"Ken, Kakek ingin bicara sebentar!" titah Tuan Abimana.
Kenward yang sedang sibuk melamun di kursi taman segera menggeser posisi duduknya.
Laki-laki tua dengan rambut putih tersisir rapi itu duduk di samping cucunya. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Kenward mengembuskan napas kasar. Menurutnya, tanpa diberitahu pun, laki-laki yang tengah duduk di sampingnya pasti akan mengerti.
"Bagaimana soal Shafira? Apa kalian sudah mengenal satu sama lain?"
"Belum."
Tuan Abimana mengangguk pelan. Dia mengerti akan kondisi mereka saat ini. Bagaimana tidak, menikah tanpa ada persiapan dan juga hati Kenward masih belum bisa menerima.
Menikah adalah perjalanan yang panjang dan akan ada badai yang bisa saja terjadi. Mereka harus siap akan itu. Tuan Abimana pun tahu, hanya saja, baginya dia sangat yakin Kenward dan Shafira bisa melewati itu.
"Maafkan kakek." Kenward menoleh.
"Kenapa harus aku, Kek? Apa tidak ada cara lain selain menikahkan kami?" tanya Kenward dengan suara sedikit tertahan. Sebisa mungkin dia menahan agar amarahnya tidak meluap.
Tuan Abimana tetap memandang lurus tanpa mau membalas tatapan Kenward.
"Suatu saat nanti kamu akan tahu alasan Kakek yang sebenarnya. Saat ini, patuhilah permintaan Kakek.
Kenward mendecih kesal. Rahangnya mengeras. Ingin membantah, namun, rasa sayang dan hormatnya mengalahkan segalanya.
"Kakek tahu, Clara masih menjadi penghuni hatimu dan tidak akan ada yang bisa menggantikan dia."
Kenward membisu. Dia lebih memilih mendengar ucapan Tuan Abimana.
"Namun, apa salahnya menghadirkan sosok yang baru?"
"Apakah pernikahan adalah hal yang sangat mudah bagi Kakek, seperti halnya Kakek mudah menggantikan posisi Oma Rianna?"
Tuan Abimana tertunduk dalam saat cucunya menyebut nama Rianna-wanita yang sangat dia cintai-. Tangannya mulai menggenggam erat tongkat kayu yang selama ini dia bawa ke mana-mana.
"Kata orang, aku adalah satu-satunya keturunan Kakek yang hampir sepenuhnya memiliki kesamaan bahkan kemiripan. Aku adalah cerminan sosok Tuan Abimana Guinandra di waktu muda. Mereka bahkan mengatakan Kakek sudah mewariskan semua itu padaku."
Kenward berhenti sejenak. Ucapannya tercekat, dia tidak sanggup untuk melanjutkan. Untuk mengatakannya saja, dia harus memiliki sedikit kekuatan.
"Lalu, apa aku harus jadi pewaris tunggal sosok Tuan Abimana yang tega meninggalkan istrinya di saat sudah berjaya lalu menghadirkan sosok Nirina?"
Tuan Abimana menatap tajam cucunya. Matanya memerah. Ada kristal bening di sudut mata rentanya.
"Kakek tidak pernah menduakan Oma Rianna, Kenward!"
"Aku tahu semuanya, Kek!"
"Kamu hanya mendengar kisah itu dari satu pihak. Suatu saat nanti kamu akan tahu dan mengerti kenapa ada Oma Nirina di antara kami."
Kenward memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin tersulut emosi saat ini. Baginya, masa lalu tidak perlu diungkit lagi.
Kristal bening itu akhirnya jatuh juga. Tangan rentanya mulai menghapus jejak yang ditinggalkan.
"Oma Rianna adalah wanita yang sangat Kakek cintai. Menghadirkan Nirina adalah sebuah kesalahan yang terbesar di dalam hidupku. Kakek saat itu terlalu gegabah dalam membuat keputusan."
"Termasuk gegabah dengan menikahkan aku dengan Shafira," potong Kenward.
Tuan Abimana beranjak kemudian menatap mata cucu sulungnya.
"Kelak kamu akan menyadari bahwa menikahkan kalian adalah bukan sebuah kesalahan besar."
"Maksud, Kakek?
Tuan Abimana meninggalkan Kenward yang dilanda kebingungan. Pernyataan Tuan Abimana seolah menjadi teka-teki besar baginya.
'Siapa Shafira yang sebenarnya? Kenapa Kakek sepertinya mengistimewakan gadis itu?'
*
"Kamu dari mana saja?" tanya Shafira lembut kala Kenward muncul di balik pintu kamar.
"Aku sudah menyiapkan itu untuk kamu pakai."
Kenward menoleh ke arah ranjang busa miliknya. Di sana sudah tertata rapi kemeja putih tulang dan sebuah sarung.
Alis Kenward menyatu. Dia tidak mengerti hal aneh apa yang dilakukan gadis yang ada di depannya.
"Ini hari Jum'at, aku bingung memilihkan yang pas untukmu. Di dalam lemari tidak ada satupun kemeja koko atau jubah yang bisa kamu pakai untuk salat. Jadi, aku inisiatif meminta tolong ke—"
"Aku tidak pernah melakukan itu!" potong Kenward secara tegas.
Mata indah Shafira sedikit melebar mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh sosok laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya.
Sebisa mungkin Shafira menyembunyikan keterkejutannya lalu kembali menguasai diri.
"K-kenapa?" tanya Shafira ragu.
"Aku tekankan sekali lagi. Aku tidak pernah melakukan ibadah itu bahkan semua laki-laki di keluarga ini tidak pernah melakukannya!"
Diam-diam Shafira bersitigfar dalam hati. Dia sadar, cobaan baru telah menyambutnya.
Selama ini dia menginginkan sosok suami yang paham akan agama Allah. Siap membimbingnya hingga ke surga bersama. Namun, kenyataan kembali menyadarkannya. Dia harus mengubur dalam keinginannya itu.
"Salat itu kewajiban. Itu adalah bentuk syukur kita atas nikmat yang Allah berikan. Sebagai seorang hamba, kita harus menyadari bahwa kita lahir di dunia ini tanpa membawa harta sedikitpun. Kita lahir dalam keadaan tidak membawa apa-apa termasuk kain yang menutup aurat. Lantas, kenapa kita tidak bersyukur atas itu semua?"
"Berhenti menceramahiku, Shafira!"
"Aku tidak sedang mengguruimu. Namun, sebagai sesama muslim dan .... istrimu, aku berkewajiban untuk mengingatkan kamu."
Kenward menatap Shafira. Tatapannya begitu tajam.
"Shafira Aqila, kembali aku peringatkan bahwa kamu bukanlah istriku. Hubungan kita hanya sebuah status. Kamu lupa?".
Shafira terdiam. Dia tidak menyangka Kenward masih membahas itu semua.
"Ingat batasan, Shafira!"
Bulir bening lolos begitu saja tanpa permisi di wajah cantiknya. Tatapan mereka beradu.
Kenward lebih dulu memutuskan kontak mata mereka kemudian beranjak meninggalkan Shafira yang terduduk lemas di pinggiran ranjang.
"Allah kuatkan aku," lirihnya.
Kenward melangkah lebar kembali menuju taman. Pikirannya sangat kacau saat ini.
Tangannya memungut kerikil lalu melemparkan ke dalam kolam yang berisi ikan -ikan peliharaan Tuan Abimana.
Dia tidak bisa memungkiri bahwa air mata Shafira yang jatuh membuatnya ikut terluka.
*
"Baca ini!"Kenward menyodorkan sebuah kertas putih pada Shafira. Perlahan Shafira meraih kertas yang ternyata tidak kosong.
"Apa ini?"
"Baca lalu tandatangani di atas materai itu."
Shafira mengikuti arahan Kenward. Dibacanya sebuah huruf kapital dengan ukuran besar dan juga tebal.
Alisnya mengerut. "Surat perjanjian?"
Kenward mengangguk. Kembali Shafira membaca tiap point yang tertera di atas kertas putih itu.
Sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa keduanya tidak akan pernah saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Mereka tidak akan pernah melakukan sesuatu layaknya sepasang suami istri.
Tangan Shafira gemetar saat membaca point terakhir. Pernikahan mereka akan berakhir sesaat setelah Tuan Abimana meninggal dunia.
Deg. Jantung Shafira seolah ikut berhenti. Perlahan kepalanya terangkat. Dia menatap Kenward dengan penuh luka.
"Sebenci itukah kamu padaku?" tanya Shafira dengan suara gemetar.
"Aku tidak pernah membencimu. Hanya saja, aku tidak ingin melukai kamu lebih jauh. Setujui saja perjanjian itu dan semua akan baik-baik saja."
Shafira menggeleng lemah. "Aku tidak akan pernah melakukannya."
"Kamu harus melakukannya. Ingat, Shafira, kamu ada di sini karena ulah keluargamu. Kamu adalah jaminan atas kelakuan mereka."
"Diminum kopinya, Pak!" Hermawan yang sibuk melamun tidak mengindahkan tawaran istrinya. Nirmala yang menyadari itu sedikit kesal. Semenjak Shafira menikah dengan cucu Tuan Abimana, Hermawan terus saja melamun seolah semangatnya ikut menghilang. "Bapak!" tegur Nirmala. "Urus saja kehidupanmu, Nirmala!""Ya sudah! Bapak berubah banyak."Hermawan memejamkan matanya sejenak. Dia berusaha menetralkan perasaan yang sudah menggebu. "Bu, aku hanya merindukan putriku. Aku mengkhawatirkan dia. Tolong, tinggalkan aku sendiri.""Pak, buat apa khawatir? Ibu yakin dia sedang menikmati kekayaan suaminya. Kamu lupa siapa Tuan Kenward?""Jangan menyamakan putriku dengan kalian! Dia anakku. Aku tahu bagaimana sifatnya. Tidak seperti kalian yang melakukan segala cara demi mendapatkan harta yang banyak. Termasuk menjual putriku," sinis Hermawan. Nirmala tertawa mendengar umpatan suaminya. Dia tidak menyangka Hermawan bisa berubah seperti ini. Selama ini dia sudah berusaha keras merebut hati Herma
"Kedatangan kami ke sini untuk berpamitan pada Bapak dan Ibu, rencana besok saya ingin membawa Shafira ke Kota."Hermawan menoleh ke arah putrinya. Tatapannya begitu sendu. "Shafira harus ikut ke mana pun suamiku pergi, Pak," lirih Shafira seolah tahu arti tatapan sendu ayahnya. "Aduh, Bapak, tidak usah berlebihan seperti itu. Biarkan Shafira diboyong oleh suaminya. Lagian, Shafira pasti akan mengunjungi kita lagi," celetuk Nirmala. Hermawan mengalihkan pandangan pada menantunya. Kedua laki-laki dewasa itu saling melempar pandangan. "Tolong, jaga putriku. Dia adalah hartaku yang sangat berharga," pesan Hermawan layaknya seorang ayah pada menantu laki-lakinya. "Aku pasti akan menjaga dia, Pak."Shafira menoleh ke arah Ken. Ada desiran halus yang dia rasakan saat ini. Jantungnya mulai berpacu dengan cepat.Janji yang diucapkan oleh Ken pada Hermawan seperti angin sejuk bagi Shafira. Bibirnya mengulas senyum indah. Nirmala dan Amira yang menyaksikan itu semua tersenyum sinis. "Shaf
"Ingat, Shafira, jangan pernah merendah di depan mereka!""Kenapa?""Tidak perlu bertanya lagi. Kamu sudah lihat sendiri sikap mereka kan? Dia memperlakukan kamu seperti kuman yang harus disingkirkan."Shafira tertunduk dalam. Kalimat yang dilontarkan Ken sangat menusuk ke dalam relung hatinya. Ken menyadari perubahan raut wajah Shafira, segera dia menjelaskan maksud ucapannya. "Maaf kalau ucapanku membuatmu terluka. Satu hal yang harus kamu tahu, keluarga Agatha memang semena-mena dan tidak ragu untuk menindas orang yang tidak dia sukainya.""Kalau begitu, kenapa kalian membawaku ke sini?""Shafira, kamu saat ini adalah menantu keluarga Albern. Kami ingin kamu juga diakui di keluarga besar Guinandra. Status kamu adalah sah."Shafira tersenyum hambar. Apa yang dikatakan oleh Ken adalah benar. Sesuai apa yang dikatakan oleh Papa Albern. Namun, Shafira tidak ingin mudah luluh mengingat ucapan Ken di malam pertama mereka. "Ken, apa kamu lupa dengan apa yang kamu katakan di malam perta
"Kita mau ke mana?" tanya Shafira polos saat mereka tengah berada di dalam mobil. "Ikut saja!""Apa Gio berbahaya?"Ken menggeleng. "Gio tidak seperti keluarga Agatha lainnya."Shafira terdiam. Dia masih ingin bertanya mengapa Ken seolah membatasi dirinya dengan Gio.Ken mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Pandangannya lurus ke depan. Tidak ada suara yang muncul di antara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Di tempat yang berbeda Gio masih merenung di tempatnya. Gadis yang dia temui secara tidak sengaja di desa kini ada di depan matanya. Sayangnya, semua telah usai. Gadis itu kini menjadi milik orang lain. "Ah, andai saja aku ikuti kemauan Papa, mungkin aku yang membersamainya saat ini."*"Kalian dari mana saja?" tanya Tuan Abimana saat Ken dan Shafira tiba di rumah setelah dua jam berlalu. "Cari angin, Kek," jawab Ken seadanya.Shafira juga tidak mengerti apa yang dirasakan oleh suaminya. Selama dua jam kepergian mereka, tidak ada sepatah kata pun yang
"Ma, sudah tiga hari Si gadis kampung itu ada di sini. Kenapa kita masih diam saja?" protes Alice pada Sonia. "Kita harus sabar, Sayang. Ingat, bukan hanya Kenward yang menjadi penghalang kita. Tapi, Gio pun ikut-ikutan sekarang.""Jadi, apa kita harus diam saja, Ma?"Senyum licik terukir di wajah Sonia. "Kamu tenang saja, Sayang. Malam ini kita permalukan dia di meja makan. Lakukan secara bertahap. Kita harus main cantik."Kedua tertawa keras seolah yakin akan kejahatan mereka. Tanpa mereka sadari sepasang mata telah mengetahui rencana mereka. *"Mbak Anita," panggil seseorang. Kepala pelayan yang bernama Anita menoleh. Tampak pelayan termuda di kediaman Tuan Abimana."Ada apa?"Vera menoleh ke samping kiri dan kanan. Matanya sibuk mengawasi keadaan sekitar. Dia kemudian menarik pelan tangan Anita-Kepala pelayan yang sudah berusia riga puluh tahun- itu ke tempat sepi. "Ada apa, Ver?"Anita sedikit merasa kesal. Sejak tadi Vera hanya diam sedangkan matanya sibuk mengawasi segala
"Tidak semua masalah dihadapi dengan amarah, Ken," ucap Shafira pada Ken yang tengah duduk bersandar di sofa kamarnya.Ken pun merasa tidak yakin dengan apa yang dia lakukan barusan. Selama ini dia terlalu tak acuh dengan sesuatu yang menurutnya tidak penting. Namun, kali ini berbeda, emosinya tersulut saat melihat kaki Shafira hampir terluka. Shafira pun bingung dengan sikap Ken. Dia merasa apa yang dilakukan Ken berbanding terbalik dengan sikap dinginnya saat mereka tengah berdua. 'Aku tidak tahu, Ken, yang kamu lakukan barusan tadi adalah murni khawatir atau hanya kamuflase semata,' batin Shafira. "Tinggalkan aku sendiri, Shafira," usir Ken dengan suara berat. Tanpa bertanya lagi, Shafira kemudian berdiri dan mencoba untuk memberi ruang bagi Ken. Saat Shafira baru saja hendak menutup pintu, Ken bergumam yang terdengar jelas dan tentu saja membuatnya terluka. "Clara, aku butuh kamu, Sayang." Tangannya memegang kuat gagang pintu. Shafira tidak bisa menampik bahwa ada nyeri saa
"Kamu yakin mau membawaku?" tanya Shafira saat keduanya kini berada di dalam mobil. "Kenapa?"Shafira menunduk. Dia sungguh malu saat ini. Pikirannya sibuk menmbayangkan bagaimana jika Ken benar-benar membawanya ikut serta. Tentu saja dia hanya akan menjadi bahan tertawaan. Ken mengembuskan napas kasar. Bukan tampilan Shafira yang kumuh, hanya saja itu dari sudut pandang yang jauh berbeda. Alice seorang model dan tentu saja gaya berpakaiannya tentu mengikuti perkembangan zaman. Namun, dia Shafira, gadis yang memang lebih nyaman tampil sederhana. "Apapun yang terjadi kamu harus ikut denganku!" tegas Ken. Kenward kemudian menyalakan mesin dan meninggalkan halaman rumah yang bernuansa Eropa klasik itu. Sepanjang perjalanan, Shafira dilanda kekhawatiran yang teramat sangat. Dia gugup bahkan ingin menangis. Hal itu tentu saja tidak luput dari pandangan Ken. Mobil melaju semakin jauh. Shafira semakin dilanda cemas yang berlebih. Dia takut, jika kehadirannya akan berdampak buruk pada
"Bagaimana, Ken, apa semua berjalan lancar?" tanya Tuan Albern. "Iya, Pa."Saat ini mereka tengah duduk di ruang tengah. Tuan Abimana sedang di lapangan meninjau lokasi ditemani oleh Gio dan Tuan Agatha. Biasanya Ken yang akan mengambil alih. Namun, kali ini Tuan Abimana meminta Ken untuk pulang lebih dulu bersama Shafira. "Kamu harus menjaga Shafira, Ken. Sepertinya keluarga Agatha tidak menyukai kehadirannya. Papa khawatir mereka akan melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan.""Iya, Pa. Ken mau istirahat dulu." Ken beranjak menuju ke lantai dua, kamarnya. Hari ini cukup melelahkan baginya. Beruntungnya kehadiran Shafira tidak membuatnya merasa malu. Apa yang dikatakan oleh Alice dan Sonia jelas tidak terbukti. Ken sudah mempersiapkan semuanya dan dia tidak ingin mempermalukan Shafira di acara penting itu. Senyumnya terukir saat mengingat bagaimana Shafira sepanjang jalan menuju kantor memikirkan nasibnya. Padahal dengan memakai pakaian biasa saja Shafira sudah terlihat manis