Menatap gadis cantik yang duduk tak jauh dari tempatku mengucap akad nikah, gadis berusia 21 tahun, wajahnya manis, cantik. Hatiku jedap-jedup. Bukan karena aku jatuh cinta dan tak sabar melewati malam pertama. Tapi ... takut ini awal dari bencana, bahwa aku akan kehilangan Bianca.Ada kesedihan di wajah mempelai wanitaku itu. Tapi apa peduliku? Dia sudah mendapatkan imbalan setara dengan rasa sakitnya.Aku terpaksa menikahi Yumna.Tentu ... karena dia sangat mirip dengan istriku yang sebenarnya, Bianca. Bedanya jika Bianca perempuan berpenampilan glamour, dengan pakaian serba terbuka, Yumna bak gadis original yang menutup seluruh tubuhnya dengan hijab, kecuali wajah dan tangan.Aku sebenarnya alergi dengan wanita-wanita sok alim. Namun, kemiripan mereka membuatku memilih pengecualian.Hanya saja gadis bernama Yumna itu tak membuat sedikit saja hati ini bergetar. Desir yang menjalar di dada kala bertemu Bianca, tak kudapati darinya. Ini karena pernikahan kami terpaksa. Aku hanya berp
"Maaf." Yumna memegangi pakaian bagian atas seolah takut teelihat olehku. "Ahya.""Ada yang bisa saya bantu?""Bianca ingin bicara denganmu. Boleh akun masuk?""Ya, tentu saja. Saya ini istri, Tuan.""Apa?" Apa maksudnya sekarang? Apa dia aku memperlakukannya seperti Istriku? Yang benar saja. "Maaf." Gadis itu meraih ponsel di tanganku dan bergeser memberi jalan untukku masuk. "Hai!" sapa Bianca. "Assalamualaikum." Yumna membalas dengan salam. "Waalaikumsalam. Wah, Yumna ... ternyata benar kamu gadis alim," puji Bianca kemudian. "Makasih ya sudah mau menikah dengan Mas Dev. Tolong jaga dia.""Ehm. Baik, Nyonya. Eh. Mbak.""Ish panggil Bianca saja.""Baik." Yumna tersenyum tipis. Dia kini pasti bingung luar biasa. Barangkali dia pikir aku lelaki yang menikah lagi karena pengkhianat.Tapi... Bianca malah mengapresiasinya. Mana ada istri sah baik sama pelakor? Yang ada malah diracun. Tak lama obrolan pun selesai. Kini, aku kembali menatap dalam -dalam pada Yumna. "Sekarang k
Di dalam mobil yang dilajukan sedang oleh sopir kami, Yumna sekali pun tak menatap ke arahku. Aku tahu dia masih marah karena ciuman pertamanya yang kurenggut semalam. Ditambah kejadian di rumah sakit saat ia terpaksa ikut denganku meninggalkan ibunya. "Jadi harusnya kamu sudah sadar, bahwa iman yang kamu bangga-banggakan itu, tak berguna di saat-saat seperti ini," ucapku dingin.Sontak saja perempuan itu menoleh, menatap nyalang padaku. "Kenapa? Kamu mau protes? Heh!" Aku tersenyum sinis. Muak saja rasanya, melihat gadis tersebut saat terlalu percaya diri hanya dengan modal imannya. Apa dia pikir, aku bukan lelaki beriman? Hanya saja aku tak suka riya', eh iya bukan, sih, namanya riya'? Ah, entahlah pokoknya itu. Aku pria beriman yang tidak bersikap sok dan menyombongkan imanku di depan orang lain. Buktinya aku masih perjaka sampai sekarang. Bahkan demi ingin tidur dengan Bianca aku pun menikahinya. Apa lagi kalau bukan karena iman?Yumna tak bicara, tapi dia hanya geleng-gelen
l"Ada masalah?" tanyaku pada wanita yang tampak anggun di depanku."Tuan, izinkan saya kembali ke rumah sakit. Ibu saya pingsan.""Apa?!" "Saya mohon, Tuan.""Hanya pingsan bukan? Coba kemarikan ponselnya." Kusodorkan tangan meminta benda pipih yang jadi penghubung Yumna dengan orang di ujung telepon.Perempuan yang memakai pakaian syar'i itu memberikannya dengan ragu sampai aku harus menggerakkan tapak tangan.Ini adalah acara penting mana bisa kubiarkan dia pergi, bahkan jika bumi terbelah."Hallo.""Ya, hallo." Suara seorang perempuan terdengar di ujung telepon."Siapa dia?" tanyaku pada Yumna, dengan menjauhkan ponsel sejenak."Penjaga ibu saya.""Eum." Aku manggut-manggut tanda mengerti."Bagaimana keadaan Ibunya Yumna?""Beliau pingsan Tuan, em tadi tetangganya menjenguk dan bilang Mbak Yumna terpaksa menjadi istri kedua demi pengobatan ibunya," terang orang di seberang sana."Apa?" tanyaku sambil mengurut pelipis. Ah, ini dilema. Kenapa di saat mati-matian Yumna menyembunyikan
Melirik sekilas jam yang menempel di dinding kantor. Rupanya jam kantor telah berakhir.Tak lama, tatapanku beralih ke suara yang berasal dari arah pintu. Rupanya Alina yang mengetuk."Ya, masuklah.""Tuan belum pulang?" tanyanya sembari meletakkan sebuah kotak makanan."Ya, sebentar lagi," jawabku sambil meregangkan tubuh. "Ini apa?" tanyaku melihat sesuatu yang ditaruh di atas meja."Makanan Tuan. Saya lihat, Anda hanya makan siang sedikit tadi.""Hem? Kamu melihatnya?""Ahm, ya kebetulan saya tadi juga makan siang di sana. Hanya saja tidak berani mengganggu." Perempuan itu bicara dengan sopan."Ouh." Aku manggut-manggut. "Oya, soal surat yang kamu serahkan." Kuambil surat milik Alina yang sudah kusimpan dalam laci dan menaruhnya di atas meja."Ya Tuan?" Dia tampak heran."Maaf, aku mencintai istriku. Kamu tau kan aku sudah beristri.""Istri yang mana Tuan?" Alina tampaknya sangat penasaran, dari dua alisnya yang terangkat saat menatapku."Hah?" Ah ya, aku baru sadar, bahwa istriku
Sebelum ke Bandara, aku mengatakan pada pelayan agar memindahkan semua barang Yuma ke kamarku. Entah, bagaimana reaksinya nanti. Aku tak peduli!Di sini aku suaminya dan dia istriku, jadi apapun itu, Yumna harus menurut.Dua puluh menit menunggu, aku mulai gelisah. Kedudukan sebagai orang nomor satu di perusahaan tidak memberi ruang untuk berleha-leha, atau membuang waktu. Sederet kegiatan sudah menunggu untuk dipenuhi di daftar skedulku.Aku berusaha duduk santai di kursi tunggu Bandara, sambil membuka-buka ponsel. Menunggu kedatangan orang tua. Di internet, aku mencari tahu bagaimana Yumna selama ini hidup dari akun-akun media sosialnya.Entah, sikapnya membuatku penasaran. Jangan salah, ini bukan penasaran karena jatuh cinta padanya. Mana mungkin seorang Devian jatuh cinta pada gadis yang sok alim, dengan pakaian tertutupnya. Sama sekali tak cantik. Yah, walau kadang tampak cantik juga sih.Dan hal yang membuatku tak bisa jatuh cinta pada Yumna karena keduanya sangat berbeda. Bianc
Untuk mempertahankan harga diri, akhirnya Yumna menarik kain penutup yang terbalut rapi pada kepalanya. Persis di hadapanku. Apa ini? Dia sengaja menggoda?***Kelakuan gadis itu sungguh di luar ekspektasi, ia bisa merasa sesenang sekarang setelah mengerjaiku. Namun, aku tak boleh lupa diri dan kembali fokus pada tujuan awal. Membuat Mama bisa menerima Yumna sebagai Bianca untuk sementara waktu. Sabar Dev, sabar. Hadapi Yumna dengan kepala dingin. Coba berdamai dengannya agar bisa mengatur rencana secara matang. Yah, kami adalah tim sekarang. Apa jadinya kalau karena kekesalanku padanya, terbawa perasaan dan menjadikan semua berantakan. Perlahan tanpa komando dariku, perempuan yang masih mengenakan gamis rapi sepulang dari kampus itu mendekat pada Mama."Assalamualaikum, Ma," ucapnya sembari meraih tangan Nyonya besar yang ekspresinya terlihat dingin, untuk mencium punggungnya disusul Papa yang berdiri di sampingnya. Papa tersenyum, beliau ini memang lebih kalem ketimbang Mama."
Kami saling tatap untuk beberapa saat. Gadis itu menatapku dalam, seolah keinginannya untuk tahu tentangku sangat besar. Di saat yang sama otakku berputar mencari cara agar Yumna tak menanyakan ini.Hingga kutemukan jawaban untuk mengalihkan perhatiannya."Hemh. Kamu terlalu banyak nonton drama, Nona!" Aku menyeringai. Melakukannya seolah pertanyaan konyolnya itu membuatku geli. "Apa pertanyaan itu muncul karena aku tak tertarik padamu?" Yes! Kata-kata ini sangat keren. Selain bisa menutup mulutnya, sekaligus aku bisa menyerang pribadi wanita tersebut."Apa!?" Yumna seolah terkejut. Meski pun itu benar, pasti akan sulit mengakuinya."Oh, bukannya saya kecewa, itu bukan masalah buat saya, Tuan. Lagi pula saya tidak menginginkan itu. Yah, sebenarnya banyak pria normal di luar sana yang mati-matian mengejar saya. Dan normalnya, seorang pria kalau sudah pernah begituan, dia tidak mungkin berpuasa terus-terusan." Dia jadi bicara melebar ke mana-mana."Ck. Kamu ngomong apa, sih?" Kusibak s