“Aaaghrr!” Yumna spontan teriak kala dihadapannya sebuah rak buku yang begitu tinggi perlahan mendekat padanya. Rak semakin miring dan beberapa detik lagi akan menimpanya. Dentuman jantung sudah berguncang tak tentu arah. Ketakutan akan benda raksasa itu begitu mengerikan. “Nunduk!” seru Rizal yang masih berdiri di sampingnya. Tak mau menunggu lama, pria itu menarik lengan yang berlapis kain panjang untuk duduk bersandar pada dinding, sedang dia menghalau rak dengan tubuh kekarnya sembari membungkuk seakan melindungi Yumna yang tengah lebih dulu bersandar. Kejadiannya begitu cepat. Sepersekian detik bisa saja menimpa mereka berdua. Namun Allah berkehendak lain, rak itu tersangkut pada dinding hingga berhasil membuat keduanya selamat. Rak itu tak sampai jatuh menindih ataupun insiden lain yang bisa lebih parah. Dua manusia itu selamat dalam keadaan meringkuk. Jelas Rizal menjadikan tubuhnya sebagai benteng pelindung bagi wanita itu.Menyadari tak terjadi apa-apa antara mereka, Yumna
“Ting Tong.”Seorang pria tengah gusar mondar mandir tepat di depan dua papan yang mengatup dengan ukiran estetik yang terpampang elegan pada bangunan megah berlantai dua. Rambutnya sedikit ikal pendek serta balutan baju koko berpaduan celana kain hitam menjadi karakteristik pria yang tampak dari belakang itu. Sepatu sandalnya dipantulkannya ke lantai kesekian kalinya seolah tak bisa berdiri tenang.Kurang lebih dua menit, terdengar suara seorang wanita dari dalam menyahut.“Tunggu sebentar.”Itu seperti kata terakhir yang terucap dari wanita itu. karena sudah sepuluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda pintu terbuka. Tentu saja pria itu yang sedari tadi menunggu semakin mengerutkan keningnya. Napasnya mengeluarkan desahan yang entah sudah ke berapa kali. “Lama sekali ish. Ya Allah,” geramnya. Pria itu benar-benar mencebik kesal hingga menggertakkkan giginya hingga terdengar gertakan geraman giginya, meski dia tahu tak seharusnya seorang tamu berekspersi seperti itu. “Wahh, engga
Rizal merebahkan bokongnya dan menyandarkan punggungnya di dinding serambi masjid dengan wajah termenung. Entah sudah kurang atau lebih dari setengah jam dia di sana dengan ekspresi sama. Insiden yang sempat menyengat di hatinya membuat otaknya tak bisa berhenti memikirkan wanita itu.‘Apa Yumna akan cerita ke suaminya? Dan hubungan keduanya renggang karena aku? Yumna menangis karena aku? Atau Yumna merasakan hal yang sama denganku?’ batin pria keturunan Timur Tengah itu terus berkecamuk, berusaha mencari jawaban yang hingga sekarang belum membuatnya lega. Perasaan bersalah, malu sudah bercampur aduk. Namun tak bisa membuat hatinya bisa bernapas bebas. Masih begitu menyesakkan dada.Beberapa pria yang mengenalnya segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Adab setelah selesai sholat berjama’ah.“Kenapa ustaz kayak orang linglung aja?” tanya seorang pria yang seumuran dengannnya tengah membungkuk sedikit sembari menyalaminya.“Jangan panggil gitu, Gilang. Aku belum pantas.” Rizal
“Rizal, bukan mantannya Yumna kan ya?” Bianca nyeletuk dengan lengkung senyum polosnya. Memancing Yumna agar lebih merasa tersudut. Mungkin cara ini membuat perasaannya bisa lega. Memang melihat sikap Devian yang menyakitkan. Namun melihat ekspresi lugu Yumna, adiknya, belum lagi membuat Devian terpancing emosinya. ‘Bukankah itu lebih menarik?!’ “Mantan?” Devian mengerutkan keningnya. Mata elangnya menatap Yumna tajam.“A-apa?! Itu fitnah mbak,” terang Yumna dengan wajah berlipat-lipat di keningnya seiring gelengan kepalanya sebagai penolakan kerasnya. Nada suaranya lebih tinggi dari biasanya. Ada perasaan mengganjal yang membuatnya ingin rasanya berteriak. Menyanggah karena semua titik kesalahan ada pada pria yang bernama Rizal. Seorang pria yang hadir mencoba memperkeruh suasana. “Jaga ucapanmu Bianca! Beraninya …” Devian mengendus kesal. Wajahnya tak kalah berkerut dari Yumna. Hidungnya sampai kembang kempis seiring detak jantung yang mulai menderu. Mata elangnya menghunus menat
‘Ada perasaan yang berbeda? Mas Devian terus membisu.’ Keresahan Yumna terus saja melanda.Wanita itu hanya pasrah mengikut langkah suaminya. Melihat suaminya tengah berganti piyama kembali di dekat pintu, Yumna langsung menuju ruang rias untuk melepas hijabnya lalu menggantungnya di hanger lemari miliknya. Sesekali dua manik hitamnya mengarah pada punggung suaminya yang terlihat masih mengaitkan kancing piyamanya. Dengan balutan lingeri, Yumna bergerak duduk di bibir ranjang.“Mas marah ya?” tanya Yumna yang akhirnya memberanikan diri membuka obrolan yang selama ini terdengar seunyi.“Kenapa harus marah?!” Devian berbalik bertanya dengan tatapan malasnya. Sorot matanya terlihat guratan emosi yang tertahan lama. ‘Rasanya memuakkan membahas ini.’“Kalau aku salah, aku minta maaf Mas. Lagipula aku sama sekali enggak mengundang Kang Rizal ke sini,”tegas wanita itu yang seketika kejujurannya membuat bola matanya membesar seketika. Yumna menyadari ucapannya benar-benar salah. ‘Astaghfirul
Rizal tengah duduk di kursi teras dengan kedua sikut tangannya menopang pahanya. Dia menarik napas panjang sembari wajahnya menunduk. Lensa di matanya memantulkan ubin-ubin yang tersusun rapi, tapi aura tatapannya menangkap sedang memikirkan hal lain. Insiden ciuman itu benar-benar membuatnya berpikir keras. Baru kali ini dia merasakan rasanya hilang akal, menghadapi wanita itu. wanita yang menggelitik hatinya hingga tak tahan tubuhnya ingin dan ingin semakin dekat dengannya. Sebenarnya wanita itu tak melakukan apa pun. Rizal menerka-nerka, apa yang salah dengannya hingga bisa berbuat senekat itu? Padalah, sejatinya tak ada daya tarik dari penampilan ataupun gaya dari seorang Yumna. ‘Ini Syetan. Aku telah lepas kendali. Astaghfirullah.’ Batinnya terus mengerang. Meyakinkan kalau memang pancingan syetan begitu mulus hingga bisa memperdaya pikiran kotornya. Namun apa daya, tubuhnya yang bergerak, jelas dirinyalah yang patut disalahkan atas semua ini. ‘Untuk apa kamu di sini? Untuk me
“Wanita itu tiba-tiba menelepon sambil nyebrang. Saya enggak tahu jadi … jadi seperti ini.” Seorang pemuda dengan suara parau menjelaskan ke perawat yang sedari tadi sibuk mendorong ranjang pasien. Pria berjaket kulit serta bersarung tangan itu terus saja mengikuti mereka dengan kening yang peuh peluh. Detak jantungnya begitu memacu seiring kekhawatiran dan rasa bersalahnya yang menghantuinya. Pria itu melipat bibirnya lagi. Takut kalau pasien yang ditabraknya akan berakhir naas.“Ya, Mas bisa menjelaskannya nanti.” singkat perawat itu sembari fokus mendorong ranjang pasien. Sesekali bola matanya mengarah pada pasien wanita yang terbaring tak sadarkan diri. Darah pekat masih terlihat segar menembus hijab di bagian kepala Maya. Ada beberapa memar di dagu dan lecet di telapak tangannya. Belum lagi bagian tubuh yang lain masih tak terlihat karena masih terbalut dress yang sudah terlihat ada beberapa bagian yang kumal dan kotor karena terkena gesekan ataupun terjatuh. Sementara pemu
Yumna merasa sangat sedih dengan apa yang sedang dihadapi dalam keluarganya. Tidak menyangka saja sang suami yang begitu dia cintai percaya pada apa yang dikatakan Diana. Jelas saja tidak menyangka, kalau sang suami yang katanya juga begitu mencintainya tega menuduh tentang kehamilannya. Sudah sangat jelas bahwa janin dalam kandungan Yumna adalah anak mereka sendiri. Dan hubungannya dengan Rizal hanya sebatas teman saja, karena Rizal juga menyadari bahwa Yumna sudah menjadi istri orang."Aku tahu ini adalah bagian dari rencana Allah untuk membuat aku semakin kuat. Pasti di depan akan ada sebongkah hikmah yang sangat besar. Aku harus tabah dan kuat menerima semua ini. Karena menerima dan berdamai dengan sendiri adalah kekuatan yang aku butuhkan di waktu kehamilanku. Bukan hanya demi diriku sendiri akan tetapi juga kesehatan anak dalam kandunganku," ucapnya bertekad, saat berada di Balkon panti asuhan yang sering dikunjunginya setiap bulan.Kepala panti asuhan melihat kesedihan Yumna