Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani.
Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jemarinya yang lentik, suaranya kian melembut membuat Budi merinding tak karuan. "Saya senang bisa membantu. Oh ya pak, saya dengar... Ibu sedang di luar, ya?" Budi sedikit bergeser dengan panik, segera ia menarik tangannya dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Pandangannya ia alihkan pada jendela ruangan. "A-ahaha, iya..." Tak ingin Budi mengabaikannya, Diana menarik dasi Budi dan membuat lelaki itu menatap dirinya. "Bapak kenapa? Kok keringetan begitu? Bapak sakit?" Diana bergerak semakin mendekat. Tangan kanannya menyentuh kening Budi, sedangkan tangan kirinya kini berada di paha lelaki itu. "D-Diana... Tolong sedikit menjauh dari saya," mendengar Budi yang sepertinya sudah mulai terpancing olehnya, Diana tersenyum tipis dan semakin mendekat pada lelaki itu. "Tapi pak, bapak kayanya panas dingin begini... Coba dikendurin sedikit ini dasinya, ah tidak, dibuka saja sedikit ya di bagian atas kemejanya, supaya bisa lebih lega," celoteh Diana seraya membuka kancing kemeja Budi satu persatu mulai dari atas. Tak peduli meskipun Budi menolak, perempuan itu tetap membuka kancing kemejanya. "Tuh kan panas gini pak," ucap Diana setelah menyentuh dada Budi. Seakan tak bisa lagi menahan godaan wanita cantik di hadapannya, serta nafsu yang kini mulai memuncak, Budi menarik pinggang ramping Diana dan membiarkan perempuan itu duduk di pangkuannya. Ia menatap Diana lekat-lekat lalu mulai memanfaatkan kesempatan dengan mulai mengelus paha perempuan itu. "Kamu yang sedari tadi terus mencoba menggoda saya, jadi sekarang kamu harus bertanggungjawab karena sudah membuat saya jadi seperti ini, Diana." "A-apa maksudnya, pak??" Ucap Diana seakan tak mengerti. Ia menarik rambutnya ke samping, membuat leher putihnya kini terlihat lebih menarik bagi Budi. ".. Kamu pasti mengerti maksud saya." Tak menolak, Diana menerima apapun yang Budi lakukan padanya setelahnya. Hari berganti menjadi sore, Sarah yang baru saja pulang dari hang out bersama teman-temannya kini duduk di sofa, mematikan ponselnya setelah membaca pesan yang mengatakan jika ibunya menginap di tempat temannya hari ini. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa lalu menghela napas lelah sebelum akhirnya melirik pada ruang kerja ayahnya yang tertutup. Merasa mendengar suatu suara yang begitu kecil, Sarah berdiri dan berjalan menuju ruang kerja ayahnya. Sesampainya di depan pintu, Sarah mengetuk pintu dan memanggil ayahnya. "Sarah?! O-oh iya sayang, sebentar!" Sahut Budi terdengar panik. Sarah menempelkan kupingnya pada pintu dan mendengarkan suara ayah yang terasa sangat kecil dari dalam ruangan. "Ayo cepat dirapikan dulu." Sarah mengernyitkan keningnya, merasa curiga dengan apa yang terjadi di dalam sana. Jujur saja, ia sudah menaruh curiga sejak beberapa hari ini pada sekretaris baru ayahnya. Tak lama pintu terbuka, memperlihatkan sosok Budi yang tersenyum canggung menatap putrinya. "Kenapa, Sarah?" Sarah melirik ke dalam ruangan, lebih tepatnya pada sekretaris ayahnya, Diana. "Kok gitu nanyanya? Ga suka aku ganggu ayah lagi sama Diana?" Tanya Sarah dengan ketus. ".. Kok kamu ngomongnya gitu sih, Sarah?" "Emang bener, kan?" Cecar Sarah. "Diana kan cuma bantuin kerjaan di kantor. Ini wajar, Sarah." elak Budi. "Alah, udahlah. Pokoknya aku ga mau ya kalau hubungan ayah sama sekretaris itu melebihi hubungan antara atasan dan karyawan! Jangan sampe ayah ngulangin kesalahan ayah yang dulu dulu! Paham?! Aku sekarang mau keluar, males liat muka sekretaris nyebelin itu!" Hardik Sarah seraya melangkah keluar dari rumah, meninggalkan Budi yang masih nampak linglung di depan pintu. Setelah kurang lebih 15 menit perjalanan menggunakan taksi online, Sarah tiba di cafe langganannya. Kepalanya terasa pusing tujuh keliling memikirkan berbagai masalah hidupnya. Rencana kuliahnya yang belum disetujui ayah karena perusahaan sedang dalam masa pemulihan, lelaki tampan dan kaya raya yang seharusnya bisa menjadi suaminya justru menikah dengan kakaknya, dan kini memikirkan kedekatan ayahnya dengan sekretaris barunya, apa yang terjadi jika ibunya mengetahui hal itu. Sarah memejamkan matanya, memijat pelipisnya sembari berulang kali menghela napas lelah. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa seseorang, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka."Dokter, istri saya?? Istri saya ga papa, kan??" Saka hampir berlari mendekati dokter, bertanya dengan penuh harap.Dokter itu mengangguk pelan, lalu memberikan senyuman tipis. "Syukurlah operasi berjalan dengan lancar. Luka tusukan ibu sangat dalam, namun kami berhasil mengatasi semuanya. Ibu sekarang sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat intensif. Namun, karena anestesi dan kondisi tubuhnya yang masih lemah, ibu mungkin akan membutuhkan waktu untuk sepenuhnya sadar."Meski rasa cemas belum sepenuhnya menghilang, Saka dan Nico menghela napas lega, merasa akhirnya semua akan baik-baik saja. "Terima kasih, Dokter. Tolong pastikan istri saya baik-baik saja.""Tenang, kami akan terus memantau kondisi pasien. Yang terpenting adalah ibu sudah melewati masa kritis. Sebentar lagi ibu akan dibawa menuju ruang rawat intensif, dan bapak sudah boleh untuk membesuk ibu," jawab dokter itu sambil memberi anggukan, lalu berjalan pergi.Setelah menunggu sebentar, Saka kembali memandang Arum yang baru
Nico tiba di hadapan Saka, wajahnya panik menatap kondisi Arum yang tak baik-baik saja. "Kamu cari orang yang udah berani nusuk istri saya, Nic! Dia lari ke arah sana!" Titah Saka seraya menunjuk arah lari pelaku. Segera, Nico mengangguk dan berlari ke arah yang Saka tunjuk.Saka mengangkat tubuh Arum yang terhuyung lemah dan berlari menuju jalan utama. Ia berlari menuju kumpulan taksi yang menunggu pelanggan, lalu segera masuk ke dalam salah satu taksi."Rumah sakit, cepet!" teriaknya panik.Di dalam taksi, Saka menggenggam tangan Arum yang semakin dingin dengan cemas, ia tak tahu harus berbuat apa. Semua perasaan takut, khawatir, dan panik bercampur menjadi satu ketika memandang wajah Arum yang semakin pucat.Sesampainya di rumah sakit, Saka segera membawa Arum menuju ruang gawat darurat. Dengan napasnya yang masih terengah-engah, Saka berdiri di luar ruangan dengan wajah penuh kecemasan. Lelaki itu berjalan mondar-mandir sembari sesekali melirik ke arah pintu ruangan dengan cemas.
Saka menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum simpul, tak habis pikir dengan tingkah Sarah yang jauh berbeda dengan kakaknya, Arum. Sudah beberapa hari ini, Sarah terus-menerus mengirim pesan padanya, berharap bisa bertemu lagi, berharap bisa melanjutkan apa yang sudah mereka mulai. Senyum itu perlahan memudar, tergantikan tatapan datar yang saat ini tengah menatap layar ponsel. Perasaannya mulai lelah dengan permainan ini. Di layar itu, tertera nama Sarah yang tercatat di daftar kontaknya. Dengan mantap, jari-jarinya bergerak, dengan sekali ketukan ia memblokir nomor Sarah.Ponsel di tangannya kini terasa lebih ringan, seolah sebuah beban telah hilang begitu saja. Saka menghela napas, menatap layar ponselnya yang gelap. Tidak ada lagi pesan masuk dari Sarah yang mengganggu. Pandangan Saka kini tertuju pada Arum yang terbangun, perempuan itu mengucek matanya lalu menguap dengan tangan yang menutupi mulutnya. Matanya yang masih setengah terbuka melirik ke arah Saka dan terseny
"Tuan..." Rengek Arum, suaranya bergetar bercampur dengan isak tangis. Ia maju perlahan dan kembali memeluk Saka.Ketika kembali memeluk Saka, Arum mengeratkan pelukannya dan menangis lebih keras, menumpahkan semuanya di pelukan yang terasa hangat itu. Tak seperti sebelumnya, Saka kini benar-benar diam membatu. Merasa canggung dengan situasi saat ini, namun ia tak tahu harus bereaksi seperti apa pada Arum yang terlihat sangat rapuh malam ini. Dalam diam, Saka berusaha menenangkan dirinya, meski sebenarnya hatinya pun tengah bergejolak. Ada perasaan bersalah yang entah mengapa tiba-tiba muncul. Ia benci untuk mengakui jika hatinya mulai terasa sesak saat melihat Arum terisak di pelukannya.Dengan ragu, tangan Saka naik perlahan untuk membalas pelukan Arum. Saka memejamkan matanya, mengusap lembut puncak kepala Arum agar perempuan itu merasa sedikit lebih baik."Udah, jangan nangis..." Suara Saka terkesan kaku, namun ada kehangatan yang tersembunyi di balik kata-kata itu.Saka melepask
Budi melangkah masuk ke kantor SkyLine Group dengan langkah lunglai, merasa bingung dan putus asa dengan apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Belum selesai soal data kantor yang tiba-tiba rusak, ditambah harus kalah tender dengan menantunya sendiri, Saka Rama Sadewa. Untuk yang kesekian kalinya, ia menghela napas panjang sebagai efek dari isi kepalanya yang berkecamuk.Begitu kaki kanan dan kirinya melangkah memasuki area lobi, entah mengapa suasana terasa berbeda baginya. Ada sesuatu yang terasa aneh. Beberapa karyawan yang biasa menyapanya dengan ramah malah terlihat berbisik-bisik sesaat setelah matanya bertemu dengan mereka. Budi merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun ia mencoba untuk menahan diri, berusaha fokus pada pekerjaan yang harus segera ia selesaikan.Namun, semakin ia melangkah menuju ruang kerjanya, semakin terasa ada yang ganjil. Beberapa karyawan bahkan meliriknya dengan tatapan yang sulit ia artikan. Mereka berbicara satu sama lain, lalu segera diam ketik
Arum yang tengah sibuk membereskan dapur menoleh ketika mendengar suara tawa kecil Saka dari arah belakangnya.“Saya ga nyangka, keluarga kamu emang se mata duitan itu, ya?” ejek Saka. “Maksudnya?” Tanya Arum tak mengerti. “Kamu ga tau, atau pura-pura ga tau? Adanya kamu di sini kan juga karena uang, mereka butuh uang buat manjain adik kamu yang manja itu.” Saka tersenyum puas melihat wajah Arum yang mulai kesal. “Orang tua kamu tadi nemuin saya, mereka minta uang. Menurut kamu, saya kasih ga?” Saka maju beberapa langkah mendekati Arum, ingin perempuan itu menebak. “Kalau memang menurut tuan itu ga penting, ga usah dikasih.” Arum melenggang melewati Saka, namun lelaki itu mencengkeram lengannya, membuat keduanya kini bertatapan. “Kalau aja waktu itu mereka tau, yang akan dinikahkan dengan putri mereka adalah saya, saya yakin mereka akan memberikan Sarah untuk jadi pengantin saya. Makanya saya sengaja mengatakan kalau perjodohan itu untuk istri kedua papah saya. Dan lihat, kamu dibu
Saka berlari dengan napas terengah-engah, matanya kini penuh kekhawatiran. Nico yang berada di sampingnya, juga tak kalah panik, menggenggam ponsel di tangan dan masih mencoba untuk menghubungi Arum. Keduanya sudah berputar-putar di taman yang gelap, mencari-cari keberadaan Arum yang kini terasa hilang."Kok bisa dia dateng ke tempat yang sepi begini! Cari masalah aja bisanya!" Omel Saka di tengah langkahnya."Tenang, Sa! Kita Arum pelan-pelan, jangan panik dulu!" Ucap Nico, ada rasa cemas dari nada bicaranya.Mereka terus berlari, menyusuri jalan setapak yang hampir tak terlihat, hanya diterangi lampu jalan yang remang. Suara dedaunan yang bergesekan dengan angin semakin terdengar menakutkan. Di kejauhan, mereka mendengar suara teriakan."Itu... Arum!" Ucap Nico, membuat Saka mengangguk setuju. Tak menunggu lama, keduanya kembali berlari dan mempercepat laju lari mereka.Di sisi lain, Arum yang masih berlari sesekali menengok ke belakang, melihat sosok gelap yang terus mengejarnya. T
Pagi ini, langit tampak begitu cerah, suasana pagi terasa begitu sejuk menenangkan hati. Namun, berbeda dengan perasaan Arum yang kini justru sedang mendung. Suasana hatinya masih tak kunjung membaik sejak kejadian Saka dan Sarah.Arum keluar dari gudang setelah selesai bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Namun sebelum berangkat, ia melangkahkan kakinya terlebih dahulu ke dapur untuk meminum segelas air. Matanya melirik ke arah Saka yang berlari ke arah dapur dengan panik, dengan setelan kantornya yang sedikit berantakan."Kamu ga masak?" Tanya Saka setelah sampai di hadapan Arum. Lelaki itu tengah berusaha mengatur deru napasnya sedikit terengah-engah.".. Engga," balas Arum masih saja ketus."Susu? Bahkan kamu ga bikinin saya susu?" Tanya Saka dengan keningnya yang mengerut, ada sedikit rasa kesal yang mulai terasa.Melihat Arum menggelengkan kepalanya, Saka menghela napas kesal lalu mengetuk-ngetuk meja dapur. "Yaudah air mana air? Cepet ambilin saya air!" Saka sedikit memelototi
"Hai, Nico!" Sapa Arum pada Nico yang sudah menunggunya di depan mobil, seperti biasa."Hai! Gimana hari ini? Ngebul ga kepalanya? Haha!" Ledek Nico yang mengetahui jika hari ini Arum mendapat kuis pada salah satu mata kuliah."Ngebul! Bisa ajak aku makan sesuatu yang manis, ga?" Mendengar itu Nico menatap Langit, berpikir sejenak."Hmm... Cokelat, brownies, donat, puding, ice cream, kue tart, macaron?" Tanya Nico berusaha menyebutkan semua makanan manis yang ia ketahui."Brownies sama es krim!" Sahut Arum dengan senyum yang mengembang."Oke, kita beli di toko kue langganan Saka aja, di sana juga ada jual ice cream, nanti aku ajak muter-muter dulu deh sebelum pulang, biar fresh lagi," tutur Nico seraya tersenyum, senang rasanya melihat Arum tersenyum seperti itu.Setelah mendapatkan anggukan persetujuan dari Arum, keduanya masuk ke dalam mobil dan segera melaju menuju toko kue yang selalu menjadi pilihan jika Saka sedang ingin makan brownies, camilan favoritnya.Mobil sampai di depan