Share

Kabar Baik Dari Pabrik

Sebelum berangkat ke pabrik, aku menyempatkan sarapan makanan yang telah disiapkan. Dari arah dapur, Fidelya keluar. Ia berjalan dengan lesu menuju meja makan. Sesekali ia menepuk nepuk pelipisnya.

"Kamu sakit, Fi?" tanyaku setelah ia duduk di hadapanku.

Fidelya menggeleng cepat. "Nggak, Mas! Ada yang mau aku omongin, tapi aku lupa. Padahal aku yakin, ada hal yang harus aku omongin sama, Mas! Tapi aku nggak inget dari tadi," jelasnya.

Aku mengernyit. Dalam hati, aku mengakui kehebatan dari air yang ku usapkan tadi malam. Ternyata, efeknya luar biasa. Belum saatnya kamu tahu, Fi.

"Apa emangnya, Fi?" Aku pura-pura penasaran.

Fidelya lagi-lagi menggeleng. "Gak inget, Mas! Aku bener-bener lupa. Terakhir yang aku inget, ya, pas disuruh tidur sama, Mas. Aku langsung tidur," jawabnya.

"Ya, sudahlah, Fi. Mungkin kamu cuma mimpi, dan lupa sama mimpi semalam itu wajar, Fi!" ujarku.

"Iya kali, Mas!" Fidelya mencentong sedikit nasi di atas piringku. Lalu menyiramkan kuah ikan bumbu kuning dan menghidangkannya di hadapanku.

"Mas, kenapa Anjani nggak Mas ajak sarapan bareng? Tenang aja, makanan yang dimasak  ini nggak ada aku kasih racun, Mas," tanya dan ungkap Fidelya.

Aku hampir tersedak mendengarnya. Cepat ku teguk air dan bersikap biasa. "Kamu ada-ada saja, Fi!"

"Aku serius, Mas! Sudah satu minggu, Anjani tinggal bersama kita. Aku menerimanya sebagai adik maduku. Apa dia tidak bisa menerimaku sebagai kakak madunya, Mas?"

Aku menghela nafas. "Fi, Anjani itu memang seperti itu. Sebelum Mas menikahinya, dia sudah tahu semuanya. Anjani menerima, kok, Fi!"

"Tapi, Mas, satu minggu Anjani di sini, kita belum pernah sarapan bareng. Makan malam pun kadang bareng kadang nggak. Dia lebih senang di dalam kamarnya. Jarang sekali dia keluar kamar. Aku aneh, Mas!"

"Sudahlah, Fi. Mas sangat berterima kasih kamu sudah mau menerima kehadirannya. Soal dia yang lebih senang di kamarnya, biarkan saja! Dia memang senang menyendiri. Lagian 'kan, fasilitas di kamarnya lengkap bikin Anjani betah diem di sana, Fi!"

Fidelya manggut-manggut dengan bibir mencebik, mungkin tidak puas dengan penuturanku. Ia lalu menyantap sarapan yang sama denganku.

Anjani memang begitu. Ia lebih suka di dalam kamar. Untuk sarapan dan makan, aku menyuruh Bi Marni—pembantu rumah ini—mengantarnya ke kamar Anjani. Tentu saja tanpa sepengetahuan Fidelya.

Selesai sarapan, Fidelya biasanya menyiram tanaman yang tumbuh di taman depan rumah. Saat itulah, Bi Marni mengantar sarapan ke kamar Anjani.

Di rumah ini, hanya ada satu pembantu dan satu penjaga. Fidelya sebenarnya tidak keberatan jika rumah ini, ia urus sendiri. Karena Fidelya perempuan yang cekatan dalam mengerjakan sesuatu.

Bi Marni bekerja di rumahku sejak dua tahun lalu. Ketika itu, tidak sengaja aku menolongnya yang menjadi korban tabrak lari, menyebabkan tubuhnya dipenuhi luka. Aku yang membayar biaya perawatannya saat di rumah sakit.

Aku hendak meninggalkannya setelah ia sembuh, tapi ia memohon agar aku membawanya. Bi Marni mengiba. Ia bercerita, kalau ia tidak punya sesiapa di kota ini. Ia datang ke kota ini untuk mencari pekerjaan bersama temannya dari kampung.

Bi Marni orang yang tidak berpendidikan. Ia tidak tahu kalau temannya berniat menipu. Uang Bi Marni dibawanya kabur. Bi Marni ditinggalkan di stasiun kereta tanpa uang sepeser pun dan tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Bi Marni yang linglung menyebrang jalan sembarangan, hingga menjadi korban tabrak lari.

Aku hendak mengantar Bi Marni pulang ke kampungnya, tapi ia menolak. Di kampung, kehadirannya tidak diinginkan anaknya, lebih tepatnya anak tiri.

Bi Marni perempuan mandul. Ia sudah tiga kali menikah. Dua kali menikah, ia diceraikan karena tidak bisa memberikan keturunan. Sedangkan pernikahan ketiganya, ia menikah dengan seorang duda dengan 4 anak.

Bi Marni menerima anak-anak tirinya dengan suka hati. Ia rela bekerja membantu suaminya dalam menafkahi keluarga mereka. Namun, anak-anak tirinya tidak pernah menerima kehadiran Bi Marni.

Sampai satu hari, ia dan suaminya yang mengendarai motor mengalami kecelakaan, suaminya meninggal sementara Bi Marni menderita patah tulang.

Anak-anak tirinya mengusir Bi Marni dari rumah peninggalan suaminya. Sehingga Bi Marni memutuskan ke kota mencari pekerjaan.

Akhirnya aku membawanya ke rumah untuk bekerja sebagai pembantu. Fidelya menyetujui meski pekerjaan rumah sebenarnya masih bisa ia handle sendiri. Bi Marni mengurusku dan Fidelya dengan baik, begitu juga rumah yang selalu ia bersihkan.

Bi Marni tahu siapa Anjani. Awalnya ia syok dan takut. Namun, ia tidak punya pilihan. Sehingga ia menuruti perintah apapun yang kuberikan.

***

Aku memeriksa laporan bulan kemarin yang baru saja dikirimkan Hardi, mandor sekaligus orang kepercayaanku. Ia kini berdiri di hadapanku.

Aku memeriksanya dengan teliti hingga membuatku menghirup nafas dalam-dalam. Tidak ada perubahan signifikan. Tidak ada orderan masuk. Pengeluaran produk juga macet. Harga bahan baku terus naik. Sedangkan pabrik, bekerja hanya membuat stok. Benar-benar rugi kalau begini.

Aku menyugar rambut gelisah.

"Tenang, Bos! Itu laporan bulan kemarin, bulan ini pasti naik pesat, Bos!" ujar Hardi semangat.

Aku menaikan alis. Kenapa dia sangat yakin? Hardi lalu menyodorkan kembali selembar kertas di atas meja. Aku meraih kertas itu lalu membacanya.

Laporan pemesanan untuk seminggu ke depan. Tidak hanya laporan pemesanan, tapi juga laporan supplier baru untuk bahan baku. Aku tersenyum lebar melihatnya.

"Gimana?" tanya Hardi.

"Good job!" balasku sambil mengangkat jempol.

Hardi tersenyum puas, karena jika aku puas dengan hasil kerjanya, maka ia pun pasti mendapat bonus lebih besar dariku.

Aku lalu mengizinkannya keluar dari ruangan ini, karena sudah membawa laporan yang memuaskan di awal bulan.

Aku bertopang dagu. Benar-benar menakjubkan. Baru satu minggu, aku menikahi Anjani, dan Boom! Pabrik yang mulai oleng dan hampir saja gulung tikar, kini mulai kembali menunjukkan taringnya.

Mungkin sebentar lagi bisa tembus pasar ekspor. Kerja yang sangat bagus sekali! Tidak sia-sia aku menikah dengan Anjani. Dengan begitu, kekayaanku bisa segera kembali.

Aku merogoh ponsel dalam saku celana. Kuhubungi telpon rumahku.

"Hallo?" Pas sekali, panggilan diterima oleh Bi Marni.

"Bi, sarapan untuk Anjani, aman?"

"Aman, Den!"

"Fidelya bagaimana, Bi?"

"Nyonya dari tadi di luar, Den! Bibi lihat, Nyonya terus saja memutari pohon jambu di halaman samping."

"Ngapain, Bi?"

"Nggak tahu, Den! Bibi tanyain, Nyonya juga nggak ingat katanya."

"Oh, ya, sudah. Biarkan saja, Bi! Siang nanti, Bibi bawakan dua ekor ayam kampung yang masih hidup ke kamarnya!"

"Siang, Den? Nanti ketahuan, Nyonya?"

"Nyonya saya pastikan sedang pergi keluar!"

"Baik, Den!"

Tutt! Aku mematikan panggilan. Lalu beralih menghubungi nomor Fidelya.

Lama tersambung, akhirnya Fidelya mengangkat panggilan dariku.

"Hallo, Fi?"

"Iya, Mas?

"Fi, nanti siang, kita makan di luar, ya!"

"Ada apa, Mas? Tumben sekali?"

"Iya, Mas kangen makan siang di luar bareng kamu!"

"Anjani bagaimana, Mas? Sudah Mas ajak juga?"

"Sudah, tapi Anjani tidak ikut katanya!"

"Kenapa, Mas?"

"Tidak tahu! Dia mau di rumah saja!"

"Ohh, begitu."

"Iya, Fi! Nanti kita ketemu di resto biasa, nggak apa-apa, 'kan, Fi?"

"Iya, Mas! Nanti sebelum jam makan siang, aku sudah di sana!"

"Oke! Daah Fidelya, Sayang!"

"Daah, Mas!"

Tutt! Fidelya mematikan telepon.

Aku kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Aku tersenyum puas.

Anjani, nikmatilah makan siangmu. Sementara, aku pun akan menikmati makan siangku bersama Fidelya.

Anggap saja sebagai perayaan untuk menandai kebangkitan pabrik ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status