Share

Tidak Adil

"Hanan, beras habis!"

Baru saja aku dan Mas Hanan sampai di rumah, kami sudah disambut oleh Ibu yang berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangan di dada.

"Ah iya, maaf, Buk," jawab Mas Hanan sambil merogoh sakunya.

Dia mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan pada ibu.

"Loh, kok cuma segini, Hanan? Mana cukup?"

"Maaf, Buk. Bang Ferry belum memberikan semua upah Hanan," jawab Mas Hanan lagi.

"Halah, jangan bohong kamu, Hanan! Ferry baru kesini, kok, ngambil jagung. Dia bilang dia bayar kamu! Kamunya saja yang kerjanya ogah-ogahan!"

"Astaghfirullah, Buk!" Aku akhirnya ikut menjawab karena tidak tahan melihat Mas Hanan dimaki-maki.

"Hasna lihat sendiri kok, Bang Ferry sebenarnya gak mau memberi Mas Hanan upah. Dia bahkan melempar uang ke wajah Mas Hanan, Buk!" ucapku kemudian.

"Ferry tidak mungkin melakukan itu, Hasna. Kamu jangan asal bicara," sahut Ibu tak percaya.

"Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, Buk. Lagipula Mas Hanan kan anak ibuk juga. Kenapa ibu justru hanya lebih perhatian sama Bang Ferry? Itu kan gak adil, Buk."

"Ferry selalu menurut sama saya, Hasna! Gak seperti Hanan, yang selalu saja melakukan apapun tanpa memikirkan perasaan ibunya!"

"Buk, sudah, Buk. Jangan bertengkar, gak enak didengar tetangga," ucap Mas Hanan sambil mengelus pundak Ibunya.

"Kamu juga, Hanan!" Ibu menepis tangan Mas Hanan dengan kasar. "Bilang saja uangmu habis untuk biaya kuliah istrimu, kan? Kita ini miskin, Hanan! Kenapa kamu harus menuruti semua keinginan istrimu?"

"Astaghfirullah, Buk. Itu sudah kewajiban Hanan sebagai suami untuk memberi kehidupan yang layak untuk Hasna. Bukan hanya untuk menuruti keinginannya," jawab Mas Hanan lagi.

"Ah, sudahlah! Dari dulu kamu memang gak pernah bisa membahagiakan Ibuk! Beda dengan Abangmu!"

Ibu membuang napas kesal, lalu berjalan pergi meninggalkan kami berdua. Mas Hanan terlihat menarik napas panjang, lalu menatap ke arahku.

"Maafkan ibuk ya, Dek? Jangan dipikirkan ucapan Ibuk," ucapnya kemudian.

Aku tersenyum sambil membalas tatapan Mas Hanan. Seharusnya ucapan ibunya pasti jauh lebih menyakiti dirinya. Tapi dia hanya memikirkan perasaanku.

"Gak apa-apa kok, Mas. Aku sudah biasa," jawabku.

Mas Hanan terlihat membuang napas lega, lalu tersenyum lagi.

"Oh iya, kamu belum makan kan? Mas akan cabutkan singkong di belakang rumah."

"Aku ikut ya, Mas?"

"Jangan. Habis hujan, pasti kotor sekali tempatnya. Lebih baik Adek istirahat, pasti capek seharian belajar."

"Nggak kok, Mas. Pokoknya aku mau ikut."

Karena aku tetap ngeyel, akhirnya Mas Hanan membiarkanku ikut dengannya. Pekarangan rumah sederhana itu cukup luas, dan ditanami oleh berbagai macam jenis pohon oleh Mas Hanan. Ada pisang, singkong, pohon nangka, kelapa, dan masih banyak lagi. Semua pepohonan basah kuyup akibat hujan deras tadi.

Mas Hanan membawa arit, dan memilih pohon singkong yang cukup besar. Setelah sedikit mengorek tanah di bawahnya, dia menebas batang pohonnya dan menariknya. Kelihatannya akar singkongnya cukup besar, karena Mas Hanan terlihat mengeluarkan semua tenaganya untuk menariknya.

Hatiku selalu berdesir sedih saat melihat perjuangan suamiku itu. Setiap saat pria yang telah mengisi separuh jiwaku itu selalu membuatku bersyukur. Betapa seringnya aku dulu menghamburkan uang hanya untuk membeli hal yang tak penting, sedangkan banyak sekali orang yang berjuang hanya untuk bisa makan.

Setelah beberapa saat berusaha, akhirnya batang singkong itu tercabut dari tanah. Memang benar, akarnya besar-besar. Mas Hanan langsung mematahkannya dengan arit. Aku ingin membantu, tapi lagi-lagi Mas Hanan melarangku.

"Jangan, Dek. Kotor. Kamu berdiri saja di sana," ucapnya sambil mengumpulkan singkong-singkong itu ke dalam bakul besar.

Setelah mengupas dan mencucinya, Mas Hanan segera menyalakan api dengan kayu yang dikumpulkannya setiap pulang kerja. Aku duduk di depan perapian itu, merasa tidak berguna. Hanya duduk dan melihat saja apa yang Mas Hanan lakukan.

"Mas, kalau gak salah Bang Ferry itu lulus SMA, kan?" tanyaku kemudian saat kami menunggu singkong matang.

"Iya, Dek," jawab Mas Hanan sambil sesekali membenarkan nyala api.

"Terus kenapa Mas Hanan tidak melanjutkan sekolah dengan lebih tinggi?" tanyaku lagi.

"Itu karena ketika Mas ingin melanjutkan ke SMP, Bapak meninggal. Jadi Ibuk hanya bisa membiayai satu anaknya saja. Jadi Mas harus membantu ibu mengurus sawah, untuk biaya Bang Ferry juga."

"Mengurus sawah sejak lulus SD?" Mataku seketika melotot.

"Iya." Mas Hanan tersenyum melihat ekspresi wajahku.

"Tapi, Mas, kan gak adil kalau cuma Bang Ferry yang bisa melanjutkan sekolah, sementara Mas Hanan harus bekerja sejak kecil," protesku.

"Itu karena Bang Ferry anak yang pintar, jadi Ibuk bilang sayang jika tidak sekolah tinggi. Beda sama Mas yang ...."

"Hasna lihat, Mas Hanan itu jauh lebih pintar," sahutku cepat. "Buktinya jika aku ada kesulitan mengerjakan skripsi, Mas selalu membantuku. Dan lihat itu, semua Mas Hanan yang buat sendiri."

Aku menunjuk berbagai macam perabotan rumah, mulai dari meja kursi, rak piring, lemari, sampai tempat tidur, semua adalah hasil karya Mas Hanan sendiri. Bahkan tak jarang Bang Ferry juga memintanya membuatkan macam-macam barang untuknya. Semua Mas Hanan kerjakan hanya dengan peralatan sederhana. Seandainya Mas Hanan punya alat-alat yang modern dan layak, pasti hasilnya akan jauh lebih bagus.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku.

"Mas, bagaimana kalau Mas Hanan membuka usaha mebel?" tanyaku kemudian.

Mas Hanan tersenyum mendengar ucapanku, lalu dengan lembut mecolek hidungku.

"Modalnya besar, Dek," jawabnya.

Dia kemudian berdiri, lalu membuka tutup panci. Singkong sudah matang dan terlihat mengebul, menciptakan aroma yang khas. Mas Hanan mengambil piring, lalu memindahkan singkong rebus itu ke dalamnya.

"Ayo makan, Dek," ucapnya.

Aku membuang napas kesal. Padahal aku belum selesai bicara, tapi Mas Hanan mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia mengira aku tidak serius mengucapkannya.

"Sepertinya Ibuk sedang keluar. Kita makan dulu berdua saja, Dek," ucap Mas Hanan kemudian.

Mas Hanan menarik tanganku, mengajakku untuk duduk di tikar ruang tengah. Setelah mengucapkan doa, Mas Hanan mengambil sepotong singkong, meniupnya, lalu mengulurkannya padaku. Aku tersenyum sambil menerimanya, lalu segera menyuapkannya ke mulutku. Terlihat Mas Hanan menatapku lekat saat aku makan, membuatku salah tingkah.

"Kenapa Mas Hanan menatapku seperti itu?" tanyaku sambil tersipu malu. Jangan-jangan cara makanku aneh.

"Maafin Mas ya, Dek, belum bisa memberikan hidup yang layak. Bahkan makanan yang layak pun belum bisa Mas berikan," ucapnya dengan suara bergetar.

Lagi-lagi, untuk ke sekian kalinya Mas Hanan selalu mengucapkan hal itu. Sungguh, membuatku ingin segera mempercepat waktu, agar aku bisa secepatnya menyelesaikan pendidikanku yang hanya tinggal selangkah lagi.

"Jangan bicara seperti itu, Mas ...." Belum selesai aku bicara, terdengar suara ibu yang tertawa-tawa dari luar, bersama dengan suara Bang Ferry dan Mbak Ratri.

"Makasih loh, sudah beliin Ibuk baju," ucap Ibu pada anak pertama dan menantunya, sambil meletakkan tas belanjaan di meja ruang tamu.

"Ayo Buk, kita makan gado-gado yang kita beli tadi." Bang Ferry terlihat membuka tiga bungkus makanan, dan mereka bertiga duduk di ruang tamu sambil menikmati makanan mereka, tanpa menoleh ke arah kami.

"Oh iya, Buk, jangan lupa pada janji Ibuk, ya? Aku sudah gak sabar loh, pengen segera membeli mobil yang kita lihat tadi," ucap Mbak Ratri pada Ibu.

"Iya, tenang saja Ratri. Kekurangannya pasti akan segera Ibu usahakan. Ibuk sudah menawarkan sebagian sawah pada Haji Jupri," jawab Ibuk.

Mas Hanan yang dari tadi hanya memperhatikan mereka bersamaku, tiba-tiba berdiri setelah mendengar ucapan Ibunya.

"Astaghfirullah, Ibuk mau menjual sawah peninggalan Bapak?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
apa hanan anak tiri?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status