Namun lambat laun aku mengambil keputusan. Yang menurutku terbaik. Aku mengikhlaskan sawah yang dibeli bapak dan ibu dari hasil kerjaku dulu untuk ku beri pada Mbak Devi. Memang dirasa sayang, tapi nuraniku memberontak melihat kondisi ibu."Ibu, jangan difikir lagi. Nanti aku akan memberikan sertifikat sawah pada Mbak Devi. Kebutuhan bapak dan ibu biar aku yang memenuhi,"Mata ibu mukai berkaca-kaca. Tanganya melambai mencari tanganku."Terimaksih nak. Untuk semua kebaikanmu. Hatimu bersih seperti malaikat,""Ibu do'akan saja usahaku lancar ya,"Namun ibu justru menangis tergugu."Ibu kenapa? Airin ada salah?""Ya Allah pak. Pekerjaan yang dulu kita remehkan, nyatanya sekarang yang menghidupi kita. Ibu malu Rin. Malu padamu. Terlebih pada almarhum suamimu,"Perih memang yang aku rasakan ini. Hatiku selalu trenyuh kala mengingat Mas Agha. Dia hanya menelan pahitnya tanpa diberi kesempatan sedikitpun mencicipi manisnya."Bang Agha sudah tenang bu. Surga menantinya,""Rin,"panggil bapa
"Jadi aku mengundang kalian kemari untuk merayakan kenaikan jabatan suamiku. Sekarang Mas Danang sudah diangkat menjadi General Manager," kata Berta penuh bangga dengan mata berbinar."Wah selamat ya beb. Kalau suami aku masih stay di asisten direktur. Ya semoga saja suatu saat ketularan menjadi direktur gitu," jawab Fatin."Kalau suami aku sudah betah sih jadi pemilik showroom mobil. Do'akan ya semoga bisa buka cabang yang lebih banyak lagi," lanjut Mala.Aku hanya mengaduk-aduk minumanku. Merasa risih dengan perkataan mereka yang menurutku terlalu pamer. Ajang silarurahmi ini ku rasa telah berubah menjadi ajang pamer pencapaian belaka."Kalau suami kamu Rin?" tanya Fatin."Suaminya kan masih jualan cilok keliling," jawab Mala disertai dengan tawanya.Tetapi tidak dengan Berta dan Fatin. Mereka saling berpandangan. Seperti tidak enak hati dengan sikap Mala."Rin, suami Berta dan Fatin kan jabatanya bagus di perusahaan. Coba deh suruh suamimu melamar disitu. Kali aja bisa. Jadi jadi t
"Mala," panggilku.Ia menoleh dan tersenyum padaku dengan tangan melambai. Tidak ada ekspresi gugup darinya.Mungkin aku yang terlalu berprasangka buruk padanya."Kamu ada perlu apa kesini?" tanyaku."Aku bosan dengan handphone ku. Jadi aku investasikan buat di rental saja. Biasalah, jiwa bisnis kan ngikut dengan suamiku," jawabnya.Aku tersenyum kecil. "Kamu sendiri ada perlu apa kesini Rin? Bukanya rumah kamu masuk gang. Jauh lho. Nggak bawa payung lagi. Nanti hitam lho. Eh tapi kamu sudah terbiasa ya tidak pakek skincare," Aku menelan ludah. Begitukah cara orang kaya bertutur kata?"Kamu itu kan orang kaya Mal. Apa iya tidak tahu trend? Sekarang yang hitam-hitam lebih eksotis lho,""Aku kesini mau beli paketan buat Bang Agha," lanjutku.Dia tertawa sembari melipat tanganya di dada."Ngapain harus jauh-jauh sih Rin. Pakai M-Banking kan bisa," katanya dengan tawa meremehkan..Aku mengibaskan tangan."Aduh mana sempat aku menabung ke bank segala Mal. Aku sibuk sekali, apalagi kalau
"Coba ibu tanya KTP suami Mbak Mala kalau kesini. Pasti tidak ada. Itu kan syarat untuk rental mobil,""Kamu kenapa seperti itu Gung? Sakit hati karena pernah ditolak Mala?" godaku.Agung salah tingkah. Di usianya yang sudah dua puluh lima tahun, ia memang belum menikah."Ah enggak. Dunia juga tidak akan runtuh hanya gara-gara si Mala," kilahnya.Aku hanya tertawa kecil."Sudah Gung. Kamu temani bapak di depan. Kamu itu laki-laki kok suka nya ke dapur,""Biarin lah bu. Tidak ada ya bantu Mbak Airin. Biar Agung saja,"Aku tersenyum kecil kepada adik kesayanganku ini. Memang aku yang paling dekat denganya, juga karena usia kami juga tidak terpaut jauh. "Rin, benar apa kata Mbak Yanti tadi. Lebih baik si Agha itu suruh cari kerja lain saja. Walaupun ijazah SMP, setidaknya penghasilanya pasti begitu." lanjut ibu lagi.Sebenarnya ada rasa tidak enak dalam hati, selalu ibu mengulik tentang profesi suamiku."Tetapi sejauh ini alhamdulillah hidup kami masih cukup bu,""Kamu itu susah dibilan
Apalagi aku ragu dengan keaslian emas yang dipakai Mala. Rasa-rasanya emas aslipun tidak mengkilat seperti itu warnanya."Bos itu ya seperti suaminya Mala, Rin. Punya showroom mobil terkenal," kata bapak."Emang bapak pernah lihat showrom nya? Airin saja tidak mengenalnya. Zaman sekarang banyak lho pak yang pura-pura kaya. Ngakunya punya mobil. Eh ternyata mobil rentalan. Ups," ucapku setengah tertawa sembari menutup mulut.Mala menjebik ke arahku. Sukurin. "Kenapa Airin menganggap Mas Agha itu bos? Karena sekecil apapun usahanya dia tetap owner. Kita tidak pernah tau kehidupan kedepanya. Ingat tidak kisah tentang Bob Sadino? Ah pasti Mala nggak tau. Di sekolah tidur saja sih," lanjutku penuh keyakinan.Agung yang melihat dari jauh tampak mengisyaratkan jempolnya padaku, yang aku balas dengan senyuman kecil."Halah percuma pintar. Sekarang apa?" jawab Mala dengan mengangankat bahu dan senyum sinis seolah meremehkanku."Setiap masa ada fasenya. Memang saat ini aku tidak berlimpah mate
"Jangan dimakan," teriak ku lantang.Semua menoleh ke arahku dengan tatapan heran. Aku mengambil satu hotdog dari tangan bapak. Lalu menunjukan ke semua orang."Lihat ini berjamur. Jangan dikonsumsi pak. Nanti justru sakit," cegahku.Mbak Yanti mengambil alih hotdog itu dari tangan ku. Ia juga tampak menelitinya."Tidak apa-apa ini. Usus manusia sudah kebal Rin makan seperti ini. Lagipula kapan lagi ada seorang anak yang mengerti membawa sesuatu untuk orang tua saat berkunjung," ujar nya seraya melirik ke arahku.Aku menunduk. Aku sadar ucapan Mbak Yanti adalah sindiran untuk ku. Aku memang tidak membawa tentengan tas ataupun oleh - oleh, Tapi tanpa mereka tahu aku menyelipkan uang kepada bapak dan ibu, walau jumlahnya tidak seberapa. Apa dengan cara yang ku lakukan, aku harus melakukanya kembali di depan kedua kakak ku. Aku tidak suka pribadi yang berlebih untuk dipamerkan. Biarlah ini menjadi rahasia ku dan Allah. Entah bapak dan ibu tidak menceritakan pada Mbak Yanti dan Mbak Devi
Semua diam. Biasanya aku diam saat dihina, saat dibedakan. Tetapi kali ini rasa sesak sudah memenuhi rongga dada. Aku sakit, menjadi perbandingan bahkan dengan orang lain. Apa yang terlihat indah, belum tentu akan selalu indah bukan?Suami ku seorang tukang cilok yang membuat mereka menganggapku berbeda adalah sosok laki-laki yang baik di kirim Allah untuk ku. Qodarulloh selama pernikahanku dengan Mas Agha, belum pernah sekalipun air mata ku menetes karenanya."Sudah, sudah. Bapak tidak mau selepas pulang dari sini kalian bermusuhan. Ayo minta maaf," perintah bapak dengan tegas.Kami pun saling bersalaman. Tetapi entah ada rasa tulus dari dalam hati atau tidak. Makan siang yang kami lewatkan juga terasa hambar dan dingin sebelum kedua kakak ku berpamit untuk pulang dulu."Jangan semua selalu kamu ambil hati, Rin. Pasti ada pembelajaranya juga," ujar bapak."Pembelajararan apa pak? Pembelajaran kalau Airin harus bisa seperti Mala?"Bapak menyedot rokok kreteknya dalam-dalam."Kamu adi
Bang Agha menyandarkan diri di tembok dengan lemas. Berkali - kali ia mengucap istigfar. Tetapi ia sadar harus segera pulang. Sepahit apapun istrinya harus tau kenyataanya."Bang, kok balik lagi? Ada yang ketinggalan?"Bang Agha tidak menjawab, justru ia bersimpuh di kaki ku sembari menangis. Aku yang masih belum mengerti apa-apa, kaget sekaligus bingung."Berdiri bang. Jangan seperti ini. Aku istrimu. Tidak pantas rasanya,"Aku dudukan Bang Agha pada kursi."Kenapa Bang? Ada apa?" tanyaku cemas."Kita tertipu dik. Orderan kemarin itu fiktif. Orangnya sudah pindah,"Kini berganti aku yang menyandarkan diri pada kursi. Kenapa tega melakukan ini pada pedagang kecil seperti kami yang untungnya juga tidak seberapa."Semua kontak abang diblokir dik,""Abang masih menyimpan nomornya ?"Bang Agha mengangguk, lalu menyerahlan ponselnya padaku. Segera aku save nomor nya di handphone ku. Dalam akun di aplikasi hijau hanya ada foto profil gambar kartun. Dan kini aku mencoba menghubungi nya. Cen