Share

6. Kegundahan Hati Kenward

"Ken, Kakek ingin bicara sebentar!" titah Tuan Abimana. 

Kenward yang sedang sibuk melamun di kursi taman segera menggeser posisi duduknya. 

Laki-laki tua dengan rambut putih tersisir rapi itu duduk di samping cucunya. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan. 

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Kenward mengembuskan napas kasar. Menurutnya, tanpa diberitahu pun, laki-laki yang tengah duduk di sampingnya pasti akan mengerti. 

"Bagaimana soal Shafira? Apa kalian sudah mengenal satu sama lain?"

"Belum."

Tuan Abimana mengangguk pelan. Dia mengerti akan kondisi mereka saat ini. Bagaimana tidak, menikah tanpa ada persiapan dan juga hati Kenward masih belum bisa menerima. 

Menikah adalah perjalanan yang panjang dan akan ada badai yang bisa saja terjadi. Mereka harus siap akan itu. Tuan Abimana pun tahu, hanya saja, baginya dia sangat yakin Kenward dan Shafira bisa melewati itu. 

"Maafkan kakek." Kenward menoleh. 

"Kenapa harus aku, Kek? Apa tidak ada cara lain selain menikahkan kami?" tanya Kenward dengan suara sedikit tertahan. Sebisa mungkin dia menahan agar amarahnya tidak meluap.

Tuan Abimana tetap memandang lurus tanpa mau membalas tatapan Kenward. 

"Suatu saat nanti kamu akan tahu alasan Kakek yang sebenarnya. Saat ini, patuhilah permintaan Kakek. 

Kenward mendecih kesal. Rahangnya mengeras. Ingin membantah, namun, rasa sayang dan hormatnya mengalahkan segalanya. 

"Kakek tahu, Clara masih menjadi penghuni hatimu dan tidak akan ada yang bisa menggantikan dia."

Kenward membisu. Dia lebih memilih mendengar ucapan Tuan Abimana. 

"Namun, apa salahnya menghadirkan sosok yang baru?"

"Apakah pernikahan adalah hal yang sangat mudah bagi Kakek, seperti halnya Kakek mudah menggantikan posisi Oma Rianna?"

Tuan Abimana tertunduk dalam saat cucunya menyebut nama Rianna-wanita yang sangat dia cintai-. Tangannya mulai menggenggam erat tongkat kayu yang selama ini dia bawa ke mana-mana. 

"Kata orang, aku adalah satu-satunya keturunan Kakek yang hampir sepenuhnya memiliki kesamaan bahkan kemiripan. Aku adalah cerminan sosok Tuan Abimana Guinandra di waktu muda. Mereka bahkan mengatakan Kakek sudah mewariskan semua itu padaku."

Kenward berhenti sejenak. Ucapannya tercekat, dia tidak sanggup untuk melanjutkan. Untuk mengatakannya saja, dia harus memiliki sedikit kekuatan. 

"Lalu, apa aku harus jadi pewaris tunggal sosok Tuan Abimana yang tega meninggalkan istrinya di saat sudah berjaya lalu menghadirkan sosok Nirina?" 

Tuan Abimana menatap tajam cucunya. Matanya memerah. Ada kristal bening di sudut mata rentanya. 

"Kakek tidak pernah menduakan Oma Rianna, Kenward!"

"Aku tahu semuanya, Kek!"

"Kamu hanya mendengar kisah itu dari satu pihak. Suatu saat nanti kamu akan tahu dan mengerti kenapa ada Oma Nirina di antara kami."

Kenward memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin tersulut emosi saat ini. Baginya, masa lalu tidak perlu diungkit lagi. 

Kristal bening itu akhirnya jatuh juga. Tangan rentanya mulai menghapus jejak yang ditinggalkan. 

"Oma Rianna adalah wanita yang sangat Kakek cintai. Menghadirkan Nirina adalah sebuah kesalahan yang terbesar di dalam hidupku. Kakek saat itu terlalu gegabah dalam membuat keputusan."

"Termasuk gegabah dengan menikahkan aku dengan Shafira," potong Kenward. 

Tuan Abimana beranjak kemudian menatap mata cucu sulungnya. 

"Kelak kamu akan menyadari bahwa menikahkan kalian adalah bukan sebuah kesalahan besar."

"Maksud, Kakek?

Tuan Abimana meninggalkan Kenward yang dilanda kebingungan. Pernyataan Tuan Abimana seolah menjadi teka-teki besar baginya. 

'Siapa Shafira yang sebenarnya? Kenapa Kakek sepertinya mengistimewakan gadis itu?'

*

"Kamu dari mana saja?" tanya Shafira lembut kala Kenward muncul di balik pintu kamar. 

"Aku sudah menyiapkan itu untuk kamu pakai."

Kenward menoleh ke arah ranjang busa miliknya. Di sana sudah tertata rapi kemeja putih tulang dan sebuah sarung. 

Alis Kenward menyatu. Dia tidak mengerti hal aneh apa yang dilakukan gadis yang ada di depannya. 

"Ini hari Jum'at, aku bingung memilihkan yang pas untukmu. Di dalam lemari tidak ada satupun kemeja koko atau jubah yang bisa kamu pakai untuk salat. Jadi, aku inisiatif meminta tolong ke—"

"Aku tidak pernah melakukan itu!" potong Kenward secara tegas. 

Mata indah Shafira sedikit melebar mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh sosok laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya. 

Sebisa mungkin Shafira menyembunyikan keterkejutannya lalu kembali menguasai diri. 

"K-kenapa?" tanya Shafira ragu. 

"Aku tekankan sekali lagi. Aku tidak pernah melakukan ibadah itu bahkan semua laki-laki di keluarga ini tidak pernah melakukannya!"

Diam-diam Shafira bersitigfar dalam hati. Dia sadar, cobaan baru telah menyambutnya. 

Selama ini dia menginginkan sosok suami yang paham akan agama Allah. Siap membimbingnya hingga ke surga bersama. Namun, kenyataan kembali menyadarkannya. Dia harus mengubur dalam keinginannya itu. 

"Salat itu kewajiban. Itu adalah bentuk syukur kita atas nikmat yang Allah berikan. Sebagai seorang hamba, kita harus menyadari bahwa kita lahir di dunia ini tanpa membawa harta sedikitpun. Kita lahir dalam keadaan tidak membawa apa-apa termasuk kain yang menutup aurat. Lantas, kenapa kita tidak bersyukur atas itu semua?"

"Berhenti menceramahiku, Shafira!"

"Aku tidak sedang mengguruimu. Namun, sebagai sesama muslim dan .... istrimu, aku berkewajiban untuk mengingatkan kamu."

Kenward menatap Shafira. Tatapannya begitu tajam. 

"Shafira Aqila, kembali aku peringatkan bahwa kamu bukanlah istriku. Hubungan kita hanya sebuah status. Kamu lupa?".

Shafira terdiam. Dia tidak menyangka Kenward masih membahas itu semua. 

"Ingat batasan, Shafira!"

Bulir bening lolos begitu saja tanpa permisi di wajah cantiknya. Tatapan mereka beradu. 

Kenward lebih dulu memutuskan kontak mata mereka kemudian beranjak meninggalkan Shafira yang terduduk lemas di pinggiran ranjang. 

"Allah kuatkan aku," lirihnya. 

Kenward melangkah lebar kembali menuju taman. Pikirannya sangat kacau saat ini. 

Tangannya memungut kerikil lalu melemparkan ke dalam kolam yang berisi ikan -ikan peliharaan Tuan Abimana. 

Dia tidak bisa memungkiri bahwa air mata Shafira yang jatuh membuatnya ikut terluka. 

*

"Baca ini!"

Kenward menyodorkan sebuah kertas putih pada Shafira. Perlahan Shafira meraih kertas yang ternyata tidak kosong. 

"Apa ini?"

"Baca lalu tandatangani di atas materai itu."

Shafira mengikuti arahan Kenward. Dibacanya sebuah huruf kapital dengan ukuran besar dan juga tebal. 

Alisnya mengerut. "Surat perjanjian?"

Kenward mengangguk. Kembali Shafira membaca tiap point yang tertera di atas kertas putih itu. 

Sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa keduanya tidak akan pernah saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Mereka tidak akan pernah melakukan sesuatu layaknya sepasang suami istri. 

Tangan Shafira gemetar saat membaca point terakhir. Pernikahan mereka akan berakhir sesaat setelah Tuan Abimana meninggal dunia.

Deg. Jantung Shafira seolah ikut berhenti. Perlahan kepalanya terangkat. Dia menatap Kenward dengan penuh luka. 

"Sebenci itukah kamu padaku?" tanya Shafira dengan suara gemetar. 

"Aku tidak pernah membencimu. Hanya saja, aku tidak ingin melukai kamu lebih jauh. Setujui saja perjanjian itu dan semua akan baik-baik saja."

Shafira menggeleng lemah. "Aku tidak akan pernah melakukannya."

"Kamu harus melakukannya. Ingat, Shafira, kamu ada di sini karena ulah keluargamu. Kamu adalah jaminan atas kelakuan mereka."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status