Istri Keduaku (3)
Aku berjalan masuk ke dalam resto. Fidelya mengatakan, kalau ia ada di lantai atas. Gegas aku melangkah naik.Fidelya rupanya memilih meja dekat kaca yang langsung mengarah ke luar dengan tempat duduk beralas sofa memanjang. Cepat aku menghampiri dan duduk di sampingnya.Fidelya sudah memesan makanan. Segera aku dan istriku ini menikmati makan siang. Baru siang ini, aku dan Fidelya makan siang di luar lagi setelah satu tahun lamanya."Setelah ini, kamu mau ke mana lagi, Fi?" tanyaku memulai pembicaraan. Makan siang sudah benar-benar selesai."Pulanglah, Mas. Ke mana lagi?""Kita jalan-jalan dulu, Fi?""Benar, Mas?"Aku hanya mengangguk. Fidelya tersenyum manis. "Pabrik sudah mulai stabil, Mas?"Aku tersenyum. Kuusap rambut hitam Fidelya. "Nggak kayak satu tahun kebelakang, Fi! Mulai ada sedikit kemajuan," terangku.Fidelya menatapku. "Syukurlah, Mas! Mudah-mudahan semakin meningkat!" ucapnya dan aku mengangguk.***Aku membawa Fidelya ke Mall. Lalu menyuruhnya ke sebuah salon yang ada di dalam Mall, sementara aku pun masuk ke barber shop untuk mencukur rambut.Selesai dari salon, aku membebaskan Fidelya membeli apapun yang ia mau, apapun yang ia sukai.Aku memberinya hidup mewah selama ini. Setelah satu tahun terakhir, aku memintanya mengencangkan ikat pinggang, kali ini aku kembali memanjakannya.Sebenarnya Fidelya bukan perempuan gila harta. Ia perempuan sederhana sejak dulu. Hanya aku yang ingin memberinya kemewahan. Karena ia satu-satunya perempuan yang ada di hatiku.Apalagi yang diinginkan wanita, selain shopping sepuas hatinya? Maka itulah yang kulakukan hari ini untuk menyenangkan istriku.Selama mengelilingi Mall, Fidelya berjalan seraya melingkarkan tangannya di lenganku. Entah berapa paper bag yang kini aku jinjing berisi belanjaan miliknya. Tidak masalah bagiku. Asalkan Fidelya bahagia, apapun aku berikan.Sebelum pulang, aku dan Fidelya mampir ke TimeZ*ne. Wahana permainan yang ramai dikunjungi anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa.Fidelya menarikku bermain lantai dansa. Fidelya begitu menikmati permainannya, ia sangat lincah menggerakkan kakinya mengikuti gerakan yang tertera di layar. Sementara aku begitu kaku. Karena tidak menguasai permainan ini. Hingga aku terus kalah.Fidelya tertawa gembira karena mengalahkanku berulang kali. Setelah lima kali bermain, barulah Fidelya beranjak dan duduk di kursi yang tersedia.Fidelya terengah-engah. Aku yang tak tega melihatnya, segera beranjak untuk membelikan air minum.Kubawa satu botol air mineral dan memberikannya pada Fidelya. Dengan cepat Fidelya meneguknya. Aku bersandar, memperhatikan istriku yang berkeringat. Ku acak rambutnya gemas."Mas, coba lihat yang duduk di seberang kita!" ucap Fidelya.Aku lalu mengarahkan pandangan sesuai yang Fidelya ucapkan. Tampak di seberang tempatku kini duduk, sepasang suami istri dengan dua anaknya yang masih kecil-kecil. Lelaki dan perempuan.Aku menautkan alis dan menoleh pada Fidelya. "Ada apa, Fi?" tanyaku kemudian.Fidelya mengembangkan senyuman. "Aku ingin cepat hamil dan punya anak, Mas!" ungkapnya.Aku mengangguk samar. "Makanya, Mas bawa kamu kemari, biar kamu senang. Kalau kamu senang, itu sangat bagus buat hormon kita, Fi!""Iya, Mas. Aku senang sekali, akhirnya Mas berubah pikiran dan mau memiliki anak.""Iya, Fi! Setiap orang kapan saja pasti bisa berubah pikiran."Fidelya mengangguk. "Kita mau punya berapa anak, Mas?""Berapa saja, Fi. Mas tidak bisa menentukan.""Enam, ya, Mas!""Enam?"Fidelya mengangguk antusias. "Iya, biar rumah kita ramai. Ah aku nggak sabar, Mas!"Aku hanya diam sambil tersenyum samar."Apa Mas mengizinkan Anjani juga untuk hamil, Mas?"Tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Hampir saja terbatuk. Untung masih bisa ku kendalikan. "Y—ya, iya, Fi! Kamu nggak keberatan 'kan, Fi, kalau Anjani Mas izinkan bisa hamil juga?"Fidelya menghembuskan nafasnya pelan. "Nggaklah, Mas. Aku sudah sangat berbesar hati menerima kehadirannya di pernikahan kita. Tapi kalau Anjani yang duluan hamil daripada aku, gimana, Mas?""Ya, emang kenapa, Fi? Mau kamu atau pun Anjani yang duluan hamil, itu bukan masalah penting bagi Mas!"Fidelya mengangguk. "Tapi nanti Mas harus bantu aku mengurus anak-anak!""Iya, Fi! Iya! Mas bantu, tenang saja!"Fidelya lagi-lagi tersenyum. Ia kembali meneguk sisa air mineral dalam botol. Matanya masih memperhatikan pasangan di seberang sana.Aku tersenyum penuh kemenangan. Fidelya ingin memiliki banyak anak. Itu artinya ia pun harus sering hamil.Baguslah. Memang itu yang seharusnya. Fidelya tidak tahu saja, kalau Anjani tidak akan bisa hamil. Justru anak-anak dari rahimnya yang diinginkan Anjani.***Aku dan Fidelya sampai di rumah malam hari. Keluar dari TimeZ*ne, aku dan Fidelya lanjut menonton hingga lupa waktu.Selesai membersihkan diri, aku dan Fidelya langsung ke meja makan. Ternyata Anjani sudah lebih dulu ada di meja makan. Aku kemudian duduk di tengah-tengah. Fidelya duduk berhadapan dengan Anjani."Malam, An." Fidelya menyapa Anjani."Malam," jawab Anjani singkat."An, kenapa tadi nggak ikut?" tanya Fidelya.Anjani menggeleng. "Aku gak mau ganggu waktu kalian," jawab Anjani. Nada suaranya terdengar dingin.Fidelya mengerucutkan bibir. Ia lalu mulai makan malam. Mungkin bosan karena respon Anjani yang selalu dingin.Fidelya makan dengan lahap, setengah hari menghabiskan waktu bersamaku di luar membuat tenaganya mungkin terkuras.Sedangkan Anjani, hanya memainkan sendok dan garpu di tangannya."An, kenapa nggak dimakan? Nggak enak?" Fidelya bertanya.Anjani menggeleng pelan. "Aku gak suka," jawabnya.Fidelya mengernyit. "Terus sukanya apa, An?""Aku suka darah""Uhukkk!" Fidelya tersedak. Aku mengangsurkan segelas air putih dan diteguknya cepat.Aku pun cepat-cepat minum dan berdehem."Apa kamu bilang, An?""Anjani suka burung dara, Fi!" selaku."Nggak, Mas! Tadi aku dengernya darah, Mas!""Kamu salah denger, Fi! Sudah, nanti lagi Mas akan minta Bi Marni masak olahan daging burung dara untuk makan malam kamu, An!" ujarku."Mas, aku nggak salah denger!""An, bener kan kamu suka burung dara?" Aku pura-pura bertanya pada Anjani dan dibalas anggukan olehnya."Tuh, Fi! Kamu cuma salah denger! Udah, kita selesaikan makan malamnya," perintahku."Burung dara? Ih, aku geli bayanginnya, Mas!" Fidelya bergumam sambil bergidik."Selera orang beda-beda, Fi! Sudah, selesaikan makan malam kita!" tegasku.Fidelya terlihat menggaruk kepalanya. Sedangkan Anjani hanya menatap meja makan dengan tatapan kosong.Memang seharusnya, Anjani tidak keluar kamar. Kalau begini, Fidelya bisa curiga dan usahaku sia-sia.Selesai makan malam, aku masuk ke kamar Fidelya. "Mas, Anjani nggak makan, ngambek kali, Mas! Mending malam ini, Mas tidur di kamar Anjani, sana!" Fidelya berkata seraya mengeluarkan barang belanjaan dari dalam paper bag.Aku mendengus pelan. "Apa sih, Fi? Malam ini kan jatah Mas sama kamu!""Tapi Mas, tadi kita 'kan udah habisin waktu di luar! Jadi aku gak apa-apa kalo malam ini Mas di kamar Anjani!"Aku beranjak dari tempat tidur. Lalu menghampiri Fidelya. Ia masih berkutat dengan paper bag yang terserak di atas sofa panjang tanpa sandaran yang ada di tepi tempat tidur.Aku melingkarkan tangan di pinggang Fidelya dan memeluknya dari belakang. Fidelya menegakan tubuhnya yang semula bungkuk. "Tapi Mas mau di kamar ini, Fi! Dan Mas tidak menerima penolakan!" ucapku seraya membenamkan wajah di cerukan lehernya.Lalu membawanya ke pangkuanku yang duduk di atas sofa dan kini mengecup pelan lehernya. "Tapi, Mas—""Ssst! Sejak kapan kamu mulai membantah kata-kata Mas hmm?" tanyaku pelan memotong ucapannya.Aku kembali menyelami peraduan malam ini bersama Fidelya. Kini, ia tengah tertidur pulas di sampingku. Jam dinding menunjukan pukul setengah satu malam sedangkan aku masih terjaga.Aku duduk bertelanjang dada di sandaran kasur. Aku memikirkan, apa yang menyebabkan Fidelya sampai keluar kamar malam kemarin. Hingga ia melihat sosok yang membuatnya tak sadarkan diri. Malam ini, tidak boleh terjadi lagi.Hembusan angin terdengar lebih kencang karena sepinya suasana malam seperti ini. Gorden jendela kamar berkibaran seperti sengaja ditiup dari luar. Aku masih memperhatikan.Tiba-tiba dari balik gorden, aku melihat sekelebat bayangan melintas. Diikuti bau anyir lalu berganti dengan bau melati yang menyengat. Bayangan itu melintas menuju halaman samping rumah ini.Tidak salah lagi. Pasti ini yang membuat Fidelya keluar dari kamar malam kemarin. Untung saja aku terbangun akibat jeritannya dan bisa membuatnya lupa dengan yang ia lihat. Lengah sedikit saja, urusan bisa panjang.Cepat aku memaka
Sore hari aku pulang meninggalkan pabrik. Hardi kuberikan kepercayaan penuh mengurus pabrik setelah aku pulang. Selama ini, ia bekerja sudah sangat baik untuk pabrikku.Aku turun dari mobil berjenis SUV warna putih. Satu-satunya mobil yang tersisa setelah dua mobil lainnya aku jual.Dari dalam rumah, Fidelya keluar bersama seorang pria."Mas!" Fidelya sedikit berteriak, lalu berlari kecil menghampiriku yang baru keluar dari mobil.Netraku menyipit melihat pria yang keluar bersama Fidelya tadi. "Lukman?" tebakku pada pria yang kini ada di hadapanku.Pria itu mengangguk. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.Aku menerima uluran tangannya. "Baik, Man! Sudah lama?""Baru saja sampai, Mas!" Fidelya memberi tahu."Mari kita masuk lagi!" ajakku.*****Aku duduk di sofa dengan Fidelya di sampingku. Sofa bergaya chesterfield yang ada di ruang tamu ini, memberikan kesan mewah bagi rumahku.Lukman duduk di hadapanku dan Fidelya kini. Lukman ini sama sepertiku dulu, anak yang besar di
Aku duduk bersandar seraya berpangku tangan. Kulirik Anjani, matanya rapat dengan posisi tengkurap. Anjani akan berubah setiap malam. Selama satu minggu aku tidur di kamar ini dengannya, setiap malam tiba-tiba saja dia sudah menjelma menjadi kuntilanak yang berbaring di hadapanku.Tapi, karena aku ada di kamarnya, meski setiap malam dia menjadi kuntilanak, dia tidak bisa keluar dari kamar ini. Berbeda jika aku tidur di kamar Fidelya. Itulah kenapa Fidelya memergokinya bertengger saat malam.Tubuhku sudah berisi dan Anjani bisa kukendalikan. Meski melihatnya dalam wujud asli sekali pun, aku bisa mengendalikan diri.Aku belum bisa tidur. Aku menatap langit-langit kamar ini. Pikiranku teringat pada Ibu panti. Sekarang Ibu memang sudah tua dan pasti akan sering sakit.Sudah satu tahun, aku dan Fidelya tidak pergi ke panti. Bukan karena lupa, tapi memang karena pabrik tidak bisa kutinggalkan.Mana mungkin aku melupakan Ibu. Orang yang sudah membesarkan dan merawatku sejak bayi seperti anak
Setelah Hardi pergi dari ruanganku, lantas aku menghempaskan bobot di kursi kerja yang ada di ruangan pribadiku ini. Aku lalu memperhatikan kembali lembar kertas yang ada di tangan.Xaviero De'Store. Toko fashion dengan kualitas tinggi yang ada di salah satu kota di Singapura. Dulu, saat pabrik dalam keadaan stabil, bahkan pemasukan setiap tahun selalu mencapai target. Aku dan Fidelya selalu plesiran ke luar negeri, meski masih sebatas Asia Tenggara.Setiap tiga bulan sekali, aku dan Fidelya pergi berlibur. Menghabiskan waktu di negeri orang sekalian memasarkan produk pabrik. Tapi, belum ada tanda-tanda produk yang pabrik keluarkan dilirik pasar luar.Sedangkan satu bulan sekali. Aku dan Fidelya, rutin mengunjungi panti dan memberikan donasi sepuluh juta tiap bulannya. Aku menjadi donatur tetap untuk panti selama ini.Setahun kebelakang, tidak lagi. Aku dan Fidelya benar-benar mengencangkan ikat pinggang demi pabrik bisa tetap berdiri.Tapi, sekarang? Sungguh di luar dugaanku, bahwa a
Hari Minggu pagi. Aku dan Fidelya akan pergi ke panti. Fidelya masih berkemas, aku menunggunya ditemani secangkir kopi latte yang hangat. Menyesap wangi kopi tersebut lalu menyeruputnya seketika. Nikmat sekali.Bi Marni lalu menghampiriku, sesaat setelah tadi menghidangkan kopi, aku memintanya segera kembali. Aku kemudian menaruh cangkir kopi di atas meja."Bi, kubur ini pada saat menjelang magrib nanti dekat pagar! Saya dan Fidelya kemungkinan akan menginap di panti!" Aku memberikan bungkusan berwarna putih pada Bi Marni."I—ni apa, Den?" tanya Bi Marni ingin tahu."Sudah, Bibi gak perlu tahu! Pokoknya, saat menjelang magrib nanti, kubur saja itu. Kalau tidak, nanti Anjani bisa pindah tidurnya ke kamar Bibi!" jelasku.Bi Marni terlonjak. "Ja—jangan, Den! Bibi takut.""Nggak perlu takut, Bi! Makanya nanti Bibi kubur saja bungkusan itu, biar semua aman!" titahku. Bi Marni hanya mengangguk."Bibi juga harus pastikan, Anjani tidak kelaparan, Bi!""Iya, Den!"Aku mengangguk puas dengan ja
Istri Keduaku (9)***Makan malam sudah tersaji. Aku makan bersama semua penghuni panti yang lain. Anak-anak begitu antusias, karena menu makan malam ini sedikit istimewa dari biasanya.Siang tadi, aku memberikan uang lebih untuk dapur. Sehingga malam ini, tersaji menu mewah dan banyak untuk anak-anak. Agar anak-anak tidak perlu berebutan.Anak-anak makan dengan lahap. Begitupun aku dan Fidelya. Lukman serta istrinya pun tak ketinggalan. Ibu tersenyum bahagia.Selesai makan malam, anak-anak akan dibiarkan bermain sebentar di dalam ruangan sebelum tiba waktunya mereka tidur. Aku mendorong kursi roda Ibu menuju kamarnya bersama Fidelya.Setelah sampai di kamar Ibu, aku memapahnya untuk berpindah duduk ke kasur. Karena ada aku dan Fidelya, maka malam ini, aku dan Fidelya yang menggantikan tugas Lukman dan istrinya menemani Ibu.Lukman dan Nabila sama-sama anak panti dulunya. Mereka tumbuh bersama di panti dan akhirnya mereka menikah dan mengabdikan diri ikut serta mengurus panti. Sementa
Istri Keduaku (10)***"Fi, Mas haus. Mas minta tolong, belikan air minum!" pintaku pada Fidelya setelah menepikan mobil di depan minimarket."Iya, Mas!" jawab Fidelya singkat seraya turun dari mobil. Fidelya meninggalkan tas kecilnya dan hanya membawa dompet masuk ke dalam minimarket.Setelah Fidelya menghilang di balik pintu minimarket, segera aku mengambil tas Fidelya yang tergeletak di atas kursi. Kubuka resletingnya dan mencari tasbih yang tadi Lukman berikan.Aku mendapatkannya. Setelah tasbih itu di tanganku, aku meremasnya. Akan kuhancurkan benda ini. Fidelya tidak boleh memakainya."Aakhh!"Tasbih itu terlempar. Tanganku rasa tersengat panas. Aku belum berhasil menghancurkannya. Sedangkan Fidelya sudah keluar dari minimarket. Cepat aku mengambil tasbih yang terlempar ke bawah tadi dan memasukkannya kembali ke dalam tas Fidelya. Lalu meletakkan lagi tas Fidelya seperti tadi.Fidelya masuk mobil dengan dua botol air mineral dan dua minuman dingin rasa jeruk. Fidelya lantas memb
Keluar dari kamar mandi, kudapati Fidelya ternyata sudah terlelap di tempat tidur. Mungkin Fidelya lelah. Cepat aku berpakaian.Mataku lantas tertuju pada tas kecil yang tergeletak di atas sofa. Tas kecil yang berisi tasbih dari Lukman. Cepat kuambil untuk mencari tasbih berwarna hitam mengkilap itu.Hingga semua barang di dalam tas sudah aku keluarkan tapi tasbih tadi tidak ditemukan. Apa mungkin Fidelya sudah menyimpannya? Tapi dimana? Kuletakan kembali tas Fidelya di sofa.Lalu membuka setiap laci nakas. Tetap saja tasbih itu tidak kutemukan. Aku membuang nafas sejenak. Aku yakin, tasbih tadi bukan tasbih biasa. Pasti Lukman sudah membuat tasbih itu tak bisa aku sentuh. Lukman memang menyebalkan dari dulu.Aku ikut merebahkan diri di samping Fidelya dan merenggangkan otot-otot tubuh. Jam dinding di kamar ini menunjukkan pukul 2 siang. Aku pun memejam sampai akhirnya terlelap.***"Mas!" Panggilan disertai guncangan di tubuhku, meski pelan namun mampu membangunkanku. Lantas kubuka m