Rachel menutup map tua yang berisi dokumen milik almarhum ayahnya dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ia menemukan salinan surat perjanjian kepemilikan saham perusahaan keluarga Martin, lengkap dengan tanda tangan ayah Martin dan Malik Anshari. Namun, yang membuat dadanya sesak adalah nama ibunya yang juga tertulis sebagai saksi dalam dokumen itu.“Kenapa Mama bisa terlibat?” bisik Rachel, suara lirihnya nyaris tak terdengar. Ia mencoba mengingat kembali semua percakapan masa lalu dengan ibunya, namun tak satupun yang mengarah ke keterlibatan dalam bisnis keluarga suaminya. Yang ia tahu, Mama hanya seorang ibu rumah tangga biasa.Rachel menatap langit-langit kamar dengan mata yang basah. Luka demi luka seakan terkuak satu demi satu. Belum selesai dengan kecurigaannya terhadap Dali Malik dan kebenaran tentang Adrian, kini muncul satu lagi misteri yang menghantam sisi emosionalnya: masa lalu ibunya.Pagi harinya, Rachel memutuskan menemui Mama. Ia ingin bertanya langsung, namun tanpa m
Pagi itu, Rachel berdiri di depan sebuah bangunan tua di pinggiran kota, tempat yang disebutkan dalam catatan terakhir ayahnya. Sebuah ruko kecil dua lantai yang tampak kusam dan terlupakan. Tak ada papan nama, tak ada aktivitas. Tapi Rachel tahu, di sinilah dulu butik pertama orang tuanya berdiri—tempat segala impian dimulai sebelum semuanya runtuh.Ia menyentuh gagang pintu yang berdebu, mencoba membayangkan masa lalu: Ayah dan ibunya menjahit bersama, menata gaun di etalase, menyambut pelanggan dengan senyuman. Rasa hangat menyeruak dalam dada Rachel, bercampur getir.Rachel membuka kunci yang ia temukan dalam laci lama rumah ibunya. Pintu itu berderit saat terbuka. Di dalam, ruangan kosong penuh debu menyambutnya. Aroma kayu tua dan kain lapuk menyelimuti udara.Langkahnya perlahan menelusuri lantai kayu yang mulai lapuk. Ia memandang sekeliling: ada bekas rak kayu menempel di dinding, sisa cat pudar warna krem, dan sebuah cermin besar yang retaknya membentuk pola seperti jaring
Butik tampak sepi siang itu. Setelah mengatur etalase dan memastikan semua karyawan bekerja sesuai tugas, Rachel masuk ke ruang belakang dengan sebuah folder di tangan. Folder itu berisi dokumen lama yang ia temukan kembali di kamar ibunya—surat-surat, bukti transaksi, bahkan catatan harian yang ternyata disimpan sang ibu secara diam-diam selama bertahun-tahun.Rachel menatap halaman demi halaman dengan jantung yang berdebar. Ia tak menyangka ibunya menyimpan begitu banyak hal. Beberapa catatan berkaitan dengan masa lalu ayahnya, Martin, hingga perjanjian-perjanjian bisnis yang mencurigakan. Semuanya berlapis teka-teki—bukan karena misteri luar, tapi karena keputusan orang-orang terdekatnya menyembunyikan kebenaran darinya.Ia terdiam lama. Wajahnya murung tapi matanya tajam. Kali ini, Rachel tak ingin membiarkan apa pun luput dari pengamatannya. Ia ingin tahu. Ia berhak tahu.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar memasuki ruang belakang. Martin muncul sambil membawa dua ge
Rachel duduk diam di tepi ranjangnya malam itu. Lampu kamar dibiarkan redup, hanya nyala lembut dari lampu meja yang menerangi wajahnya yang penuh tanya. Sudah dua minggu sejak pertengkaran hebatnya dengan Martin, dua minggu yang terasa seperti dua tahun.Ia memeluk bantal kecil di pangkuannya. Aroma lembut sabun dari baju tidurnya tidak cukup untuk menenangkan hatinya. Mama sudah tidur di kamar sebelah, dan butik kini lebih sering diurus oleh asisten barunya. Rachel memilih menarik diri—bukan karena tak sanggup bekerja, tapi karena hatinya terlalu penuh dengan luka yang belum sempat ia benahi.“Kenapa bisa sejauh ini?” gumamnya.Dalam benaknya, bayangan Martin masih jelas. Lelaki itu pernah menjadi sandaran, rumah, dan harapan. Tapi kebohongan demi kebohongan, sekecil apa pun, telah mengikis kepercayaannya. Rachel mulai sadar bahwa bukan hanya masa lalu Martin yang kelam, tapi juga ketidakmauannya menghadapi kenyataan.Rachel mengambil jurnal yang biasa ia tulis, membuka halaman ter
Pagi itu, Rachel terbangun dengan mata sembap. Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan pengakuan ibunya—Amara—tentang keterlibatan almarhum Frans Wibowo dalam hidup mereka. Seakan fondasi tempatnya berpijak selama ini berguncang hebat.Rachel bangkit pelan-pelan, mengenakan baju kerja, lalu turun ke ruang makan. Martin sudah duduk sambil menyeruput kopi. Tatapan pria itu lembut, seolah tahu bahwa istrinya sedang tidak baik-baik saja.“Kau tak banyak tidur semalam,” ucap Martin hati-hati.Rachel duduk, menatap kosong ke arah piring kosongnya. “Aku bertemu Mama kemarin.”Martin diam. Ia tahu sejak dulu hubungan Rachel dan ibunya tidak pernah benar-benar dekat. Tapi kali ini, sesuatu terasa berbeda dari nada suara istrinya.“Ada yang ingin kau ceritakan?” tanya Martin pelan.Rachel menggigit bibir bawahnya. Ia menimbang. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyimpan luka itu sendiri, namun sisi lain tahu bahwa menyembunyikan lebih banyak rahasia hanya akan membuat mereka makin jauh.“Mama
Dokumen itu masih tergenggam erat di tangan Rachel saat malam semakin larut. Angka-angka dalam laporan keuangan yang janggal itu terus menghantui pikirannya. Lebih dari itu, satu nama yang tercetak jelas—Amara Wibowo, ibunya sendiri—mengguncang hatinya.Rachel berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia tahu, ini bukan sekadar kesalahan entri keuangan biasa. Ada aliran dana dalam jumlah besar yang ditransfer secara bertahap ke rekening tak dikenal atas nama Amara, tepat beberapa bulan sebelum kecelakaan Adrian terjadi.“Aku harus tahu apa maksud semua ini,” gumamnya.Tanpa pikir panjang, Rachel meraih kunci mobilnya dan meluncur ke rumah ibunya. Hatinya berkecamuk antara marah, penasaran, dan takut. Bagaimanapun, ibunya adalah satu-satunya keluarga yang selalu ada dalam hidupnya. Tapi sekarang, Rachel harus bersiap untuk menghadapi kenyataan yang mungkin menyakitkan.Sesampainya di rumah tua tempat ia dibesarkan, Amara membuka pintu dengan wajah ter