Rachel duduk diam di tepi ranjangnya malam itu. Lampu kamar dibiarkan redup, hanya nyala lembut dari lampu meja yang menerangi wajahnya yang penuh tanya. Sudah dua minggu sejak pertengkaran hebatnya dengan Martin, dua minggu yang terasa seperti dua tahun.Ia memeluk bantal kecil di pangkuannya. Aroma lembut sabun dari baju tidurnya tidak cukup untuk menenangkan hatinya. Mama sudah tidur di kamar sebelah, dan butik kini lebih sering diurus oleh asisten barunya. Rachel memilih menarik diri—bukan karena tak sanggup bekerja, tapi karena hatinya terlalu penuh dengan luka yang belum sempat ia benahi.“Kenapa bisa sejauh ini?” gumamnya.Dalam benaknya, bayangan Martin masih jelas. Lelaki itu pernah menjadi sandaran, rumah, dan harapan. Tapi kebohongan demi kebohongan, sekecil apa pun, telah mengikis kepercayaannya. Rachel mulai sadar bahwa bukan hanya masa lalu Martin yang kelam, tapi juga ketidakmauannya menghadapi kenyataan.Rachel mengambil jurnal yang biasa ia tulis, membuka halaman ter
Pagi itu, Rachel terbangun dengan mata sembap. Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan pengakuan ibunya—Amara—tentang keterlibatan almarhum Frans Wibowo dalam hidup mereka. Seakan fondasi tempatnya berpijak selama ini berguncang hebat.Rachel bangkit pelan-pelan, mengenakan baju kerja, lalu turun ke ruang makan. Martin sudah duduk sambil menyeruput kopi. Tatapan pria itu lembut, seolah tahu bahwa istrinya sedang tidak baik-baik saja.“Kau tak banyak tidur semalam,” ucap Martin hati-hati.Rachel duduk, menatap kosong ke arah piring kosongnya. “Aku bertemu Mama kemarin.”Martin diam. Ia tahu sejak dulu hubungan Rachel dan ibunya tidak pernah benar-benar dekat. Tapi kali ini, sesuatu terasa berbeda dari nada suara istrinya.“Ada yang ingin kau ceritakan?” tanya Martin pelan.Rachel menggigit bibir bawahnya. Ia menimbang. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyimpan luka itu sendiri, namun sisi lain tahu bahwa menyembunyikan lebih banyak rahasia hanya akan membuat mereka makin jauh.“Mama
Dokumen itu masih tergenggam erat di tangan Rachel saat malam semakin larut. Angka-angka dalam laporan keuangan yang janggal itu terus menghantui pikirannya. Lebih dari itu, satu nama yang tercetak jelas—Amara Wibowo, ibunya sendiri—mengguncang hatinya.Rachel berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, berusaha mengumpulkan keberanian. Ia tahu, ini bukan sekadar kesalahan entri keuangan biasa. Ada aliran dana dalam jumlah besar yang ditransfer secara bertahap ke rekening tak dikenal atas nama Amara, tepat beberapa bulan sebelum kecelakaan Adrian terjadi.“Aku harus tahu apa maksud semua ini,” gumamnya.Tanpa pikir panjang, Rachel meraih kunci mobilnya dan meluncur ke rumah ibunya. Hatinya berkecamuk antara marah, penasaran, dan takut. Bagaimanapun, ibunya adalah satu-satunya keluarga yang selalu ada dalam hidupnya. Tapi sekarang, Rachel harus bersiap untuk menghadapi kenyataan yang mungkin menyakitkan.Sesampainya di rumah tua tempat ia dibesarkan, Amara membuka pintu dengan wajah ter
Setelah pulang dari makam Adrian, Rachel tak langsung kembali ke butik atau rumah. Ia memutar mobilnya menuju pantai kecil di pinggiran kota, tempat ia dulu sering menghabiskan waktu saat hatinya gelisah. Angin sore menerpa wajahnya, menyibakkan helai rambut yang terlepas dari sanggulnya. Rachel duduk di bangku kayu yang menghadap laut, membiarkan pikirannya melayang bersama debur ombak.Sudah terlalu lama ia menyimpan luka. Terlalu lama ia memendam kemarahan, kekecewaan, dan ketakutan. Tapi hari itu, di hadapan pusara Adrian, Rachel merasa seperti dibebaskan dari beban yang selama ini mengikatnya. Ia menangis, bukan karena lemah, melainkan karena akhirnya ia punya keberanian untuk mengakui bahwa dirinya juga pernah salah, juga pernah terluka, dan juga ingin menebus semuanya.“Aku tak ingin lagi menjadi istri yang lupa diri,” gumam Rachel pada dirinya sendiri.Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari ibunya: “Ibu rindu. Kalau kau sempat, pulanglah. Rumah ini terlalu sunyi tanpa tawamu.”
Rachel duduk sendirian di balkon kamar, memeluk kedua lututnya sambil memandangi langit malam yang mulai mendung. Hembusan angin membuat rambutnya berantakan, namun ia tak peduli. Hatinya sesak—bukan karena kebenaran tentang masa lalu keluarga Martin saja, tapi karena luka lama yang kembali menganga.Sejak menemukan dokumen tentang Adrian, Rachel merasa hatinya dihantui rasa bersalah. Ia mengenal Adrian sebagai sosok yang cerdas dan tulus. Tapi, selama ini ia terlalu sibuk mengejar ambisi dan membutakan diri oleh kenyamanan hidup baru, sampai-sampai lupa bahwa Adrian mungkin telah mengorbankan banyak hal demi mengungkap kebenaran.Martin masuk ke kamar membawa dua cangkir teh. “Kau belum tidur?” tanyanya lembut.Rachel hanya menggeleng, masih memeluk lututnya.Martin duduk di sampingnya. “Kau gelisah karena Adrian, ya?”Rachel menatap suaminya, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak tahu bagaimana harus merasa… Marah? Sedih? Atau bersyukur karena akhirnya tahu kebenarannya. Tapi rasanya se
Rachel menatap layar televisi yang kini menyiarkan kembali berita mengenai penyelidikan besar-besaran terhadap perusahaan milik keluarga Martin. Wajahnya pucat, napasnya tertahan.“Martin… ini perusahaan keluarga kamu, bukan?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.Martin mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada berita. “Iya. Tapi… penyelidikan itu tentang masa lalu. Tentang generasi sebelum aku.”Rachel duduk di sampingnya, mencoba menenangkan diri meski hatinya tak henti berdebar. “Apakah ini berkaitan dengan Adrian? Apa mungkin ini alasan kenapa dia pergi?”Martin menghela napas panjang. “Mungkin. Selama ini aku tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi tidak pernah punya cukup bukti untuk mengungkapkannya.”Rachel menatap suaminya dengan rasa campur aduk. Ia tahu Martin bukan orang yang mudah percaya begitu saja pada gosip. Tapi jika berita itu benar, dan masa lalu keluarga Martin memang penuh kecurangan… apa Adrian pergi karena tahu sesuatu yang besar?“Kalau begitu,” ujar Rac