Beberapa menit kemudian, suara Mariana terdengar dari depan kamar, “Tuan, Nyonya, Tuan Muda Leo sudah pulang!” Suara Mariana terdengar jelas dari tempat mereka berada.Maia dan Juan saling berpandangan. Maia langsung bangkit dari ranjang, menepuk pipinya sendiri untuk menyegarkan wajahnya, “Dia datang?” bisiknya, “Tapi… kenapa hari ini? Bukannya masih ada…” sambungnya sambil menghitung beberapa jumlah jarinya.Juan mengintip dari jendela, “Sepertinya iya. Itu mobil Jackson.”Maia menatap bayangannya di cermin. Wajah Ruby, tapi sorot matanya adalah milik Maia.“Aku siap,” ucapnya.Juan berdiri di belakangnya, tersenyum kecil, “Kalau kau gugup, jangan tunjukkan. Anak itu bisa baca bahasa tubuh,”Maia mengangguk. Lalu menarik napas panjang.Hari ini, dia tidak akan memeluk Leo secara tiba-tiba. Tidak akan menawarkan kue. Tidak akan memaksakan sapaan ‘Mommy’ atau membelikan robot-robotan.Hari ini, dia hanya ingin memperkenalkan diri dengan bahasa Leo. Pelan-pelan, jujur, dan mungkin untu
Pagi datang membawa sinar hangat yang menembus tirai kamar. Maia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa kaku. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu melirik ke sekeliling dengan pandangan buram.Perlahan, ia menyadari dirinya berada di tempat tidur. Tertutup selimut dari ujung kaki hingga bahu, dan yang paling aneh, ada lengan kekar memeluknya erat dari belakang.Deg…Ia buru-buru menoleh dan menemukan wajah Juan yang masih tertidur di bahunya. Nafas pria itu teratur, damai, seolah tak terjadi apapun semalam. Tapi bagi Maia, dunia seperti baru saja meledak.‘A-apa yang terjadi semalam?’Tangannya mencubit pelan pahanya sendiri, memastikan ini bukan mimpi, tapi nyeri di kepalanya justru terasa nyata.“Mati aku…” gumamnya pelan.Juan tiba-tiba menggerakkan tubuhnya, lalu membuka mata perlahan. Ketika pandangan mereka bertemu, Juan hanya tersenyum seperti tak terjadi apa-apa.“Selamat pagi, Ratu Mabuk,” ucap Juan datar, suaranya serak karena baru bangun.Maia langsung mena
"Sudah bangun?" tanya Juan lembut pada Maia yang masih memandangnya tajam. Ia menunggu istrinya bangun setelah dipindahkannya ke kamar. Ya, Juan mendapati istrinya tidur dalam keadaan mabuk di dapur.Sekali dua kali Maia mulai membuka-tutup matanya, mencoba memproses apa yang ada di hadapannya."Kenapa ada lelaki tampan di sini?" tanya Maia bodoh. Saat ini dirinya tidak sadar dengan berhadapan dengan siapa. Yang ia tahu, saat ia membuka matanya, hanya ada lelaki tampan di sampingnya."Hmm, aku memang tampan, apa kau baru menyadarinya?" jawab Juan sambil tersenyum. Tangan Juan baru saja akan menyentuh anak rambut yang menghalangi mata Maia, namun dengan cepat ditangkap Maia sambil memicingkan matanya dengan tajam."Walau kau tampan, siapa yang mengizinkanmu menyentuhku?" ucapan Maia terdengar dengan nada berbeda dan dengan cengkeraman tangan yang semakin erat.Juan menyerngitkan d
Sore itu, Maia duduk termenung di ruang santai, sebuah buku catatan kecil terpegang di pangkuannya. Di halaman yang terbuka, tertera daftar pendekatan yang telah ia pikirkan sejak pagi. Tulisan tangannya rapi, menyusun berbagai rencana yang ia anggap cocok untuk anak seusia Leo.Belikan mainan edukatif, membuat kue bersama, mengajak menonton kartun, pulangnya membeli robot-robotan, dan hal pertama ialah memeluknya ketika pertama kali bertemu.Ia menghela napas panjang, ‘Anak kecil pada umumnya pasti menyukai hal-hal semacam itu, kan?’ pikirnya.Namun tetap saja, ada rasa ganjil yang mengusik benaknya. Semakin ia mengenal Leo, semakin jelas bahwa anak itu tak bisa didekati dengan cara-cara biasa. Terlebih setelah ia menyidak bagaimana interior kamar dan taste Leo untuk dekorasi ruang pribadinya.Menurut Maia itu terasa… janggal.Tak lama kemudian,
Film di layar terus berjalan. Aksi kejar-kejaran mobil dan dentuman tembakan saling bersahutan, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar memperhatikan. Maia sudah lama tak fokus. Tangannya memeluk lutut, sorot matanya kosong, dan dadanya terasa sesak.Juan masih di posisi yang sama—tenang, diam, dengan mata tetap mengarah ke layar. Tapi ia sadar Maia tidak tenangMaia memutar tubuhnya perlahan, menatap Juan dari samping. Suaranya keluar pelan, tapi tajam.“Kalau aku bertanya, menurutmu… kita ini orang tua yang baik atau tidak untuk Leo?”Juan tidak langsung menjawab, tapi Maia tampaknya tidak sedang ingin menunggu jawaban.“Aku tahu aku banyak salah. Aku ibu yang buruk. Aku tinggalkan Leo di masa paling penting dalam hidupnya. Aku mengabaikan dia… Bahkan mungkin saja dia sudah lupa bau tubuh ibunya…” suara Maia mulai bergetar, tapi masih tert
Maia mengingat sebuah pagi yang kacau. Hari itu Mariana bercerita tentang sekolah Leo. Saat itu Leo memukul seorang anak. Tapi tak pernah jelas siapa korbannya, karena kasus itu mendadak ditutup rapat. Mariana bilang Juan sudah membereskan semuanya tanpa banyak penjelasan.Jantung Maia berdebar. Ia ingin bertanya, ingin memastikan. Tapi di saat yang sama, Mariana menarik pelan lengannya.“Nyonya, mari kita pergi. Ini tidak penting.”Maia mengangguk pelan. Ia menunduk sopan ke arah si ibu gemuk dan berkata pelan, “Maaf atas ketidaksengajaan tadi.” ia menuruti Mariana untuk tetap diam.Langkah Maia terhenti hanya beberapa meter dari mobil. Suara nyaring ibu tambun itu kembali membelah udara, tak peduli berapa pasang mata yang mulai memperhatikan.“Hei! Jangan seenaknya minta maaf lalu kabur begitu saja! Masalah belum selesai, wanita sombong?!”