Bang Adnan menyandarkan kepalaku di dadanya. Dada bidang yang dulu selalu membuatku nyaman. Selalu menjadi sandaran kala aku merindukan kedua orang tuaku. Jika orang lain merindukan orang tuanya yang telah meninggal, mereka akan datang ke makamnya, tetapi berbeda denganku.
Aku tak tau di mana jasad kedua orang tuaku. Aku hanya ingat mobil kami masuk ke dalam jurang, setelah itu aku tak ingat semuanya. Di mana jasad orang tuaku? Peninggalan kedua orang tuaku, aku juga tak tau.
Waktu itu aku berumur 4 tahun, kemudian diantar seseorang ke sebuah panti asuhan dengan kalung berbentuk hati ada lubang kunci di bawahnya yang masih kusimpan sampai sekarang.
Lamunanku dibuyarkan oleh suara klakson dari mobil belakang.
"Abang akan berusaha membahagiakanmu selalu, Dik."
Bang Adnan mengecup pucuk kepalaku, aku kembali menatap sebrang jalan.
Mobil terus melaju hingga kami sampai di sebuah toko perhiasan.
"Untuk apa kita ke sini, Bang?"
"Sudah lama abang tak membelikanmu perhiasan, bagaimana kalau kita ganti cincin pernikahanmu, Dik?"
"Tidak, Bang. Cincin ini banyak kenangan kita. Dulu kau menabungnya bertahun-tahun untuk membeli ini, membuktikan cintamu untukku. Bagaimana mungkin aku akan menggantinya."
"Baiklah, Sayang. Terserah kamu saja. Abang akan belikan yang lain, ayo turun?"
Bang Adnan turun terlebih dulu kemudian ia membukakan pintu untukku dan menggandeng tanganku masuk ke toko.
Bang Adnan dan aku memilih berbagai macam perhiasan. Aku memilih sepaket kalung dengan permata indah tampak manis dengan ukiran Allah di liontinya, tak besar tapi cukup elegan dan anggun. Sebenarnya perhiasanku sudah banyak, Bang Adnan selalu membelikan untukku ketika ia keluar kota atau sedang berdakwah di Negri orang. Katanya untuk tabungan kami di masa tua. Ia tau seleraku, tak ingin terlihat mewah, yang kecil-kecil dan sederhana, tapi cukup menguras kantong.
"Sudah, Dik?"
"Sudah, Bang. Ini saja cukup."
Aku menunjukannya satu buah paket perhiasan berlapis mutiara dengan gelang beserta cincin dan kalung. Bang Adnan menambahkan Satu buah cincin emas dengan permata melingkari ringnya.
"Ini sudah cukup, kenapa Abang tambah?"
"Ini hadiah telah memberi Zafran, karena Zafran adalah emas, Abang hadiahkan untukmu cincin emas berlingkarkan permata."
Aku tersenyum, Ia kemudian mengusap pucuk kepalaku. Sebenarnya aku muak melihat sikap manisnya. Benar-benar membuatku semakin merasa sakit, tapi aku tidak ingin dosa menumpuk di tubuhku begitu banyak dan setan-setan berpesta melihat kehancuran kami. Oleh sebab itu, aku harus menahan emosiku terlebih dulu.
"Sudah semuanya, Mbak?" tanya seorang pegawai kepadaku.
"Sudah, Mbk. Ini sudah cukup."
"Totalnya 56 juta 760.000, Mbak?"
Aku mengeluarkan ATM yang akan aku serahkan kepada pegawai tersebut, tetapi Bang Adnan mencegahnya. Ia mengeluarkan ATM yang ia pegang.
"Biar Abang yang bayar."
ATM yang aku pegang berisi penghasilan dari youtube, sementara yang Bang Adnan pegang berisi dari pembayaran ketika ia mengisi acara ceramahnya. Jika waktu pembayaran dari panitia yang mengundangnya, Bang Adnan mentransfer separuhnya ke-ATM yang aku pegang.
Dulu ia menyerahkan semuanya kepadaku, tetapi ibu dan kakaknya tak terima, karena mereka bilang aku memberinya terlalu sedikit. Aku putuskan untuk sebagian pembayaran Bang Adnan yang pegang. Namun, Bang Adnan tak ingin uang yang ia transfer kerekeningku untuk belanja, jadi ia selalu memberiku uang cash untuk biaya bulanan. Dia bilang uang yang berada di ATM-ku untuk biaya anak-anak dan masa tua kita.
Aku tak pernah menanyakan berapa bayarannya. Aku percaya kepadanya seratus persen, karena bagiku kepercayaan adalah segalanya. Jika rumah tangga dibangun dengan kepercayaan. Maka akan terhalang oleh bencana, tapi sekarang kepercayaan yang aku bangun kandas oleh sebuah foto preweding.
Aku tak pernah menanyakan berapa bayarannya. Aku percaya kepadanya seratus persen, karena bagiku kepercayaan adalah segalanya. Jika rumah tangga dibangun dengan kepercayaan. Maka akan terhalang oleh bencana, tapi sekarang kepercayaan yang aku bangun kandas oleh sebuah foto prewedding.
Lagi-lagi aku tak mampu menahan tangisku. Aku izin kepada Bang Adnan untuk ke toilet meloloskan air mataku yang tak tahan ingin menampakan dirinya kepada dunia. Memberitahukan kepedihan dalam hatiku.
"Bang, aku ke toilet sebentar, ya?"
Bang Adnan hanya mengangguk. Kupercepat langkahku menuju toilet. Sampai di sana kucari toilet yang kosong, menutup pintu dengan cepat. Menangis dengan suara tertahan, tak ingin orang lain mendengar suara isakan dan mengetahui seorang istri ustad terkenal tengah menangis di toilet. Hingga aib keluargaku akan diburu media massa. Naudzubillah.
Setelah lega menumpahkan air mata kesedihan, aku merapikan kembali make up yang berantakan tanpa keluar dari toilet. Aku harus tetap tersenyum agar Bang Adnan tak curiga. Setelah menata hati, dan emosi stabil aku keluar menemui Bang Adnan. Aku tepuk pundaknya. Ia buru-buru memasukan sesuatu dalam jasnya, tak tau apa itu.
"Apa itu, Bang?" tanyaku dengan curiga.
"Oh, tadi hanya nota. Ayo, kita makan dulu? Nanti baru membeli keperluan Zain," ia menjawab dengan gugup.
Aku menyipitkan mataku, kemudian tersenyum dan mengangguk. Aku tak sepolos yang kamu pikirkan bang, nanti akan aku cari tahu. Bukan sekarang tak percaya dengan suamiku, tetapi aku sekarang lebih percaya hatiku.
Mobil kembali melaju menuju ke sebuah warung pinggir jalan. Ya, warung nasi padang di pinggir jalan. Bang Adnan tahu jika aku akan suka diajak makan di pinggir jalan daripada di resto mewah.
"Ya ampun, ini Ustad Adnan, yang terkenal itu, kan?"
Bang Adnan tersenyum aku pun ikut tersenyum.
"Aslinya lebih ganteng loh, Pak Ustad. Istrinya juga Cantik. Saya kira tadi adiknya, masih muda sekali. Saya suka nonton ceramahnya bapak dan dengerin murotal Qur'annya," puji ibu tersebut.
"Alhamdulillah, terimakasih, Bu."
"Mau pesan apa, Pak Ustad? Ibu, mau pesan apa?"
"Saya minta lauk ayam bakar aja, Bu. Sekalian dibungkus dua, ya? Abang pesan apa?" ucapku.
"Samain aja lah, Dik."
"Bu, nasinya jadiin satu piring saja," pinta Bang Adnan kepada ibu tersebut.
Ibu penjual mengangguk dan segera mengambil pesanan kami.
Bang Adnan selalu minta makan satu piring denganku. Ketika hanya kami berdua ia sering meminta suap kepadaku. Sungguh romantis, tapi sayang sekarang itu tak terasa manis.
"Romantis sekali, Pak Ustad, ya. Makannya sepiring berdua."
"Makan sepiring berdua bisa menjalin kebersamaan, Bu,"
Bang Adnan menjawab sambil tersenyum aku pun hanya tersenyum.
Selesai mengisi perut. Kami menuju sebuah mall besar di kota Jakarta, aku hendak membelikan keperluan untuk Zain. Kurang lebih 15 menit kami sampai di mall tersebut. Bang Adnan menggandengku masuk. Aku menurutinya.
Kemudian aku mengajaknya membeli baju untuk Zain dan Zafran, tak lupa juga untuk Ibu Mertua. Setelah dirasa cukup, aku mengajak Bang Adnan pulang, sudah dua jam kami meninggalkan anak-anak.
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah