Share

Namaku Mela Iskandar

Sejak pengumuman lolos masuk kuliah lewat jalur undangan, beginilah keseharianku.

Jungkir balik di depan layar untuk membuat konten sederhana dengan followers yang tak seberapa.

 

Tetanggaku juga bingung. Bagaimana bisa Mela Iskandar — preman kampung yang hobinya tiktokan bisa tembus masuk ke Universitas berkelas se- Indonesia.

 

Se-Indonesia loh yah. Bukan cuma se Sumatera Utara saja! Bangga kan? Bangga lah! Masa enggak!

 

"Woi! Mel!"

 

Aku menoleh begitu suara teman bobrokku itu datang berkunjung. Seperti kebiasaannya, Donita boru Sidamanik ini akan datang tepat sebelum makan siang. Untung cuma numpang makan, bukan tidur apalagi mandi.

 

"Apa?" jawabku sambil mengedit video joget Money-nya Lalisa Manoban yang tengah viral beberapa bulan ini.

 

Kulihat dari sudut mataku, Donita duduk melorot di kursi bambu depan rumahku.

 

"Kapan berangkat ke Jakarta? Kalau kau nggak ada..aku sama siapa wak? Kenapa nggak daftar di USU aja sih? Tega banget!"

 

Donita pagi-pagi sudah ngedrama. Daripada boru Sidamanik ini semakin menangis, aku pun duduk bersebelahan dengannya sambil menepuk punggungnya pelan.

 

"Yah..gimana dong Don. Aku daftar dua fakultas yang lolos itu di UI. Itukan mimpi besar aku. Sabar lah yah. Kita kan bisa video call. Masih bisa gila-gilaan kayak biasanya," tukasku berusaha menghibur Donita temanku sejak SMP itu.

 

Donita ini gadis humble dan penurut. Walaupun kadang dia ingin belajar menjadi cewek badung sepertiku, aslinya dia tidak seberani itu. Bicaranya saja yang lantang, tapi hatinya lembut seperti jelly. Donita juga teman yang bisa diandalkan. Benar-benar setia kawan dan religius yang pernah aku temui.

 

Belum apa-apa aku sudah merasa patah hati seperti ini. Padahal masih ada waktu kami bersama sampai bulan depan. Tentunya setelah aku siapkan semua kebutuhanku selama di Depok nanti.

 

Hal ini juga sempat membuat bapakku galau. Tidak seperti ibu yang bangga dan terus memamerkan keberhasilan anaknya masuk UI di semua kedai yang ia temui, bapak malah terdiam dan tak terlihat suka aku masuk ke sana. Pembicaraan kami berjalan alot kemarin malam. Bapak seperti belum ikhlas anaknya tinggal sendiri di Jakarta nanti. Padahal beliau tahu tempramen anaknya ini. Tak pernah takut sama siapapun. Berkelahi dengan preman pasar inpres saja pernah. Tapi bapak tetap masih belum sepenuhnya yakin tentang keberanianku ini.

 

"Jadi..bapakmu gimana?" tanya Donita, seperti bisa membaca pikiranku tadi.

 

"Belum seratus persen. Tapi nanti aku yakinkan lagi."

 

"Bapakmu ya nggak salah khawatir sama kamu. Anak semata wayang, perempuan, dan nggak ada saudara lagi di sana. Pasti beliau pusing mikirin ini."

 

Aku manggut-manggut mengiyakan. Hal ini memang tak bisa kubantah sama sekali. Semua saudara juga bilang begitu. Tapi mau bagaimana lagi. Tekadku sudah bulat. Apapun yang terjadi, aku harus tetap ke Jakarta. Raih mimpi menjadi mahasiswi fakultas Teknik. Titik tiada koma.

 

"Sudahlah. Aku juga ikut pusing memikirkannya."

 

Donita tertawa renyah sambil mengomentari video dance yang baru saja selesai ku uplod. Tak lama, suara kerincingan penjual es krim keliling, lewat. Donita bergegas keluar dari teras rumah mengejar si tukang es krim tersebut. Aku menyusulnya dan mendapati si penjual sudah ramai dikerubungi oleh anak-anak komplek yang kebetulan tengah bermain. Percekcokan pun kembali terjadi antara kami dan anak-anak SD tersebut. Pasalnya kami sama-sama menolak untuk mengalah siapa yang lebih dulu mendapatkan es krim.

 

"Kakak ini..ngalah lah sama anak kecil."

 

"Hidup ini keras dek. Nggak kata mengalah untuk mencari sesuap nasi."

 

"Ini es kak. Bukan nasi. Kalau makan nasi pulang lah buka dandang di rumah."

 

Aku mendelik karena diremehkan. Persaingan ku dengan anak-anak bola pun kembali dimulai.

 

"Oh..lantam yah. Sini kau..sini! siapa bapakmu hah?"

 

Anak itu tertawa sambil mengaduh, "Ampun kak! ampon!"

 

Es krim pun sampai ke tangan kami. Tentunya dengan ledekan anak-anak komplek yang tidak terima kami mendapatkan es terlebih dahulu daripada mereka. Aku dan Donita ngeluyur kembali ke rumah, sampai Donita menyikutku karena melihat sosok anak lelaki yang tengah memeluk boneka kelinci.

 

Aku tertawa melihatnya.

 

"Ih kok diketawain?"

 

"Lah dia anak cowok masa' mainannya boneka?" ucapku sambil menghampiri bocah tersebut.

Ia tampak menelan ludah melihat es krim yang sedang kubawa ini.

 

"Adek anak siapa?"

 

"Anaknya papa," jawabnya santai. Donita tertawa mendengarnya.

 

"Papanya di mana?"

 

"Kelja."

 

Menggemaskan sih. Tapi raut wajahnya itu agak menyebalkan. Ia sama sekali tak memandangku ketika sedang bicara.

 

"Eh dek. Rumahnya di mana? Kenapa keluyuran sendiri?" tanya Donita menggantikan ku yang sudah malas meladeni bocah di depan kami itu.

 

Bukannya menjawab, bocah tersebut menarik celana jogging ku sambil menengadah melihatku makan es krim.

 

Aku kembali jongkok untuk menyetarakan diri dengannya yang hanya sedengkulku itu.

 

"Kenapa? Mau es krim?"

 

"Gala nggak bawa duit," ucapnya terdengar memelas.

 

"Oh nama kamu Gala? Rumahnya di mana biar kakak anterin."

 

Gala menyatukan alisnya kemudian menunjuk ke arah jalan.

 

"Di sana."

 

Aku melihat anak itu tampak kehausan. Aku menarik tangannya kemudian menyuruhnya memegang es yang kubawa. Ia kami bawa ke rumahku karena memang tinggal jalan sejengkal saja untuk sampai di depan teras.

 

"Kakak ambil air minum dulu."

 

Donita menemani bocah tersebut di luar. Sedangkan aku masuk ke rumah untuk mengambil air minum dari dalam kulkas kemudian keluar lagi ke teras. Donita tampak berusaha menyuruh bocah itu untuk makan es krim yang kuberikan. Tapi bocah tersebut tak mengendahkannya.

 

"Loh, kok nggak dimakan es nya?"

 

Gala menoleh kepadaku, "Kan kakak nggak suruh saya makan."

 

Aku dan Donita terperangah. Dalam hati aku bergumam. Ini bocah terlihat dewasa sebelum umurnya. Dia bahkan sudah ganteng sebelum kencingnya bisa lurus. Masha Allah...bapak emaknya pasti bibit unggul.

 

"Oh iya. Makan aja. Ini air. Kamu haus kan?"

 

Donita berbisik di sebelah ku, "Anak siapa yah? Kayak pernah liat."

 

"Lah..mana aku tahu. Anak komplek sebelah mungkin."

 

Gala terlihat santai menghabiskan es yang kuberikan sambil mendongak memperhatikan para bocah yang sibuk membuat layangan. Tadinya, aku tak ingin meladeninya lagi. Tapi karena bocah ini terlihat lucu dan juga ganteng, aku langsung membuat konten tiktok tentang keberadaannya.

 

"Mau dijadiin konten?"

 

Aku tertawa kecil sambil sibuk merekam aksi Gala yang sedang minum air.

 

"Anaknya seganteng ini.. bapaknya gimana yah?"

 

Donita tertawa sampai terpingkal-pingkal di sebelahku.

 

"Awas naksir bapaknya."

 

"Ih amit-amit. Cuma mengagumi penciptaan Allah yang sempurna ini Don."

 

"Ya bisa aja kan? Apalagi sekarang jamannya pelakor."

 

"Iish doanya jelek! Amit-amit bang Jali balik normal! Aku nggak mau jadi perusak hubungan orang. Lagi pula masih mau kuliah ini, nggak mau mikirin pacaran."

 

Donita masih tertawa. Ia kemudian kembali menyetop tukang bakso bakar keliling lalu menyebutkan pesanannya.

 

"Iyalah. Modelan begini siapa yang mau!" ledek Donita sambil menunjukku dari atas hingga ujung ke ujung kaki. Karena kejahilannya, aku hadiahkan ucapan Donita itu dengan pukulan sayangku di kepalanya.

 

"Gitu yah hmm. Doain temennya begitu!"

 

Sedang asik bercanda di depan tukang bakso keliling, tak lama ibu balik dari pasar dengan membawa dua keranjang sayur yang ia letakkan di motor maticnya. Aku segera menghampiri sambil membawa salah satu dari keranjang yang beliau bawa. Maklum..ibuku adalah si tukang sayur andalan ibu-ibu komplek yang malas memasak. Cukup sepuluh ribu rupiah sudah bisa santap sayur matang bersama lauknya. Harga menyesuaikan pesanan yah.

 

Melihatku datang, ibu langsung bergegas masuk untuk mengolahnya sebelum makan siang tiba.

 

"Duuh..ibu telat nih. Donita! Mela! Bantuin di belakang yah."

 

Kami berdua mengiyakan sambil masuk ke rumah. Begitu sampai di teras, ibu berceletuk tentang anak ganteng yang tengah anteng menyantap bakso yang juga kuberikan padanya tadi.

 

"Loh..ini kan anaknya pak Aiman polisi, kan? Kenapa bisa di sini?"

 

"Ibu kenal?" tanyaku sambil meneguk air es yang kubawa tadi untuk bocah itu.

 

"Ya kenal lah. Tapi kenapa dia di sini. Jauh banget mainnya."

"Kayaknya dia nyasar deh. Rumahnya di mana?"

 

"Itu..rumah tingkat di ujung gang. Masa kalian nggak tahu."

 

Aku dan Donita saling melirik bingung. Sumpah yah..semenjak pandemi dan mengharuskan untuk di rumah, aku tak tahu orang-orang baru di sekitarku. Sampai bapak bilang, aku sendiri sudah kuper karena mendekam di dalam rumah selama hampir dua tahun ini. Untungnya sekarang sudah lebih baik sejak pemerintah kota Medan menggalakkan untuk vaksinasi. Tingkat kematian berkurang dan akhirnya kami mulai bisa berkeliaran seperti sekarang.

 

"Nggak tahu buk —"

 

Gala selesai makan bakso dan ia kembali duduk ngumpul dengan anak-anak yang bukan sebayanya itu. Tampak serius memperhatikan anak-anak tersebut bermain. Aku menghampirinya sambil menanyakan keinginannya untuk bermain apa. Entah kenapa aku terus memperhatikan anak tersebut. Padahal diawal tadi, aku malah tak berkenan untuk menegurnya.

 

"Mau main Guli ( kelereng )?"

 

"Itu namanya apa kak?" tunjuk Gala pada anak-anak yang tengah bermain layangan.

 

"Oh..itu layangan. Mau main itu?"

 

Gala mengangguk lalu kuajak ke kedai terdekat untuk membelikannya satu layangan. Tapi tak lama, ada seorang ibu-ibu yang tunggang langgang memanggil nama anak yang kupegang ini.

 

"Ya Allah mas Gala!"

 

"Masih kecil begini dipanggil mas?" gumamku dalam hati. Sambil melirik Donita tentunya.

 

"Maafin bibi yah. Mas Gala nggak apa-apa kan?"

 

"Ibu siapa yah?"

 

Donita mewakilkanku untuk bertanya. Seorang wanita yang terlihat mengenakan pakaian putih seperti suster itu lalu mendongak sambil menatap kami bergantian.

 

"Saya asisten rumah yang disuruh jagain anak majikan saya ini. Ya Allah terima kasih sudah jaga mas Gala sebentar."

 

"Iya buk. Hati-hati ya buk. Sekarang banyak kasus penculikan anak. Ibu jangan sampai lengah," saranku pada sang ibu yang usianya mungkin sama dengan ibuku di dapur.

 

Baru saja disebut namanya, ibuku memanggil dari dalam rumah. Kami segera pamit kepada dua orang tersebut. Terutama pada Gala yang terlihat tertunduk karena dibawa pergi oleh susternya.

 

"Dadah Gala. Jangan keluyuruan sendiri lagi yah."

 

Gala mengangguk sambil memeluk erat susternya tersebut. Mereka akhirnya pergi ke ujung gang yang ternyata telah menunggu seorang pria yang baru saja turun dari mobilnya. Aku menyikut Donita untuk mengomentari siapa pria yang mengenakan jaket Boomber hijau tentara juga kacamata hitam yang menjemput kedua orang yang berbeda generasi itu.

 

"Itu bapaknya kali yah."

 

"Mungkin," jawab Donita sekenanya.

 

"Kelihatannya modelan papa-papa muda ."

 

Aku menoyor kepala Donita sambil cekikikan, "Suami orang Donita. Istighfar!"

 

Donita membuat tanda salip di tubuhnya sendiri, "Iya udah."

 

Kami berdua terkekeh kemudian masuk menyahuti panggilan ibu yang terjadi berulang kali itu.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status