas air mata dipipi.

"Bu!" panggil Risma pelan sambil mengusap pelan lengan tangannya.

Bu Dewi membuka matanya perlahan, matanya sedikit berat, mungkin efek menangis terlalu lama. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, menatap Risma lalu tersenyum kecil.

"Ibu kok tidur di sini?" tanya Risma tak mampu menahan rasa penasarannya.

"Iya, ketiduran tadi," jawab Bu Dewi dengan suara sedikit serak sambil perlahan duduk dibantu Risma.

"Ibu belum makan?"

Bu Dewi hanya menggeleng pelan. Risma lalu mengambil kantong plastik di meja, ia langkahkan kakinya ke dapur. Menaruh sayur mateng di piring. Nasi yang tadi ia bungkus dengan kertas nasi ia tuang dalam piring dan menambahkannya dengan urap, dan tempe goreng. Pepes tahu ia pisah di piring lain.

Setelah siap Risma membawanya ke depan. Melewati ruang tengah ia melihat tumpukan baju kotor yang teronggok di bak besar. Risma hanya menggelengkan kepalanya pelan lalu meneruskan langkahnya.

"Ibu mau makan sendiri apa disuapi?" tanya Risma saat sudah sampai ruang tamu. Rupanya Alika sudah pindah tempat duduk di sisi sang nenek. Mereka sedang asik mengobrol saat ia datang.

"Biar ibu sendiri. Ibu masih kuat bukannya jompo!" Walau nada bicaranya tidak ketus tapi tetap saja sedikit pedas.

Risma tak menanggapi, ia menaruh piring yang dibawanya di meja, lalu duduk di sofa yang tadi diduduki Alika.

"Bu, boleh nyalain tv nggak? Biar Alika nggak bosen," tanya Risma, walau di rumah mertuanya ia selalu bertanya dulu, takut yang punya rumah tidak berkenan.

"Ya!" jawab Bu Dewi singkat sambil mengunyah makanannya.

Risma mengambil remot tv dan menyalakannya, mencari siaran kartun agar Alika betah. Lalu menaruh remot pada tempat semula. Ia ke dapur kembali untuk mengambil sapu, karna melihat rumah masih berantakan.

Bu Dewi memperhatikan menantunya sambil makan. Teringat perkataan Jaka tadi pagi. Dalam hati mengakui jika Resti memang sangat sabar dan telaten mengurusinya yang selama ini lebih banyak rewel. Tanpa disuruh juga membantu pekerjaan rumah jika melihat rumah mertuanya kotor. Entah akan seperti apa jika ia sakit dan tidak ada menantu yang membantunya. Joni yang serumah pun seolah tidak peduli dan abai dengan ibunya, karna rasa marah dan sakit hati yang masih merajai hati hingga kini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status