Sam menguap di depan lift yang akan membawanya ke lantai paling atas Sore Corporation, di sampingnya Dara juga melakukan hal yang sama. Selama dua bulan ini rutinitas pagi mereka menjadi lebih cepat karena Pandu mendadak menjadi sangat rajin datang ke kantor. Sebenarnya, jam kerja mereka di mulai pukul sembilan pagi, akan tetapi belakangan ini jam kerja karyawan Sore Corporation lebih maju satu jam yaitu pukul delapan pagi. Mengikuti Pandu yang memang biasanya sudah ada di ruangannya di waktu tersebut.
“Sampe kapan tuhan, gue harus bangun jam empat dini hari untuk nyatok sama dandan terus berdiri di depan lift jam setengah delapan.” Dara menggerutu, sejak Pandu selalu datang lebih awal Sam dan Dara berusaha mengimbangi atasannya itu dengan datang lebih pagi juga.
“Gue ngantuk!”
“Berisik Dar.”
“Lo tau, orang-orang sibuk ngegosip kalau pak Pandu jadi rajin dateng awal ke kantor gara-gara adik lo yang selalu ke bagia
“Hei.. kalian beneran ada di dalem sana?” Pandu mengernyit, suara bisik-bisik seorang perempuan terus saja menganggu tidurnya.“Eng, makan yang tadi gimana rasanya? Kalian suka?” Pandu menajamkan telinga, tangannya juga mulai meraba sekeliling kasur khusus penunggu pasien untuk mencari ponselnya. Begitu berhasil menemukannya Pandu langsung melihat jam, pukul 01.00.“Haah, baik-baik ya kalian di sana. Sehat-sehat, enggak perlu khawatirin apapun karena keluarga yang ngasuh kalian nanti orang baik. Mereka juga punya banyak uang, jadi kalian enggak perlu takut kelaparan atau takut hidup di kejar-kejar rentenir hehehe.” Hening, Pandu lagi-lagi mengernyit. Ia penasaran kenapa suara Maira tidak lagi terdengar.“Pak pandu?”“Astaga!” Pandu langsung melonjak kaget saat mendengar bisikan pelan di telinganya, sejak tadi ia memang tidur dengan posisi membelakangi Maira.“Kamu mau bikin saya jant
Manja Jelita Grup “Hot News!” Dara menambahkan banyak tanda seru untuk menarik perhatian anggota grup.“Apaan? Ada apa?”“Gue punya kabar baru, guys. Tapi kalau kalian mau denger, masing-masing transfer dulu ke rekening gue. Seratus ribu.”“Si kampret!”“Dar! lo ah.” Dara terkikik membaca gerutuan teman-temannya, tapi apa pedulinya. Hidup itu keras.“Noh udah gue transfer.”“Yang lain belum, berarti gue personal chat aja ke lo ya Ndo?”“Ih si kampret, nih gue transfer.”“Dar..dar.. tiati karma lo.”“Ck, mau gosip enggak? Kalau mau transfer, kalau enggak diem aja.” ketik Dara dengan kesal.“Udah gue transfer.” Dara memeriksa satu persatu jumlah penghuni grup dan juga saldo yang baru masuk ke rekeningnya, setelah di rasa sama perempuan itu mulai membagikan ceri
“Mai! Ada titipan paket nih, buat lo.” Salah satu rekan kerjanya mengacungkan sebuah bungkusan makanan, Maira kembali bekerja setelah satu bulan beristirahat dengan total di rumah sakit dan satu minggu tambahan di rumahnya.“Loh, tapi aku enggak pesen makanan.”“Tuh, ada catetannya. Di liat aja, siapa tau gebetan baru lo. Hahaha.” Maira selalu mendapat ledekan seperti itu sejak kembali bekerja, terlebih lagi sejak ia tidak lagi pernah di minta membersihkan ruangan Pandu seperti dulu.“Jadi Maira ada main sama pak Pandu itu beneran ya?”“Kayaknya, buktinya sekarang dia udah enggak pernah lagi di minta ngebersihin lantai atas kan semenjak ibu Ghiana hamil.”“Duh, kasian. Langsung di buang gitu ya?”“Harus hati-hati nih, siapa tau Maira abis ini cari target baru.”“Bener, duh enggak nyangka ya. Waktu pertama dateng polos banget, enggak taunya doyan
“Maira! Astaga, akhirnya kamu sadar juga.” Sam langsung menekan tombol pemanggil perawat di samping ranjang perempuan itu.“Sam.. pak Pandu?”“Nanti ya, biar dokter pastiin keadaan kamu dulu.”“Tapi..”“Nanti Maira, biar dokter periksa kamu dulu.” Maira tidak lagi membantah, terlebih tidak beberapa lama kemudian dokter datang dan menanyainya beberapa hal.“Bu Maira kurangin setresnya ya, jangan banyak pikiran. Kasian si bayi, untung kali ini enggak sampe pendarahan loh.” Ucap si dokter sembari sibuk dengan catatannya.“Masnya ini?”“Saya asisten suaminya ibu Maira dok, pak Pandu masih di jalan.”“Oh, oke. kalau gitu nanti di sampaikan aja ke suaminya ya kalau istrinya ini enggak boleh banyak pikiran, terus pola makannya di perhatikannya. Berat si ibu terlalu kurus soalnya, saya khawatir itu nanti bisa berpengaruh buruk untuk si
Taman belakang rumah keluarga Sore kembali ramai, kali ini ada banyak dekorasi yang di pasang. Ghiana sedang mengadakan baby shower untuk merayakan kehamilannya yang sudah mencapai usia tujuh bulan.“Ya ampun seneng deh ngeliat kamu sehat gini Ghi.”“Iya, semenjak hamil tuh jadi makin glowing gitu kan guys?”“Iya bener, apa sih rahasia?” Ghiana hanya tersenyum, perempuan itu sama sekali tidak peduli sekalipun ucapan teman-temannya itu hanya sebuah basa basi belaka.“Rahasianya? Kasih sayang suami.” Meja itu langsung di penuhi suara cekikikan para perempuan yang gemas setelah mendengar bisikan Ghiana.“Ngomong-ngomong Ghi, aku kemaren-kemarin liat mobil Pandu deh di perumahan Griya Pesona.”“Griya pesona?”“Iya, salah satu pengasuh anak aku rumahnya di sana. Dia sakit terus Ares rewel pengen nengok.”“Ngapain Ghi Pandu ke perumahan
Pandu membuka satu pintu kamar khusus yang ia buat lima tahun lalu atas saran dokter kejiwaan, selama lima tahun ini pandu memang menjadi langganan salah satu dokter pskiatri tebaik di kotanya. Ia menyerah, karena setiap malam selalu di hantui oleh bayangan anak-anak yang menangis dan bertanya kenapa mereka tidak bisa hidup. Kamar yang di masuki Pandu sangat luas meski sudah di sekat menjadi tiga bagian dengan menggunakan beberapa tema sebagai pembatas.“Ini untuk princessnya ayah, lucukan? Bajunya mirip Elsa.” Pandu sedang menata barang-barang di area yang bertemakan princess.“Liat, ayah juga beli sepatu kaca. Mirip cinderella, tapi ketemu pangerannya nanti aja ya. Kalau udah besar. Hahaha.” Pandu menutup pintu lemari dan berjalan ke area bertemakan astronot.“Kalau ini untuk jagoan ayah, buzz lightyear.” Pandu bersorak sembari mengangkat tingg-tinggi kostum yang di bawanya.“Oh ayah juga beli woody, untuk adek.
Sam memegang kamera, mengarahkannya kepada si kembar yang dengan semangat sedang berebut membuka kado di damping oleh Maira yang membantu membacakan nama pemberi kado.“Oh, ini dari bude Mira. Nanti telefon bude ya, bilang makasih.” Bima langsung mengambil ponsel bundanya dan meminta Maira menelfon adik ibunya itu.“Bude Ra!” si kebar berseru heboh, Sam yang masih sibuk merekam hanya bisa tertawa.“Ya ampun yang lagi ulang tahun kayaknya seneng banget ya.“Bude, makasih kadonya.”“Iya, sayang. Semoga suka ya.”“Suka bude, kata bunda nanti bisa di pake kalau udah masuk TK” Maira mengelus kepala anak-anaknya dengan sayang, hubungannya dengan keluarganya di kampung membaik saat ia pulang beberapa tahun lalu. Meski ibunya masih menanggapinya dengan dingin, setidaknya Maira tau kalau perempuan yang sudah melahirkannya itu menyayangi cucunya. Sayangnya, ibu Maira meninggal enam bula
Ghiana turun dari mobilnya dan memasuki rumah salah satu temannya, Nat yang sedang merayakan ulang tahun anak ke tiganya. Di sampingnya sang supir sembawa satu bungkusan besar, hadiah untuk si empunya acara.“Oh liat siapa yang udah dateng, aunty Ghiana.” Nat melambaikan tangan balita yang masih berusia dua tahun kepadanya.“Hai Gio, selamat ulang tahun ya.”“Makasih aunty, oh liat. Astaga, besar sekali kadonya.” Seolah mengerti, balita yang ada di dalam dekapan ibunya itu juga melonjak kegirangan.“Thank you loh Ghi, udah mau dateng. Apa lagi hadiahnya ini wah, besar banget.”“It’s ok, ini bukan apa-apa.”“Ghiana! Ya ampun.” Ghiana tersenyum menyambut pelukan dari teman-temannya, ini memang pertemuan pertama mereka setelah tragedy lima tahun lalu. Ghiana memilih mengurung diri, tidak berani menanggung malu karena keguguran.“Sasa, bilang halo ke aunty