Share

ISTRI KEDUA KU
ISTRI KEDUA KU
Penulis: Sity Mariah

Teriakan Tengah Malam

"Mas, semenjak Anjani tinggal di rumah ini, aku merasa rumah ini jadi aneh," ucap istriku malam ini.

Aku tengah membaca map berisi laporan pabrik sembari menikmati pijatan lembut pada kaki yang dilakukan istriku. "Aneh gimana maksudnya, Fi?" tanyaku kemudian.

"Ya … aku jadi ngerasa takut, Mas. Berasa merinding gitu!" terangnya.

"Merinding? Kok, bisa?" tanyaku lagi masih fokus pada map di tangan.

"Gak tahu! Mas emangnya gak ngerasa? Aura rumah ini jadi beda sejak Anjani tinggal di sini, Mas."

Aku menutup map, lalu menatapnya. "Aura apalah, Fi? Udah jangan mikir yang nggak-nggak gitulah! Sekarang mending kita tidur," ucapku. Lantas kupegang kedua tangannya agar berhenti memijat kakiku.

Istriku mengangguk, kemudian merebahkan tubuhnya miring menghadapku. Cepat aku membenahi selimut untuk menutupi tubuhnya.

Aku pun merebahkan tubuh dan menghadap pada istriku itu. Mengikis jarak antara aku dengannya. Hingga wajahku, teramat dekat dengan wajahnya. Kutatap lekat wajah perempuan di hadapanku kini. Manik mata kecoklatan yang mampu menggetarkan hati setiap kali aku menatapnya.

Aku mengelus pipinya penuh kelembutan. "Mas rindu, Fi!" ucapku pelan. Istriku sudah mengerti, apa arti kata rindu yang kuucapkan jika malam seperti ini.

Ia tersenyum dan mengusap bibirku dengan jari tangannya. Aku menatapnya lekat. Menatap mata indah yang selalu memberiku kehangatan dan kekuatan. Tanganku yang sedari tadi mengelus pipinya, kini berpindah pada tengkuknya. Kutuntun wajahnya agar lebih dekat hingga tanpa jarak. Dan … malam ini aku melebur dengannya. Setelah satu minggu, aku melalui malam bersama Anjani, istri keduaku. Malam ini hingga satu minggu ke depan, malamku bersamanya, istri pertamaku.

***

Rinduku sudah berlabuh. Kini, istriku berbaring di sampingku, dan kepalanya ia sandarkan di pundak. Aku mengelus rambutnya yang pendek sebahu. Sesekali, aku mengecup pucuk kepalanya.

"Mas, kamu lupa?" tanyanya memecah keheningan malam.

"Lupa apa, Fi?"

"Kamu nggak pake pengaman, Mas? 3 hari yang lalu, aku baru beres datang bulan," terangnya.

Aku tersenyum mendengarnya. "Terus?"

"Bagaimana kalau aku hamil, Mas?"

"Sudah saatnya, Fi!"

Istriku mendongak, membuatku kembali menatap iris mata coklatnya. "Mas mengizinkan?" tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk. Ia kembali pada pelukanku, kali ini ia tenggelamkan lebih dalam kepalanya di dadaku. Juga tangannya yang semakin erat di pinggang ini. "Terima kasih, Mas!" ucapnya sedikit bergetar.

Aku hanya mengangguk seraya kembali aku membelai kepalanya. "Sekarang tidurlah!" perintahku dan ia mengangguk cepat.

Aku masih terus membelai rambutnya hingga dengkuran mulai terdengar pelan. Menandakan istriku sudah mulai tertidur dalam pelukanku.

Istriku benar, saat tadi aku menjamahnya, aku tidak seperti biasa. Aku melakukannya langsung tanpa peduli dengan pengaman yang biasa kupakai setiap kali berhubungan dengannya.

Lima tahun menikah, malam ini pertama kalinya, aku melakukannya tanpa pengaman. Ternyata rasanya memang lain. Aku merasa seutuhnya memiliki Istriku. Aku merasa benar-benar menyatu dengannya.

Malam ini, biarlah benihku tersemai dalam rahimnya. Karena memang itulah yang aku inginkan. Serta itu pula yang harus kulakukan agar istriku segera hamil.

Lima tahun menjalani rumah tangga tanpa kehadiran anak. Tanpa pernah sekalipun istriku hamil. Aku pria normal dan sehat. Begitu juga istriku. Kami sama-sama tidak memiliki masalah pada kesuburan untuk memiliki buah hati.

Namun, memang aku yang melarang istriku untuk hamil selama ini. Aku tidak ingin memiliki anak. Aku meminta istriku untuk memakai kontrasepsi dengan minum pil KB setiap menjelang malam hari.

Lalu aku yang selalu memakai pengaman. Aku tidak ingin kecolongan dan itu berhasil hingga kini.

Aku dan istriku tumbuh besar di panti asuhan. Istriku kehilangan orang tuanya akibat kecelakaan. Orang tua istriku meninggal di tempat kejadian. Hanya ia yang selamat meski tubuhnya terluka parah. Tidak ada identitas yang ditemukan untuk mengenali siapa istriku dan kedua orangtuanya.

Hingga akhirnya jasad orang tua istriku diserahkan sepenuhnya pada pihak rumah sakit. Sementara istriku yang baru berumur dua tahun kala itu, pihak rumah sakit serahkan pada yayasan panti asuhan. Karena tidak adanya identitas tentang mereka.

Sementara aku? Aku hanyalah anak hasil hubungan gelap yang tidak diinginkan.

Ketika usiaku menginjak 20 tahun, Ibu panti mengatakan semuanya. Aku ditemukan tengah malam dalam keranjang yang dilapisi selimut tebal. Bahkan tali pusarnya saja belum terlepas.

Mereka meninggalkanku yang Ibu panti perkirakan baru lahir, dengan sejumlah uang dalam keranjang itu. Serta selembar kertas yang menyatakan, bahwa orang tuaku adalah pendosa karena telah menghadirkan raga yang bernyawa di luar ikatan. Sehingga aku ditinggalkan di panti agar dosa mereka tidak semakin banyak.

Cih! Perasaan nyeri selalu menyergap, jika aku mengingat itu semua. Orang tua macam apa mereka, yang hanya mau enaknya saja tapi tidak mau menerima kehadiranku. Aku membenci mereka. Aku menganggap mereka telah mati!

Maka dari itu, aku tidak mengizinkan istriku hamil apalagi sampai melahirkan seorang anak. Aku tidak mau. Masa laluku sebagai seorang anak yang tidak diinginkan. Memberiku luka yang tidak ada obatnya. Membuatku tidak ingin menjadi orang tua.

Pelan, aku memindahkan kepala Istriku dari dada ini ke atas bantal. Perempuan yang telah menemaniku lima tahun ini, begitu senang karena aku mengizinkannya hamil.

Aku tetap pada pendirianku untuk hidup tanpa anak. Mengizinkan istriku hamil, itu sebuah syarat yang harus kujalani setelah menikahi Anjani.

Aku kembali telentang sembari menatap langit-langit kamar ini. Hingga akhirnya, rasa kantuk menyerang dan aku terlelap.

***

"Aaaaakkhh …. "

Mataku yang begitu rapat, tiba-tiba terbuka cepat karena mendengar suara jeritan yang cukup kencang. Aku menoleh ke samping, ternyata istriku tidak ada.

Kuraih ponsel di atas nakas, pukul 1 dini hari. Gegas menyibak selimut dan turun dari tempat tidur.

Aku berjalan keluar kamar. Malam hari, rumah memang dibiarkan gelap. Dari depan kamar ini, aku dapat melihat cahaya lampu dari halaman samping menyinari lewat jendela yang terbuka lebar.

Mataku membulat melihat seseorang ambruk di bawah terpaan sinar lampu itu. Aku setengah berlari menghampirinya.

"Fidelya!" pekikku.

Istriku tak sadarkan diri. Aku menggerakkan kepala untuk melihat ke luar jendela yang terbuka.

Mataku terbelalak. Susah payah aku menelan saliva. Sesosok bergaun hitam lebar, duduk di dahan pohon. Gaunnya menjuntai hingga tanah juga rambutnya. Wajahnya tertutup separuh rambut panjangnya yang kusut. Terlihat hanya sebelah matanya yang tanpa pupil. Sosok itu menyeringai padaku.

Aku memalingkan wajah. Kuangkat tubuh istriku menuju kamar dan membaringkannya cepat. Aku mengusap wajah dengan kasar dan menghela nafas. Gusar, tapi otakku berpikir lebih keras hingga aku ingat sesuatu.

Cepat aku membuka lemari, mengambil koper di bagian paling bawah. Kubuka resletingnya, hingga kutemukan apa yang aku cari.

Botol kecil bening sebesar satu buku jempol tanganku. Aku lalu menuangkan sedikit isinya pada air dalam gelas di atas nakas.

Setelah ku pastikan larut, aku menuangkan air itu pada telapak tangan. Lalu ku usapkan pada wajah istriku yang masih terbaring belum sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status