Share

Bab2

ISTRI GLOWING SUAMI KELING 2

"Assalamualaikum!" Jaka mengucap salam, lalu duduk di teras rumah mencopot sepatu bututnya yang ia gunakan khusus untuk kerja.

Jam makan siang Jaka gunakan untuk pulang ke rumah. Alih-alih ikut temannya ke warung ia justru makan di rumah. Dari pada uangnya buat jajan di warung mending dikasih istrinya, makan di rumah juga lebih leluasa mau nambah pun tidak bayar lagi, begitu pikirnya. Jika tempat kerjanya jauh, ia akan memilih membawa bekal dari rumah. Risma-istrinya, memang pandai memasak. Bahan sederhanapun akan jadi makanan lezat di tangannya.

Dahi Jaka mengernyit karena tidak ada sahutan salam dari dalam rumah. Risma biasanya akan menunggunya pulang sambil merajut. Sedangkan Alika-putrinya biasanya sudah terlelap tidur siang. Jaka gegas memutar handle pintu, takut terjadi sesuatu dengan istrinya di dalam rumah.

Jaka menahan senyum saat melihat sang istri tercinta sedang merajut dompet di karpet ruang tamu dengan wajah masam. Tv menyala menontot Risma merajut, bukan Risma yang menonton tv sambil merajut. Tidak ada meja kursi apa lagi sofa empuk, karena mereka memang baru tiga bulan menempati rumah kontrakan itu. Hanya tv 14 inc yang jadi hiburan. Ini pasti gara-gara Ibu tadi pagi, entah apa lagi yang membuat mereka berseteru batinnya.

"Ada yang ucap salam kok diem aja?" tanya Jaka dengan tangan masih berpegang pada pintu.

Risma hanya melirik sekilas lalu melengos lagi. Melanjutkan kegiatannya merajut dompet, tidak terpengaruh dengan keberadaan suaminya itu.

Jaka menghela nafas pelan lalu melangkah menghampiri Risma, duduk selonjor di sampingnya. Tangan kanannya meraih repot tv dan mematikannya.

Risma menoleh, menatap wajah Jaka dengan sengit sambil menaikkan satu alisnya seolah bertanya, kenapa tv dimatikan.

"Hemat listrik!" ucap Jaka singkat dan menaruh remot tv di tempatnya semula.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Risma. Ia memalingkan wajahnya lagi, menunduk dan fokus pada tangannya yang terampil dengan jarum dan benang rajut. Sebenarnya ia tak enak hati bersikap dingin dengan suaminya. Bagaimanapun sang suami tidak salah. Tapi hatinya masih sangat kesal karena ulah ibu mertuanya itu.

"Nanti cantiknya luntur loh, cemberut terus!" goda Jaka sambil menjawil dagu Risma.

"Apaan sih, Mas!" ketus Risma. Tiba-tiba saja matanya berembun, dan bulir hangat itu menerobos begitu saja.

"Hei, kok nangis? Mas cuma bercanda, Sayang!" ujar Jaka, tangannya terulur mengusap jejak air mata di pipi istrinya.

"Kenapa?" tanyanya lembut.

"Ibu mecahin krim wajah B Erl yang belum lama aku beli, Mas!" adu Risma pada akhirnya.

Selama ini ia jarang sekali mengadukan kelakuan ibu mertuanya itu pada sang suami. Risma tidak ingin cekcok dan ada salah paham jika sedikit-sedikit mengadukan kelakuan absudr mertuanya itu. Toh suaminya juga tau betul watak sang Ibu. Itu sebabnya Jaka tidak langsung percaya begitu saja ucapan Ibunya. Belajar dari pengalaman rumah tangga kakaknya yang hampir bercerai gara-gara kelakuan Ibunya. Setelah menikah Jaka lebih bijak dan hati-hati menanggapi setiap omongan Ibunya.

"Pagi-pagi udah teriak-teriak di teras, kirain aku Ibu kenapa. Pas aku samperin malah ngomel-ngomel nggak jelas. Aku mau nyautin juga bingung, tiba-tiba nepuk tangan aku yang lagi pegang krim, terus jatuh. Mas kan tau aku udah lama nabung buat beli krim itu, pake duit aku sendiri hasil dari ngerajut" papar Risma dengan wajah sendu.

"Yaudah, nanti Mas ganti!" ucap Jaka, tangannya merangkul pundak Risma, meletakkan kepalanya agar bersandar pada bahunya.

"Emang, Mas ada uangnya?" tanya Risma penasaran. Pandangannya lurus ke depan, menatap tv yang mati.

"Harganya kan lumayan," lanjutnya.

"Makanya doain biar rejeki Mas banyak. Lagian ngapain juga kamu keluar bawa-bawa krim segala," sahut Jaka.

"Aku lagi pake krim pas Ibu teriak. Panik, makanya reflek di bawa, kan lagi aku pegang."

Dahi Risma mengernyit, ia seperti mencium bau tak sedap. Hidungnya lalu mengendus-endus, mencari asal bau yang sangat menyengat itu.

"Mas ... bau kambing!" rengek Risma sambil menutup hidung.

Jaka tergelak melihat tingkah istrinya itu. "Masa dari tadi nempel-nempel baru sekarang bau kambingnya," goda Jaka dengan gelak tawa. Pipi Risma langsung merona.

"Yaudah, Mas mau mandi dulu terus makan!" ujar Jaka seraya bangkit dari duduknya lalu mengacak rambut Risma pelan.

Walaupun nanti akan kerja lagi dan kotor lagi, Jaka setiap pulang pasti mandi karena akan salat. Menghadap Allah harus bersih dan wangi, karena Dia-lah yang maha segalanya, yang memberi segala nikmat hidup ini, begitu pikir Jaka.

Selagi suaminya mandi, Risma menyiapkan untuk makan siang. Tumis daun pepaya campur teri, telur dadar, dan tempe goreng, tak lupa setoples kerupuk yang selalu menjadi teman makan. Ia meletakkannya di karpet ruang tengah sekaligus ruang makan, duduk lesehan.

***

Sore hari Risma akan merajut di teras rumah sambil menunggui Alika main. Gadis tiga tahun itu bermain sepeda roda tiga dengan temannya. Halaman samping rumah yang dikontrak Risma memang cukup luas. Sore hari anak-anak biasa main disitu. Depan rumah pun jalanan kampung yang cukup luas, juga tidak terlalu ramai lalu lalang kendaraan. Jadi aman untuk anak-anak bermain, meski tetap harus diawasi.

"Alika, jangan rebutan! Gantian pakai sepedanya, Nak!" teriak Risma dari tempatnya duduk saat melihat anak-anak itu mulai tebutan mainan.

"Iya, Ma!" sahut Alika, ia lalu meminjamkan sepedanya pada teman sebayanya itu.

"Ini, tapi sebentar aja, ya!" ucap Alika lalu beringsut turun dari sepedanya. Anak yang diberi pinjam hanya manggut-manggut sambil meringis memamerkan giginya yang geripis.

"Mbak Risma, sedang santai?"

Risma mendongak saat ada orang menyapanya. Ternyata Bu Ida, tetangga sebelah rumah samping kirinya, ia menggendong tenggok-wadah dari anyaman bambu yang ukurannya sebesar ember tapi lebih pendek. Tenggok itu penuh berisi sayuran.

"Ehh, Bu Ida, sini mampir," sahut Risma sambil melambaikan tangan. Bu Ida hanya tersenyum dan mengangguk.

"Habis panen, Bu?" tanya Risma saat Bu Ida menurunkan tenggoknya di bawah teras, orangnya sendiri duduk di pinggir teras.

"Iya, Mbak. Kacang panjang, kecipir, sama buncis, sayang kalau nggak dipanen, kalau ketuaan kurang enak dimasak," jawab Bu Ida sembari tangannya mengelap keringat di dahi dengan ujung kain jarik yang ia pakai untuk menggendong tenggok.

Mereka berbincang sambil sesekali tertawa mendengar celotehan Bu Ida. Wanita paruh baya itu hanya bedua saja dengan suaminya, dua anaknya sudah bekerja dan merantau semua. Biasanya tiga bulan sekali pulang menengok orang tuanya.

"Ini, aku bagi buat nyayur besok," ujar Bu Ida, tangannya mengambil sayur dari tenggok dan ia taruh di teras.

"Nggak usah, Bu. Lah aku nggak pernah nanem malah ikut panen terus," kekeh Risma.

"Rejeki nggak boleh nolak. Dijual juga nggak seberapa, itung-itung aku sambil sedekah. Nggak punya duit sedekah sayur juga jadi yang penting ikhlas," sahut Bu Ida.

"Alhamdulillah, aku terima ya, Bu!"

"Risma ... kamu itu kebangetan, kerjanya kalau nggak dandan ya ngerumpi. Lihat itu anak kamu, bentuknya udah nggak karuan!" Teriak Bu Dewi sambil berjalan ke rumah Risma.

Risma dan Bu Ida menoleh, keduanya memperhatikan Bu Dewi dengan alis bertaut. Heran.

Risma hanya menghela nafas kasar sambil menggigit bibir bawahnya. Walau tetangga sudah paham watak mertuanya itu, tetap saja ia malu jika ditegur di depan orang. Apa lagi tuduhannya belum tentu benar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status