"Syukurlah, hari ini kita bisa membawa Nyonya Miranti pulang." Mama tersenyum seraya menyiapkan beberapa buah pakaian dan memasukkannya dalam koper."Mama sudah menyiapkan perawat khusus untuknya, dan kabarnya, kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik," lanjut Mama lagi."Maaf ya, Ma, selama ini kami sudah merepotkan Mama terus," ucapku kemudian."Bicara apa kamu, Hasna? Kamu ini kan anak Mama, Hanan juga. Jangan pernah bilang sudah merepotkan!" sahut Mama sambil menyentil hidungku.Aku tersenyum, dan untuk ke sekian kalinya bersyukur karena memiliki orang tua yang bisa diandalkan. Rumah kami sudah selesai dibangun, bersamaan dengan kabar baik yang disampaikan oleh dokter, bahwa kondisi Nyonya Miranti sudah jauh lebih baik. Ini semua berkat Mas Hanan yang begitu sabar dan telaten berbicara pada Sang Ibu setiap harinya.Aku melirik ke arah ponsel yang sejak tadi menyala, dan menyiarkan berita-berita terkini. Terpampang jelas tulisan-tulisan yang menjadi caption dalam berita-berita ter
"Bu ... Ibu sudah sembuh?" Air mataku kembali mengalir dengan derasnya."Ya Allah, Mas Hanan pasti bahagia sekali Ibu sudah sembuh." Aku berhambur ke pelukan Ibu mertuaku itu. Menangis sekencang-kencangnya. Aku seperti ingin mencurahkan semua perasaanku di depannya."Hasna ...." Bu Miranti menatapku lagi, begitu aku melepaskan pelukanku. Terlihat tangannya terangkat, lalu mengusap pipiku."Kenapa menangis?" tanyanya, dengan nada suara yang masih terdengar sangat datar. "Hanan menyakitimu?"Aku seketika menggelengkan kepala kencang."Tidak, Bu. Mas Hanan tidak pernah menyakiti Hasna," jawabku kemudian sembari mengukir senyum.Bu Miranti menggerakkan kepalanya, menatap ke sekeliling. "Hanan ... di mana?" tanyanya kemudian."Ada di rumah, Bu. Ayo kita Hasna bawa Ibu ke Mas Hanan," ucapku kemudian, seraya menarik tangannya, membantunya berdiri.Aku menggandeng tangan Bu Miranti dan berjalan kembali ke rumah. Dari jauh, terlihat Mas Hanan masih berbincang dengan Nikmah, dan Nikmah terliha
"Ibuk sakit?" Aku seketika membulatkan mata.Memang aku ingin sekali mengetahui keadaan Ibuk setelah pingsan waktu itu. Tapi Mas Hanan selalu menghindar setiap aku berbicara tentang Ibuk. Orang pendiam seperti Mas Hanan, sekali hatinya tergores dalam, mungkin akan sulit sekali menyembuhkan luka itu."Iya, Hasna. Tolong, minta Hanan untuk menengoknya di saat-saat terakhirnya," ucap Bang Ferry lagi.Aku terdiam sejenak, bingung apa yang harus aku lakukan."Tapi Mas Hanan baru berangkat kerja, Bang," jawabku kemudian. "Biar saya yang pergi untuk menjenguk Ibuk dulu, ya?""Iya, Hasna, iya. Ibuk pasti senang sekali kamu mau menjenguknya, Hasna," jawab Bang Ferry lagi."Sebentar, saya pamit dulu ke Mama," ucapku lagi sambil masuk ke dalam rumah.Terlihat Mama dan Bu Miranti menata makanan di atas meja makan sambil berbincang. Mereka berdua tampak sangat akrab, membuat siapapun yang melihatnya terasa adem di hati. Syukurlah, rupanya Bu Miranti benar-benar sudah sembuh."Ayo Hasna, kita sarap
"Makanya, cari menantu itu wanita yang sama-sama dari kampung, jadi tahu adab dan sopan santun. Lah itu menantumu, sudah gak bisa masak, gak bisa bantu beres-beres, kerjaannya dandan melulu. Masih mending kaya. Lah dia, tahunya cuma numpang hidup. Mana maksa suaminya untuk membiayai kuliah dia pula."Aku yang sudah berpakaian rapi, urung melangkah keluar rumah ketika mendengar suara Bu Tria, tetangga dekat kami. Bisa kulihat dari kaca jendela, jika dia sedang berbincang dengan Ibu mertuaku di halaman rumah, dan dengan beberapa orang yang lain."Betul itu Bu Fatmah. Mantu saya jam segini sudah masak, beres-beres rumah, sudah nyuci, dan sekarang sedang momong anaknya. Makanya jam segini bisa bantu Bu Fatmah ngupas jagung," sahut tetangga yang lain."Lagian itu si Hanan itu cuma lulusan SD, ngapain juga mau-maunya banting tulang demi pendidikan istrinya. Perempuan itu kodratnya di dapur sama kasur," tambah Bu Tria lagi.Ibu mertuaku terlihat tersenyum getir, dan sesekali menarik napas pa
"Kamu yakin, ingin menikah dengan pria itu, Hasna?" tanya Mama waktu itu, ketika aku mengutarakan keinginanku pada kedua orang tuaku, agar mereka merestui hubunganku dengan Mas Hanan."Ma, kalau bukan karena Mas Hanan, mungkin waktu itu Hasna sudah ma-ti tenggelam," jawabku, meyakinkan Mama.Ya, aku pertama kali mengenal Mas Hanan saat KKN di kampungnya waktu itu. Aku dan beberapa orang temanku dengan lancangnya berenang di sungai besar yang berada di sisi kampung, tanpa tahu ternyata aliran arusnya sangat deras.Tentu saja, aku yang tidak terlalu pandai berenang seketika terseret arus. Syukurlah, saat itu Tuhan mengirimkan sosok malaikat penyelamat. Mas Hanan dengan gagahnya melompat ke dalam sungai untuk menyelamatkanku.Seketika itu aku jatuh cinta ... pada pandangan pertama. Sejak saat itu aku terus mencari tahu tentang dirinya. Dia hanya lulusan sekolah dasar, dan bekerja sebagai tukang bangunan. Dia bukan tidak bisa sekolah tinggi karena tak pintar, tapi karena memang tidak mamp
"Hanan, beras habis!"Baru saja aku dan Mas Hanan sampai di rumah, kami sudah disambut oleh Ibu yang berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangan di dada."Ah iya, maaf, Buk," jawab Mas Hanan sambil merogoh sakunya.Dia mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan pada ibu."Loh, kok cuma segini, Hanan? Mana cukup?""Maaf, Buk. Bang Ferry belum memberikan semua upah Hanan," jawab Mas Hanan lagi."Halah, jangan bohong kamu, Hanan! Ferry baru kesini, kok, ngambil jagung. Dia bilang dia bayar kamu! Kamunya saja yang kerjanya ogah-ogahan!""Astaghfirullah, Buk!" Aku akhirnya ikut menjawab karena tidak tahan melihat Mas Hanan dimaki-maki."Hasna lihat sendiri kok, Bang Ferry sebenarnya gak mau memberi Mas Hanan upah. Dia bahkan melempar uang ke wajah Mas Hanan, Buk!" ucapku kemudian."Ferry tidak mungkin melakukan itu, Hasna. Kamu jangan asal bicara," sahut Ibu tak percaya."Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Buk. Lagipula Mas Hanan kan anak ibuk juga. Kenapa ibu justru hanya
"Ibuk mau menjual sawah peninggalan Bapak?" Mas Hanan mengulang pertanyaannya, sembari berjalan mendekat ke arah ibunya."Abangmu butuh uang untuk tambah membeli mobil, Hanan," jawab Ibu sambil membalas tatapan Mas Hanan."Tapi bukannya Bang Ferry sudah punya usaha yang maju? Kenapa harus menjual sawah, Buk?""Justru karena usaha Mas Ferry sedang berkembang pesat, makanya kami butuh mobil, Hanan," sahut Mbak Ratri."Lagipula kamu kenapa harus ikut campur sih, Hanan! Aku juga punya hak atas sawah itu," sambung Bang Ferry."Masalahnya, dulu Bapak melarang kita untuk menjualnya, Bang," ucap Mas Hanan lagi. "Bang Ferry ingat, kan?""Bapak sudah tidak ada, dan aku butuh uang," sahut Bang Ferry. "Pikirkan yang hidup, jangan yang sudah ma-ti!""Astaghfirullah, Bang!"Hatiku ikut sakit mendengar ucapan mereka pada Mas Hanan, tapi aku berusaha sebisa mungkin untuk tetap diam. Bukan ranah untukku bicara, apalagi tentang tanah warisan."Sudahlah, Hanan. Abangmu benar. Lagipula uangnya bukan untu
"Untuk apa uang itu, Hasna?" tanya Mama seraya mengerutkan kening.Segera aku ceritakan semua yang telah terjadi. Tentang Bang Ferry yang merayu ibu untuk menjual sawah demi membeli mobil, juga perlakuan mereka terhadap Mas Hanan selama ini."Aku benar-benar tidak percaya, jika mereka sanggup melakukan hal itu pada Mas Hanan. Bahkan Mas Hanan jauh lebih rendah dari anak pungut, Ma," ucapku menggebu-gebu setelah selesai bercerita.Mama terlihat membuang napas panjang. Wajahnya ikut terlihat sedih."Kasihan sekali menantu Mama ...," ucapnya lirih."Karena itulah, Ma, aku ingin sawah itu jadi milik Mas Hanan lagi. Mama tolong Hasna, ya? Hasna janji akan mengembalikan uang Mama setelah tabungan Hasna dikembalikan Papa," ucapku lagi sambil memegang tangan Mama."Tapi Hasna ... kalau kamu melakukan itu, kamu sama saja membuat Hanan mengingkari janjinya pada Papamu," jawab Mama.Aku membulatkan mata mendengar ucapan Mama. "Mungkin Papamu tidak tahu tentang hal itu. Tapi apakah orang sejujur