Share

Bab 8

ISTRI GLOWING SUAMI KELING 8

"Bang, kayu yang udah nggak dipakai boleh aku minta nggak?" tanya Jaka ragu pada Bang Ari-mandornya saat jam makan siang tiba.

"Kayu yang mana?" Bang Ari balik bertanya. Tatapannya tak beralih dari ponsel di tangannya.

"Itu yang di pojok situ!" tunjuk Jaka pada setumpuk kayu yang ada di pojok bangunan bersebelahan dengan karung bekas semen yang masih berserakan.

Bang Ari mendongak dan menatap sekilas tumpukan kayu yang dimaksud anak buahnya itu. Lalu fokus pada ponsel lagi. "Ambil saja. Mau buat kayu bakar?" tanyanya tanpa menatap Jaka. Tangannya sibuk menekan-nekan ponsel pintarnya.

"Mau buat kursi," jawab Jaka enteng.

Bang Ari melirik Jaka yang berdiri di sampingnya dengan dahi berkerut. "Kursi mainan?" tanyanya lagi.

"Buat apaan kursi mainan, Bang. Kursi beneran lah!" sahut Jaka. Sontak Bang Ari tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Jaka.

"Bikin kursi pakai kayu itu mah sekali duduk juga roboh, Jaka!" ucap Bang Ari meremehkan.

"Ahh, belum dicoba mana tau," sahut Jaka optimis.

"Ya, terserah kamu. Ambil saja kalau mau," ucap Bang Ari sambil mengangkat bahu.

"Tapi nggak dipotong gaji saya, kan?" tanya Jaka setelah melangkah beberapa langkah dan menoleh kebelakang lagi.

"Nggak. Ambil semua kalau kamu mau."

"Makasih, Bang!"

"Hhmmm."

Jaka memilah kayu yang masih layak dan kokoh. Lalu mengumpulkannya jadi satu dan ditaruh pojokan dinding. Nanti sepulang kerja baru akan ia bawa pulang. Saat menaruh karung bekas semen tadi Jaka melihat kayu tak terpakai itu dan ingatannya langsung tertuju pada ucapan ibunya tempo hari.

Setelah selesai merapikan kayu Jaka langsung pergi ke rumah ibunya. Ia ingat janji akan mengecek air. Tiba di rumah sang ibu ternyata istri juga anaknya masih di sana.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," jawab mereka kompak dan menoleh. Alika yang sedang menonton tv langsung berlari menghampirinya.

"Ayah, salim!" ucapnya dengan suara cadel lalu mengulurkan tangan.

"Anak solehah, pinter!" puji Jaka.

"Biar aku pulang dulu ambilin makan ya, Mas?" Risma mendekat dan mencium punggung tangannya.

"Nggak usah, aku udah makan. Kebetulan yang punya bangunan ngadain syukuran jadi kita dikasih nasi box tadi," tolak Jaka lalu menghampiri Ibunya, meraih tangan kriput itu untuk diciumnya.

"Alhamdulillah, rejeki!" sahut Risma duduk kembali.

"Ibu, udah mendingan?" tanya Jaka.

"Udah." Bu Dewi menjawab singkat dengan wajah dingin.

Masih merajuk kayaknya, batin Jaka. Ia menghela napas kasar lalu beranjak ke dapur untuk mengecek air. Dia melihat mesin air terlebih dahulu yang terletak di ujung dapur dekat pintu belakang. Rumah Bu Dewi menggunakan sumur bor, dan kebetulan letak sumurnya ada di dapur. Jaka tak menemukan kerusakan, lalu dia melihat toren yang masih terisi penuh.

"Mampet kali, ya!" monolog Jaka.

Dia lalu membuka kran air wastafel. Benar saja peralonnya tersumbat kotoran yang sudah menumpuk sekian lama. Perlahan dibersihkan dan dipasang ulang.

"Apanya yang rusak, Mas?" tanya Risma menghampiri suaminya.

"Salurannya mampet, Dek!" jawab Jaka tanpa menoleh. Risma menanggapi dengan anggukan yang tentu saja suaminya tak melihat.

"Dah, selesai. Tinggal kamar mandi," ujar Jaka lalu berjalan ke kamar mandi, membongkar kran yang ada di sana.

Sementara itu Risma mengumpulkan piring dan gelas kotor lalu mencucinya karna air sudah bisa mengalir lagi. Panci dan peralatan masak yang belum sempat dicuci kemarin oleh ibu mertuanya juga ia cuci. Pandangannya memindai seluruh penjuru dapur, memastikan tak ada alat makan dan masak kotor yang tertinggal.

"Mas, habis ini aku mau pulang. Tadi pagi Mbak Lilis bilang mau ke rumah siang ini," ucap Risma sambil menatap suaminya yang sedang mencuci tangan di wastafel. Risma ingin menanyakan perihal ibu mertuanya yang seperti habis menangis lama tadi, cuma ia ragu.

"Iya. Mas juga mau langsung berangkat lagi setelah ini," sahut Jaka menghampiri istrinya yang berdiri di ambang pintu dapur. Jaka lalu merangkul pundaknya, mengajaknya ke depan lagi karna pekerjaannya sudah selesai.

"Turunin tangannya, Mas. Malu sama Ibu!" rengak Risma, tangannya menurunkan tangan Jaka yang merangkul pundaknya, tapi dengan sengaja Jaka menggodanya dengan melakukan lagi dan lagi. Membuat Risma akhirnya pasrah dengan perlakuan suaminya itu. Jaka terkekeh melihat wajah istrinya yang cemberut.

Saat sampai ruang tengah Jaka menghentikan langkahnya. Ia sedikit mencengkeram bahu istrinya meminta berhenti lebih dulu. Sayup-sayup terdengar obrolan Ibu dengan Mas Joni. Rupanya dia sudah bangun.

"Itu baju-bajumu dicuci atau mau dilaundry? Sudah Ibu kumpulin di bak!" tanya Bu Dewi dengan suara lembut. Beda sekali jika bicara dengan Jaka atau Risma, kalau nggak memaki, mencela, ya ketus.

"Ya!" jawab Joni singkat.

"Ibu sumpek, Joni. Kamarmu berantakan, baju kotor di mana-mana, sampe baunya nggak karuan!" protes Bu Dewi dengan suara pelan, takut anaknya marah dan tersinggung.

"Kalau mau nggak berantakan ya dirapihin!" sahut Joni dingin.

"Kamu sudah dewasa, masa iya harus ibu yang beresin juga. Setidaknya kalau baju kotor ya taruh di belakang. Kalau hanya selimut yang berantakan ibu bisa maklum," ucap Bu Dewi dengan hati-hati.

"Jangan seolah-olah lupa jika aku seperti ini karna Ibu!" tekan Joni dengan menatap tajam ibunya.

Bu Dewi langsung terdiam dan menunduk. Matanya sudah berkaca-kaca. Joni adalah buah dari sikap keras kepalanya, tapi dia seolah tak sadar. Hanya meratapi anaknya yang makin hari semakin berubah.

Jaka meradang mendengar obrolan mereka dari ruang tengah. Tangan yang merangkul bahu sang istri tidak sengaja mencengkeram erat. Sedangkan tangan satunya sudah mengepal erat. Rahangnya mengeras, dadanya sudah naik turun menahan emosi yang menggelegak. Risma meringis, menahan sakit akibat cengkraman tangan suaminya.

"Mas, sabar!" bisik Risma. Ia menyadari, suaminya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Yang harus ia lakukan adalah meredam emosinya.

"Tolong, tangan kamu bisa diturunin nggak, sakit!" imbuhnya sambil meringis.

Jaka terkesiap, dia tidak sadar sudah mencengkeram kuat bahu istrinya.

"Maaf, sakit, ya!" sesal Jaka. Tangannya langsung ia turunkan dari bahu sang istri.

Jaka mengusap wajah kasar. Masih tak menyangka jika sang kakak bersikap demikian dengan Ibunya. Dia yang hampir setiap hari di maki tanpa sebab saja tidak sampai hati berucap tegas pada ibunya jika tidak terpaksa.

Jaka sudah hampir melangkahkan kakinya untuk menghampiri ibu dan kakaknya, tapi Risma segera mencekal lengannya. Risma menggeleng pelan saat Jaka menoleh dan menatap padanya. Ia menarik suaminya masuk ke dapur lagi. Khawatir jika obrolannya akan didengar ibu mertua dan kakak iparnya.

"Tenangin diri kamu dulu, Mas! Jangan bertindak gegabah!" lirih Risma menatap wajah suaminya yang masih dibalut amarah. Kedua tangannya masih memegang lengan Jaka.

"Tapi, Mas Joni sudah keterlaluan!" geram Jaka.

"Ssttt ... pelankan suaramu!" pinta Risma menempelkan jari telunjuknya pada bibir Jaka dan menatapnya serius.

"Aku tidak tau apa masalah yang sebenarnya terjadi. Tapi melihat Ibu juga Mas Joni, aku rasa bukan hal yang tepat jika menghadapi mereka dengan amarah juga emosi. Itu tidak akan menyelesaikan masalah tapi nambah masalah," papar Risma serius.

Jaka menghela napas kasar, dia bingung harus berbuat apa. Walau hampir setiap hari dia juga istrinya dimaki, dicela dengan alasan yang kadang tidak jelas oleh ibunya, tapi melihat ibunya diperlakukan seperti itu oleh kakaknya sendiri dia tidak terima. Baginya ibu tetaplah ibu, dengan segala baik dan buruknya.

"Mas, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Risma serius.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status