"Kamu yakin, ingin menikah dengan pria itu, Hasna?" tanya Mama waktu itu, ketika aku mengutarakan keinginanku pada kedua orang tuaku, agar mereka merestui hubunganku dengan Mas Hanan.
"Ma, kalau bukan karena Mas Hanan, mungkin waktu itu Hasna sudah ma-ti tenggelam," jawabku, meyakinkan Mama.Ya, aku pertama kali mengenal Mas Hanan saat KKN di kampungnya waktu itu. Aku dan beberapa orang temanku dengan lancangnya berenang di sungai besar yang berada di sisi kampung, tanpa tahu ternyata aliran arusnya sangat deras.Tentu saja, aku yang tidak terlalu pandai berenang seketika terseret arus. Syukurlah, saat itu Tuhan mengirimkan sosok malaikat penyelamat. Mas Hanan dengan gagahnya melompat ke dalam sungai untuk menyelamatkanku.Seketika itu aku jatuh cinta ... pada pandangan pertama. Sejak saat itu aku terus mencari tahu tentang dirinya. Dia hanya lulusan sekolah dasar, dan bekerja sebagai tukang bangunan. Dia bukan tidak bisa sekolah tinggi karena tak pintar, tapi karena memang tidak mampu. Aku tidak peduli tentang hal itu. Kudengar juga dia baru patah hati, ditinggal kekasihnya menikah. Jadi mungkin pertemuan kami bukan kebetulan semata.Mungkin karena aku datang pada saat yang tepat, cintaku akhirnya tersambut. Meskipun setiap detiknya dia selalu mengingatkanku tentang siapa dirinya, yang merasa tak pantas bersanding denganku."Mama hanya tidak ingin, kamu ingin menikah dengannya hanya karena berhutang budi, Hasna," ucap Mama lagi."Hasna tulus mencintai Mas Hanan, Ma," jawabku lagi, tanpa keraguan sedikitpun."Papa tidak melarang hubungan kalian. Tapi Papa tidak ingin kamu putus kuliah, Hasna," ucap Papa seraya menatapku."Hasna tidak akan putus kuliah, Pa. Hasna akan tetap melanjutkan pendidikan Hasna, meskipun sudah menikah," jawabku yakin.Papa terdiam sejenak, lalu terlihat membuang napas. Pria yang merupakan cinta pertamaku itu akhirnya menatapku dengan pandangan serius."Baiklah, Papa merestui kalian berdua. Tapi Papa juga ingin melihat, sejauh apa Hanan bisa menjadi imam yang baik buatmu. Setelah kalian menikah, Papa akan menyita semua aset milikmu, dan menyerahkan seluruh tanggung jawab atasmu pada suamimu, termasuk biaya kuliahmu. Papa akan mengembalikan semuanya setelah kamu lulus!"Aku sedikit terkejut dengan syarat yang diucapkan oleh Papa. Apakah Mas Hanan yang hanya tukang bangunan sanggup menanggung semua kebutuhanku?"Pa ... apa itu tidak terlalu berat?" tanyaku kemudian, dengan suara hampir tak terdengar."Kamu pikir itu hanya berat untuk Hanan? Kamu salah, Hasna. Kamu akan tahu setelah kalian menikah nanti. Jika kalian tidak sanggup, lebih baik pikirkan lagi dari sekarang," ucap Papa lagi.Akhirnya dengan berat hati aku mengatakan semuanya pada Mas Hanan. Tak kusangka, Mas Hanan tanpa pikir panjang langsung menyetujui syarat dari Papa."Kamu yakin, Mas?" tanyaku, menatap pria berbadan kekar yang ada di hadapanku itu."Tentu saja, Dek. Insya Allah Mas siap mencukupi semua kebutuhanmu, termasuk biaya kuliahmu. Mas akan berusaha," jawab Mas Hanan dengan senyum manisnya.Aku begitu terharu mendengar jawaban dari Mas Hanan. Orang bilang, cinta itu buta. Setiap orang yang tahu keputusanku, pasti akan menganggapku bucin. Tapi bagiku, Mas Hanan bukan hanya sekedar penyelamat nyawaku. Dia adalah sosok yang mampu mengubah hampir sebagian dari hidupku.Aku yang dulu suka sekali berfoya-foya, kini mampu hidup sederhana. Mas Hanan juga tidak pernah sekalipun bicara kasar padaku, dan memperlakukanku seperti ratu. Jika di luar sana istri yang melakukan pekerjaan rumah, ini justru Mas Hanan yang melakukannya. Setiap Ibu mertuaku protes tentang hal itu, hanya satu jawaban Mas Hanan yang akhirnya membuat Ibunya terdiam."Buk, Hanan mencari istri, bukan pembantu."Mas Hanan bukan hanya pandai mengaduk semen dan memasang batu bata saja. Dia berbakat sekali membuat berbagai macam kerajinan dari kayu dan batu. Sayang sekali, dengan bakat seperti itu, Mas Hanan tak bisa bersekolah tinggi."Hasna! Kok ngelamun?"Aku tersentak dari lamunan ketika seseorang menepuk pundakku. Mita dan Ela, teman-teman kuliahku itu duduk di depanku. Aku segera menutup laptop, karena memang saat itu aku sedang mengerjakan pengajuan skripsi."Sejak menikah kamu jadi sombong, Hasna," ucap Mita sambil menatap ke arahku dengan pandangan mengejek."Iya, benar. Sekarang jadi gak pernah nongkrong sama kita," sahut Ela.Aku tersenyum mendengar ucapan mereka."Kalian kan tahu belakangan aku sibuk. Aku juga sudah menikah, jadi harus mengurus suami juga," jawabku."Halah, kudengar suamimu itu dari kampung ya, Hasna? Dia kerja apa?" tanya Mita lagi."Katanya sih kuli bangunan." Ela mendahuluiku menjawab. "Dia yang waktu itu menyelamatkan Hasna waktu tenggelam di sungai.""Gak salah, Hasna? Kuli bangunan?" Mita seketika melotot."Memangnya kenapa kalau kuli bangunan? Yang penting kan pekerjaannya halal," jawabku dengan tetap tenang."Astaga, Hasna! Mau-maunya kamu nikah sama kuli bangunan. Gak malu? Pantes sekarang penampilanmu kere. Pasti ketularan suamimu, ya?" Mita seketika terlihat bergidik."Jaga bicaramu, Mita!" sahutku sambil menatapnya dengan tajam."Jangan marah, Hasna. Kita bicara seperti ini kan demi kebaikanmu juga. Jangan hanya karena dia menyelamatkanmu, kamu mau menikah dengannya. Kalau dia memanfaatkan hartamu, baru tahu rasa kamu!" Ela menimpali."Kubilang, jaga bicara kalian!" Aku berdiri sambil menggebrak meja karena kesal."Urus diri kalian sendiri, tidak perlu repot dengan hidupku!" ucapku kemudian, lalu mengambil laptop dan tas milikku, dan melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.Aku sudah terbiasa dengan ucapan orang-orang tentang diriku dan Mas Hanan, jadi aku tidak ingin buang-buang waktu karena ribut dengan mereka."Hasna! Tunggu!"Ternyata dua orang itu masih mengejarku."Jangan begitu, dong. Kami kan tidak bermaksud mencampuri urusanmu," Ela meraih lenganku, mencoba merayuku.Aku memutar bola mata dengan malasnya, dan tetap berjalan menuju pintu keluar gedung kampus. Kuliah sudah selesai, dan kebanyakan mahasiswa sudah pulang. Sesampainya di luar, kami bertiga menghentikan langkah. Rupanya hujan deras sekali di luar sana."Astaga, hujan. Mana aku gak bawa payung, parkiran jauh pula," gerutu Mita sambil menghentakkan kaki kesal."Ah, sama. Mobilku kebagian parkir paling ujung pula," tambah Ela.Aku membuang napas, teringat pada diriku yang dulu. Dulu aku manja dan penikmat harta orang tua seperti mereka. Apalagi aku adalah anak satu-satunya yang amat sangat disayang oleh Papa dan Mama. Sekarang sudah hampir setahun, aku jatuh bangun untuk bisa hidup mandiri hingga seperti sekarang ini."Eh, siapa itu?"Aku tersentak, dan seketika menatap ke arah derasnya hujan. Seorang pria dengan payung besar berjalan ke arah kami, dengan wajah yang tak terlihat karena tertutup payung. Namun begitu pria itu sampai di depan kami dan memiringkan payungnya, kedua mataku seketika membola. Rupanya Mas Hanan."Tadi Mas lihat mendung sekali, dan Mas ingat kalau Adek gak bawa payung," ucapnya sambil tersenyum manis. "Ayo kita pulang, Dek."Aku menatap pria di depanku itu dengan mata berkaca, tak tahu harus berkata apa. Mas Hanan mengambil tasku, lalu memasukkannya ke kantong plastik besar agar tidak terkena air hujan. Dia kemudian mengulurkan payungnya, dan menarik tanganku lembut, mengajakku pulang. Bisa kulihat kedua temanku itu melongo tanpa berkata-kata lagi."Mas, bajumu basah," ucapku ketika melihat Mas Hanan memberikan sebagian besar payung ke arahku, hingga sebagian pundaknya basah."Gak apa-apa, Dek. Baju Mas sudah kotor. Mas juga sudah biasa dengan hujan. Yang penting kamu tidak basah, dan jangan sampai sakit," jawab Mas Hanan lagi.Aku sungguh tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku tak peduli ucapan orang lain tentang Mas Hanan. Setelah kami lulus ujian ini, hal pertama yang akan aku lakukan adalah membuat suamiku bahagia. Membuatnya terhormat, agar orang-orang tak lagi mampu menghinanya."Hanan, beras habis!"Baru saja aku dan Mas Hanan sampai di rumah, kami sudah disambut oleh Ibu yang berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangan di dada."Ah iya, maaf, Buk," jawab Mas Hanan sambil merogoh sakunya.Dia mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan pada ibu."Loh, kok cuma segini, Hanan? Mana cukup?""Maaf, Buk. Bang Ferry belum memberikan semua upah Hanan," jawab Mas Hanan lagi."Halah, jangan bohong kamu, Hanan! Ferry baru kesini, kok, ngambil jagung. Dia bilang dia bayar kamu! Kamunya saja yang kerjanya ogah-ogahan!""Astaghfirullah, Buk!" Aku akhirnya ikut menjawab karena tidak tahan melihat Mas Hanan dimaki-maki."Hasna lihat sendiri kok, Bang Ferry sebenarnya gak mau memberi Mas Hanan upah. Dia bahkan melempar uang ke wajah Mas Hanan, Buk!" ucapku kemudian."Ferry tidak mungkin melakukan itu, Hasna. Kamu jangan asal bicara," sahut Ibu tak percaya."Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Buk. Lagipula Mas Hanan kan anak ibuk juga. Kenapa ibu justru hanya
"Ibuk mau menjual sawah peninggalan Bapak?" Mas Hanan mengulang pertanyaannya, sembari berjalan mendekat ke arah ibunya."Abangmu butuh uang untuk tambah membeli mobil, Hanan," jawab Ibu sambil membalas tatapan Mas Hanan."Tapi bukannya Bang Ferry sudah punya usaha yang maju? Kenapa harus menjual sawah, Buk?""Justru karena usaha Mas Ferry sedang berkembang pesat, makanya kami butuh mobil, Hanan," sahut Mbak Ratri."Lagipula kamu kenapa harus ikut campur sih, Hanan! Aku juga punya hak atas sawah itu," sambung Bang Ferry."Masalahnya, dulu Bapak melarang kita untuk menjualnya, Bang," ucap Mas Hanan lagi. "Bang Ferry ingat, kan?""Bapak sudah tidak ada, dan aku butuh uang," sahut Bang Ferry. "Pikirkan yang hidup, jangan yang sudah ma-ti!""Astaghfirullah, Bang!"Hatiku ikut sakit mendengar ucapan mereka pada Mas Hanan, tapi aku berusaha sebisa mungkin untuk tetap diam. Bukan ranah untukku bicara, apalagi tentang tanah warisan."Sudahlah, Hanan. Abangmu benar. Lagipula uangnya bukan untu
"Untuk apa uang itu, Hasna?" tanya Mama seraya mengerutkan kening.Segera aku ceritakan semua yang telah terjadi. Tentang Bang Ferry yang merayu ibu untuk menjual sawah demi membeli mobil, juga perlakuan mereka terhadap Mas Hanan selama ini."Aku benar-benar tidak percaya, jika mereka sanggup melakukan hal itu pada Mas Hanan. Bahkan Mas Hanan jauh lebih rendah dari anak pungut, Ma," ucapku menggebu-gebu setelah selesai bercerita.Mama terlihat membuang napas panjang. Wajahnya ikut terlihat sedih."Kasihan sekali menantu Mama ...," ucapnya lirih."Karena itulah, Ma, aku ingin sawah itu jadi milik Mas Hanan lagi. Mama tolong Hasna, ya? Hasna janji akan mengembalikan uang Mama setelah tabungan Hasna dikembalikan Papa," ucapku lagi sambil memegang tangan Mama."Tapi Hasna ... kalau kamu melakukan itu, kamu sama saja membuat Hanan mengingkari janjinya pada Papamu," jawab Mama.Aku membulatkan mata mendengar ucapan Mama. "Mungkin Papamu tidak tahu tentang hal itu. Tapi apakah orang sejujur
Wanita bernama Nikmah itu masih berdiri di depan pintu, menatap ke arah kami dengan pandangan aneh. Rambutnya panjang bergelombang dibiarkan tergerai, dengan japit kecil di sebelah atas telinga kirinya. Wajahnya cantik dan kalem, pantas aku dengar kekasih Mas Hanan dulu terkenal sebagai kembang desa.Sayang, riasan wajahnya agak berlebihan, dan pakaian yang dia kenakan sedikit memaksakan diri. Dia memakai gaun pendek seatas lutut, dan memperlihatkan kakinya yang jenjang. Tapi dilihat dari bahasa tubuhnya, dia terlihat kurang nyaman. Kenapa dia memakai pakaian yang dia sendiri tak nyaman dengannya?"Maaf, apa Bu Fatmah ada?"Pertanyaan Nikmah seketika membuatku tersentak karena tak sadar aku sudah memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jangan-jangan dia tidak nyaman karena aku terlalu jelas memperhatikannya. Aku seketika melirik ke arah Mas Hanan yang sepertinya mengalihkan pandangannya dari Nikmah. Entah karena salah tingkah, atau tak enak karena aku ada di sana."Ibu s
"Dek, sudah siap berangkat?" Mas Hanan terlihat tersenyum seraya menatap ke arahku.Hari ini wajah Mas Hanan yang rupawan itu terlihat cerah dan bersemangat. Dia juga terlihat gagah dengan kemeja warna abu-abu yang dipakainya. Mas Hanan jarang sekali berpakaian rapi seperti itu, karena dia hanya punya dua buah kemeja saja, dan itupun kami beli saat hari raya tahun lalu."Iya, Mas. Adek sudah siap," jawabku sambil menautkan tas jinjingku ke pundak."Jilbab Adek miring." Mas Hanan membenarkan ujung jilbab di kepalaku, lalu menatapku lekat. "Maaf ya, Dek, belum bisa membelikanmu baju dan jilbab yang bagus. Mas janji, jika nanti diterima bekerja, uangnya semua untuk Adek belanja."Aku membalas tatapan Mas Hanan, seraya tersenyum getir. Tidak, Mas, seharusnya aku yang minta maaf karena sudah menjadi beban selama setahun ini, ucapku dalam hati."Bismillah ya, Dek. Semoga lancar ujiannya, dan lulus dengan nilai bagus," ucap Mas Hanan lagi."Iya, Mas. Bismillah.""Ayo berangkat, Dek," ucap Ma
"Selamat, Hasna. Kamu lulus dengan nilai memuaskan."Kedua mataku membola mendengar ucapan dosen pembimbing di depanku. Hampir dua jam aku melakukan tanya jawab, dan berakhir dengan senyum manis Pak Dosen yang biasanya galak itu."I-ini benar, Pak?" tanyaku lagi dengan perasaan hampir tak percaya."Benar, Hasna. Saya dengar setelah menikah kamu tinggal di kampung. Tak kusangka hasil penelitianmu luar biasa," ucap pria bertubuh tambun dan berkaca mata itu. "Sekali lagi selamat.""Terima kasih, Pak," jawabku penuh keharuan, seraya menjabat tangan Pak Dosen.Aku keluar dari ruang sidang itu dengan hati berbunga, tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira ini pada Mas Hanan. Tapi lebih dulu, aku ingin mengabarkan Mama dan Papa tentang hal ini. Segera aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menelpon Mama."Halo, assalamualaikum, Hasna." Terdengar suara Mama mengangkat telepon."Waalaikumussalam, Mama!" Aku seakan ingin berteriak sekencang-kencangnya saat mendengar suara Mama."Kedengaran
"Tinggal dengan Bang Ferry?""Iya! Senang kan, kamu?" Ibu menatap Mas Hanan tajam. "Sekarang sudah tidak ada lagi yang mengganggu kebahagiaanmu dan istrimu!""Buk, kenapa bicara seperti itu, Buk?" Wajah Mas Hanan terlihat begitu sedih mendengar ucapan ibunya."Sudahlah, Hanan! Ibuk mau tinggal bersama kami, ya terserah dia, dong. Kamu urus saja istri manjamu itu!" sahut Bang Ferry."Betul itu, Hanan! Lagipula ini keinginan Ibuk sendiri, kami gak maksa! Ibuk sudah gak betah tinggal bersama kalian," sambung Mbak Ratri.Ibu terlihat sudah selesai memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas besar, lalu Bang Ferry mengangkatnya menuju mobil. Mbak Ratri juga membawa beberapa barang dan memasukkannya ke mobil mereka."Ayo berangkat, Buk," ucap Bang Ferry kemudian.Ibuk mengangguk, lalu berjalan menuju mobil, sebelum Mas Hanan menghentikan ibu lagi."Tunggu dulu, Buk. Hanan mau menyampaikan kabar gembira pada Ibuk," ucapnya. "Hasna lulus skripsi, Buk. Sebentar lagi wisuda. Mantu Ibuk sudah jadi
Acara wisuda berjalan dengan lancar. Aku yang sudah mengenakan toga dengan percaya diri naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan atas kerja kerasku selama belajar di universitas. Mama dan Papa tampak menatapku bangga, dan berulang kali menepuk pundak Mas Hanan dengan tidak kalah bangga."Ayo, kami antar kalian pulang," ucap Papa kemudian, ketika kami sudah keluar dari gedung aula kampus setelah acara selesai."Papa ini, masa langsung pulang, sih?" sahut Mama. "Apa Papa gak kangen sama Hasna? Kita kan harus merayakan kelulusan putri kita dulu.""Ah iya, ya, hampir Papa lupa kalau kita sudah membooking restoran untuk perayaan," ucap Papa sambil tertawa."Papa ini!" Mama mencubit pipi Papa, membuatku dan Mas Hanan tersipu karena kemesraan mereka.Mama dan Papa memang selalu tampak mesra dan memiliki pribadi yang hampir sama. Meskipun keduanya sama-sama pengusaha yang sibuk, tapi mereka selalu menyisihkan waktu untuk bisa berdua, walaupun hanya sekedar minum kopi di cafe.Selama s