Lisa mendesah. "Aku bisa mengurus Kamila sendiri. Toh, selama ini akulah yang mengurusnya, apalagi sejak kamu bertemu mantanmu itu, Mas. Kita cerai saja. Ini sudah keputusan terakhirku." Lisa mengucap tenang. Namun, juga mantap. Seketika wajah Bagas pias. Tak menyangka pada akhirnya Lisa yang lebih dulu menggungat cerai. Habis sudah. Tak ada lagu harapan untuk tetap hidup mewah di keluarga Handoko. Entah, bagaimana reaksi Laura nanti saat tahu, suaminya sekarang hanyalah seorang gembel yang tak memiliki apa-apa."Tap, tapi. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik, Lis? Lihatlah betapa menderitanya aku tanpa kamu selama ini. Mas minta maaf." Bagas menghiba. Berharap Lisa luluh atas permintaan maafnya."Maafku sudah habis, Mas. Aku terus memaafkanmu, tapi kamu tetap memilih mantanmu itu. Mas tak menoleh sedikit pun padaku dan Kamila, yang jelas-jelas telah membersamaimu sejak lama.""Mas, khilaf, Lis.""Khilaf yang terulang-ulang." Lisa bicara dengan tegas. Tak sia-sia dia terus melatih
"Jadi kita harus bagaimana, Mas?" Laura tampak bingung.Bagas mendesah panjang. Dia memikirkan cara bagaimana membalas dendam ada orang-orang yang telah membuatnya terpuruk seperti sekarang."Sudahlah, kita pikirkan nanti, Ra. Mas mau mandi dulu, gerah!" ucap Bagas bangkit. Lelaki itu sudah berjalan mencapai tangga, tapi membalik tubuh karena ada sesuatu yang perlu dia katakan."Ohya, cepat berkemas. Kita harus segera pergi dari sini!" seru Bagas, yang kemudian terus berjalan tanpa menunggu persetujuan sang istri. "Aku perlu menghubungi kolega yang masih punya hutang pribadi padaku, yah cukuplah buat nyewa sebuah rumah minimalis."Laura mendecak sebal. Ia sangat kesal pada Lisa. Wanita itu harus dilaporkan karena kasus penipuan."Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tak punya uang untuk menyewa pengacara." Perempuan yang tengah hamil muda itu mendesah lelah. Dengan langkah gontai bergerak mengikuti Bagas di lantai dua.Bagas yang akan masuk kamar mandi, tiba-tiba harus menghentikan la
"Mas, gimana menurut kamu sekarang?" tanya Sisil sembari meletakkan cangkir di atas meja, dekat laptop yang digunakan suaminya untuk kerja. "Hem?" Keanu yang kurang jelas mendongak. Melepaskan tatapan dari layar dan kemudian fokus pada wanita cantik yang hanya mengenakan dress tipis dengan rambut diikat tinggi. "Ya, Sayang. Kamu membahas tentang siapa?" Pria yang profesinya sebagai pengacara itu ingin memperjelas maksud pertanyaan istrinya. "Itu si Laura. Hidupnya kan ngenes, lebih ngenes dari janda yang gada suami." Sisil mengatakan secara detail. Dia sendiri meski merasa benci pada masa lalu Laura yang jahat, ada anak kecil yang tak bersalah hadir di tengah wanita jahat itu dan mantan suami Lisa -kakaknya. "Hem, apa kamu belum puas melihat penderitaannya?" tanya Keanu. Sisil menggeleng. "Lalu?""Aku kasihan pada anaknya, Mas. Apa kita ambil jadi anak angkat aja, ya? Atau kita kirim ke panti biar diasuh orang," celetuk Sisil ketika terpikir untuk menolong anak tidak bersalah i
Menatap gadis cantik yang duduk tak jauh dari tempatku mengucap akad nikah, gadis berusia 21 tahun, wajahnya manis, cantik. Hatiku jedap-jedup. Bukan karena aku jatuh cinta dan tak sabar melewati malam pertama. Tapi ... takut ini awal dari bencana, bahwa aku akan kehilangan Bianca.Ada kesedihan di wajah mempelai wanitaku itu. Tapi apa peduliku? Dia sudah mendapatkan imbalan setara dengan rasa sakitnya.Aku terpaksa menikahi Yumna.Tentu ... karena dia sangat mirip dengan istriku yang sebenarnya, Bianca. Bedanya jika Bianca perempuan berpenampilan glamour, dengan pakaian serba terbuka, Yumna bak gadis original yang menutup seluruh tubuhnya dengan hijab, kecuali wajah dan tangan.Aku sebenarnya alergi dengan wanita-wanita sok alim. Namun, kemiripan mereka membuatku memilih pengecualian.Hanya saja gadis bernama Yumna itu tak membuat sedikit saja hati ini bergetar. Desir yang menjalar di dada kala bertemu Bianca, tak kudapati darinya. Ini karena pernikahan kami terpaksa. Aku hanya berp
"Maaf." Yumna memegangi pakaian bagian atas seolah takut teelihat olehku. "Ahya.""Ada yang bisa saya bantu?""Bianca ingin bicara denganmu. Boleh akun masuk?""Ya, tentu saja. Saya ini istri, Tuan.""Apa?" Apa maksudnya sekarang? Apa dia aku memperlakukannya seperti Istriku? Yang benar saja. "Maaf." Gadis itu meraih ponsel di tanganku dan bergeser memberi jalan untukku masuk. "Hai!" sapa Bianca. "Assalamualaikum." Yumna membalas dengan salam. "Waalaikumsalam. Wah, Yumna ... ternyata benar kamu gadis alim," puji Bianca kemudian. "Makasih ya sudah mau menikah dengan Mas Dev. Tolong jaga dia.""Ehm. Baik, Nyonya. Eh. Mbak.""Ish panggil Bianca saja.""Baik." Yumna tersenyum tipis. Dia kini pasti bingung luar biasa. Barangkali dia pikir aku lelaki yang menikah lagi karena pengkhianat.Tapi... Bianca malah mengapresiasinya. Mana ada istri sah baik sama pelakor? Yang ada malah diracun. Tak lama obrolan pun selesai. Kini, aku kembali menatap dalam -dalam pada Yumna. "Sekarang k
Di dalam mobil yang dilajukan sedang oleh sopir kami, Yumna sekali pun tak menatap ke arahku. Aku tahu dia masih marah karena ciuman pertamanya yang kurenggut semalam. Ditambah kejadian di rumah sakit saat ia terpaksa ikut denganku meninggalkan ibunya. "Jadi harusnya kamu sudah sadar, bahwa iman yang kamu bangga-banggakan itu, tak berguna di saat-saat seperti ini," ucapku dingin.Sontak saja perempuan itu menoleh, menatap nyalang padaku. "Kenapa? Kamu mau protes? Heh!" Aku tersenyum sinis. Muak saja rasanya, melihat gadis tersebut saat terlalu percaya diri hanya dengan modal imannya. Apa dia pikir, aku bukan lelaki beriman? Hanya saja aku tak suka riya', eh iya bukan, sih, namanya riya'? Ah, entahlah pokoknya itu. Aku pria beriman yang tidak bersikap sok dan menyombongkan imanku di depan orang lain. Buktinya aku masih perjaka sampai sekarang. Bahkan demi ingin tidur dengan Bianca aku pun menikahinya. Apa lagi kalau bukan karena iman?Yumna tak bicara, tapi dia hanya geleng-gelen
l"Ada masalah?" tanyaku pada wanita yang tampak anggun di depanku."Tuan, izinkan saya kembali ke rumah sakit. Ibu saya pingsan.""Apa?!" "Saya mohon, Tuan.""Hanya pingsan bukan? Coba kemarikan ponselnya." Kusodorkan tangan meminta benda pipih yang jadi penghubung Yumna dengan orang di ujung telepon.Perempuan yang memakai pakaian syar'i itu memberikannya dengan ragu sampai aku harus menggerakkan tapak tangan.Ini adalah acara penting mana bisa kubiarkan dia pergi, bahkan jika bumi terbelah."Hallo.""Ya, hallo." Suara seorang perempuan terdengar di ujung telepon."Siapa dia?" tanyaku pada Yumna, dengan menjauhkan ponsel sejenak."Penjaga ibu saya.""Eum." Aku manggut-manggut tanda mengerti."Bagaimana keadaan Ibunya Yumna?""Beliau pingsan Tuan, em tadi tetangganya menjenguk dan bilang Mbak Yumna terpaksa menjadi istri kedua demi pengobatan ibunya," terang orang di seberang sana."Apa?" tanyaku sambil mengurut pelipis. Ah, ini dilema. Kenapa di saat mati-matian Yumna menyembunyikan
Melirik sekilas jam yang menempel di dinding kantor. Rupanya jam kantor telah berakhir.Tak lama, tatapanku beralih ke suara yang berasal dari arah pintu. Rupanya Alina yang mengetuk."Ya, masuklah.""Tuan belum pulang?" tanyanya sembari meletakkan sebuah kotak makanan."Ya, sebentar lagi," jawabku sambil meregangkan tubuh. "Ini apa?" tanyaku melihat sesuatu yang ditaruh di atas meja."Makanan Tuan. Saya lihat, Anda hanya makan siang sedikit tadi.""Hem? Kamu melihatnya?""Ahm, ya kebetulan saya tadi juga makan siang di sana. Hanya saja tidak berani mengganggu." Perempuan itu bicara dengan sopan."Ouh." Aku manggut-manggut. "Oya, soal surat yang kamu serahkan." Kuambil surat milik Alina yang sudah kusimpan dalam laci dan menaruhnya di atas meja."Ya Tuan?" Dia tampak heran."Maaf, aku mencintai istriku. Kamu tau kan aku sudah beristri.""Istri yang mana Tuan?" Alina tampaknya sangat penasaran, dari dua alisnya yang terangkat saat menatapku."Hah?" Ah ya, aku baru sadar, bahwa istriku