Share

Demi Buminya

Rasa lelah mengemban berat di pundak Senja. Berjalan gontai dengan tubuh yang sampai membungkuk, disaat berjalan masuk ke dalam rumah.

Sunyi....

Itulah kondisi pertama yang Senja rasakan, hanya ada asisten rumah tangga yang membukakan pintu rumahnya saja.

"Ternyata dia belum pulang," lirih Senja. Sesaat sampai teras rumah, tidak tampak mobil suaminya terparkir disana.

Langkah gontai Senja menghantarkan Senja ke salah satu pintu kamar, tepat disebelah kamarnya.

Dengan hati - hati Senja membuka pintu, takut membangunkan siempunya kamar yang pasti sudah bermain di dunia mimpi.

"Bumi..." cicit Senja. Kakinya melangkah melayang, menuju anaknya.

Perlahan, Senja mencium Bumi yang tidak terganggu sedikit pun dengan apa yang dilakukan Senja padanya.

"Maafkan, Mama. Mama masih menjadi seorang Ibu yang buruk untukmu," gumam Senja.

Hati Senja menyesak, apa yang harus dia jelaskan ke anaknya. Jika dia terus menerus seperti ini? Masih mau kah Bumi memanggilnya mama? Atau akan malu, dan menganggap dirinya tidak ada?

Senja menggelengkan kepalanya, Bumi sudah masuk jenjang taman kanak - kanak. Sebentar lagi dia akan bersekolah dasar. Jangan sampai, pikiran Bumi yang semakin berkembang, membuat Senja terlambat untuk berhenti dalam pekerjaan kotor yang diberikan Rey untuknya.

"Mama janji sayang. Mama akan menjadi Mama yang terbaik untukmu. Semua untuk Bumi. Hanya untukmu..."

Tanpa disadari, segaris air mata sudah meluncur membasah pipi Senja. Dengan gerakan cepat Senja menghapus air mata itu, dan berlalu kembali untuk ke kamarnya. Tapi sebelum itu, Senja masih sempat menolehkan kepalanya, untuk sejenak melihat Bumi kembali.

"Good night sayang. Kamu adalah hidup dan nyawa Mama," cicitnya.

Kini separuh rasa lelah yang membeban tubuh Senja mulai terangkat. Bumi memang obat dari segala obat yang bisa membuat Senja bertahan hingga saat ini.

"Kemana kamu Mas?" monolog Senja.

Dia sudah selesai membersihkan diri, jam dinding tidak lelah menunjukkan waktu yang kini sudah menjelang subuh. Senja yang sudah letih, tanpa sadar tertidur saat menunggu Rey kembali pulang ke rumah.

Senja tidak tahu sudah berapa jam dia tertidur. Suara ketukan pintu kamar membuat Senja tersadar, jika Mentari sudah berani menerobos sela tirai jendela kamarnya.

"Ma, Mama. Buka pintunya Ma.."

Kembali suara cempreng, terdengar sambil menggedor pintu kamar Senja.

"Bentar sayang..." jawab Senja.

Masih sempat Senja melirik ke arah jam kamarnya, ternyata sudah jam sembilan pagi. Tapi suaminya tidak kunjung pulang, dan tidak memberikan kabar padanya.

Sambil berjalan ke arah pintu, Senja mencoba kembali menghubungi suaminya. Tapi tetap saja, hanya suara operator yang menyahut. Hati Senja mulai gelisah, dia sangat takut terjadi sesuatu pada suaminya.

"Mama, tidur kayak Mumi. Bumi capek manggilin Mama. Tapi Mama gak bangun - bangun," cerocos Bumi dengan logat cedalnya.

"Maafkan Mama sayang. Mama gak bisa tidur tadi malam. Jadi kesiangan bangun. Anak Mama sudah sarapan? Sepertinya sudah mandi nih. Sudah ganteng, dan gak bau iler," gurau Senja.

Muka Bumi berubah masam. Senja merasa seperti sedang jadi terdakwa. "Kenapa?" tanya Senja penasaran.

"Mama sama Papa janji kan? Hari ini kita mau keluar. Tapi kenapa Mama baru bangun? Papa juga gak ada?" tanya Bumi dengan wajahnya yang cemburut.

Wajah Bumi sangat terlihat menggemaskan sebenarnya, jika dalam keadaan bercanda. Tapi mengingat suaminya. Kekhawatiran Senja semakin menjadi - jadi. Tapi Senja berusaha bersikap setenang mungkin. Dia tidak mau membuat anaknya juga ikut merasakan khawatir.

"Maaf. Tadi malam, Mama dan Papa ada meeting. Papa juga lanjut kerja lagi bareng temannya. Makanya belum pulang. Bagaimana kalau kita tunda minggu depan saja?" Senja berusaha membujuk Bumi.

"Selalu seperti itu. Teman Bumi, semua hari minggu jalan sama Mama dan Papa nya. Sedangkan Bumi, hanya janji terus yang Bumi dapat. Bumi mau jalan kayak teman Bumi Ma. Sama Mama, sama Papa," ungkap Bumi. Nadanya sedikit meninggi. Terlalu kesal, hanya diberikan janji yang tidak pasti.

Bumi sangat iri dengan teman - temannya. Setiap hari senin, selalu bercerita kegiatan bersama keluarga mereka. Sedangkan Bumi, terbiasa hanya sendiri. Orang tuanya terlalu cinta dengan pekerjaan, sampai Bumi merasa dia hanya sendiri.

Senja memeluk Bumi, semarah apapun Bumi. Senja tidak mau terpancing marah. Dia salah, sangat salah. Tapi semua tidak mudah dijelaskan, pada Bumi yang masih kecil.

"Maafkan Mama sayang. Semua yang Mama lakukan, untuk kamu," jelas Senja lembut.

"Bumi gak butuh uang dan mainan banyak Ma. Bumi hanya mau Mama dan Papa ada untuk Bumi," ungkap Bumi lagi.

Dada Senja merasa sesak dengan setiap kata yang keluar dari mulut kecil Bumi.

"Mama janji, Mama akan ada untuk kamu. Mama akan bilang ke Papa. Agar tidak sibuk terus. Mau kan maafin Mama?" bujuk Senja lagi.

"Bumi mau maafkan Mama. Tapi Bumi mau kayak teman Bumi, selalu diantar dan dijemput Mamanya sekolah. Jadi, Bumi mau Mama berhenti kerja.." celetuk Bumi.

"Siapa yang mau berhenti kerja?" suara bariton menegur Senja dan juga Bumi, hingga pelukan keduanya terurai.

"Mas, kamu baru pulang. Kamu dari mana? Kenapa handphonemu tidak bisa di hubungi?" Senja segera memberondong pertanyaan untuk Rey.

"Tidak ada yang berhak mengambil keputusan di rumah ini selain Aku. Jadi, tidak ada yang berhenti kerja. Jangan meminta sesuatu yang tidak mungkin terjadi Bumi," sentak Rey, tanpa menjawab pertanyaan Senja.

"Mas..."

Senja memberikan isyarat matanya agar Rey tidak melanjutkan bicaranya.

Senja melihat ke arah Bumi, wajahnya sudah tertekuk sendu. Tidak berani melihat ke arah papanya.

"Bumi ke kamar dulu ya sayang, atau main bareng teman. Papa lagi capek. Nanti kita bicarakan lagi." ujar Senja.

Bumi hanya memgangguk patuh. Dia berlari kecil masuk kedalam kamarnya, dengan rasa takut yang menyelimut tubuh mungilnya.

"Apa baik, berbicara seperti itu didepan anak? Sepertinya kita butuh bicara. Bisa kita bicara di kamar saja Mas?"

Tanpa peduli ucapan Senja, Rey berjalan menerobos Senja, sampai menghentak bahu Senja. Senja meringis sesaat merasa kan rasa sakit dan terkejutnya.

"Kamu kenapa sih, Mas?"

Senja mendatangi Rey yang sudah duduk dipinggir bibir. Jarak yang sangat dekat, membuat Senja bisa menghirup aroma lain, selain aroma parfum yang biasa dipakai suaminya.

"Kamu mabuk Mas?" tanya Senja lagi.

Rey menatap nyalang kearah Senja. "Kenapa memangnya? Aku juga begini demi bisnis kita," jawab Rey ketus.

"Mau sampai kapan kita seperti ini? Mas janji kan, kalau perusahaan sudah stabil, kita bakal kayak keluarga normal semestinya. Tapi apa? Tetap saja aku harus melayani rekan bisnismu yang hidung belang itu!" geram Senja.

"Aku mau berhenti Mas. Aku sudah gak sanggup melayani mereka. Aku gak mau melakukan itu lagi Mas," lanjut Senja lagi, menatap nanar ke arah Rey.

"Enggak! Aku gak akan mengizinkannya. Apa kamu mau perusahaan kita bangkrut seperti dulu, hah?! Kerjakan saja tugasmu!" Bentak Rey. Matanya menatap nyalang ke arah senja, bahkan jari telunjuknya tegak menunjuk ke arah Senja.

Senja sampai tersentak, kepalanya menggeleng berulang kali. Tanda dia menolak semua apa yang dikatakan Rey untuknya.

"Gak Mas, aku gak mau. Sudah cukup semua. Aku gak mau semua orang memandang rendah aku nantinya. Apalagi jika Bumi sampai tahu, dia sudah mau besar Mas," jelas Senja yang sudah tidak bisa menahan air matanya.

Rey tertawa hambar, bibirnya membuat seulas senyum mengejek dan merendahkan, "Apa kamu bilang? Memandang kamu rendah? Bukankah memang sudah sejak dulu?! Dasar wanita jal*ng!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status