"Jika aku hanyalah orang lain di matamu, hubungan kita hanyalah status belaka, kenapa kamu mau menggantikan posisi Tuan Abimana?"
Ken mengalihkan pandangan. Dia sebenarnya tidak tega melihat butiran hangat itu terus mengalir.
"Aku kasihan. Hanya itu."
Ken meninggalkan Shafira yang berdiri mematung di tempatnya. Dia mengambil selimut dan dua bantal di dalam lemari berukuran besar kemudian memilih tidur di sofa yang terletak di ujung kamarnya.
Tubuh Shafira luruh seketika. Dia kini sadar bahwa ujian akan lebih berat ke depannya.
Di tempat yang berbeda, Hermawan tidak berhenti menangisi kelemahannya. Akibat perbuatannya, kini putri yang sangat dia sayangi harus menanggungnya.
"Maafkan, aku, Salwa, aku sudah ingkar."
"Bang, saat aku tidak ada nanti, tolong jaga putri kita. Jangan biarkan dia menderita," ucap Salwa saat dia merasa tubuhnya semakin melemah.
Ucapan mendiang istrinya terus terngiang. Pundaknya berguncang. Dia benar-benar ingkar akan janjinya lada Salwa dulu.
"Sudah malam, Pak, masuk tidur!"
Hermawan masih memilih duduk di teras. Udara dingin di malam hari tidak dia hiraukan lagi. Pikirannya hanya tertuju pada Shafira.
"Bu, kira-kira putri kita sedang apa ya di sana?" lirih Hermawan. Tatapannya lurus ke depan seolah tengah menunggu kedatangan seseorang.
Mata Nirmala mendelik malas. Lagi dan lagi suaminya masih merasa bersalah.
"Pak, kenapa sih harus terus memikirikan Shafira?"
"Dia putriku. Tentu saja aku khawatir."
Nirmala terbahak-bahak. Hermawan menatap istrinya dengan sorot mata tajam.
"Tidak usah terlalu berlebihan mengkhawatirkan Shafira. Ibu yakin, dia sedang menikmati sebagai nyonya di rumah megah itu. Paling dia sedang bahagia di sana dan pasti sudah melupakan kita di sini."
"Putriku tidak seperti itu," geram Hermawan.
Nirmala melipat kedua tangannya di depan dada. Sudut bibirnya terangkat.
"Yakin? Semua akan berubah setelah dikelilingi oleh uang," ucap Nirmala dengan nada sinis.
"Lebih baik kamu masuk ke dalam."
Nirmala mengangkat kedua bahunya kemudian melenggang pergi meninggalkan Hermawan yang sangat merindukan putrinya.
*
"T-tuan, adzan subuh sudah berkumandang," ucap Shafira yang tengah berusaha membangunkan laki-laki yang beberapa jam lalu menjadi suaminya.Shafira bingung harus memanggil Kenward dengan sebutan apa. Terpaksa dia memanggilnya dengan sebutan Tuan karena Kenward memang Tuan Muda di rumah ini.
Kenward tidak juga terbangun dari tidurnya. Tangannya ragu menyentuh pundak lebar milik suaminya. Untuk kali pertama dia harus melakukan itu. Tangannya gemetar hebat.
"Tuan .... Bangunlah!"
Tubuh Kenward bergerak. Tangannya menggenggam erat kedua jari milik Shafira.
"Sayang, aku masih mengantuk," ucap Kenward dengan suara parau.
Deg.
Jantung Shafira seakan berhenti sejenak kala mendengar panggilan Kenward untuknya. Dia sangat tidak menyangka lelaki dingin yang baru beberapa jam yang lalu menegaskannya soal hubungan mereka kini berubah begitu manis.
"T-tapi, i .... ni sudah subuh. Saatnya untuk—"
Belum juga Shafira menyelesaikan ucapannya, Kenward menarik tubuh mungil Shafira ke dalam pelukannya.
Matanya masih terpejam erat. Kedua sudut bibirnya terangkat.
"Ayolah, Sayang, aku rindu. Sangat rindu," bisik Kenward mesra tepat di telinga Shafira.
Wajah Shafira berubah menjadi merah merona. Dentuman dari dalam semakin kuat.
Kenward mengeratkan pelukannya seolah tidak ingin melepas Shafira.
"Tetaplah seperti ini. Aku ingin seperti ini." Shafira mengangguk. Senyum terbit di wajah cantiknya.
Kenward dengan mata yang masih terpejam mendaratkan kecupan hangat di kening Shafira. Mendapat perlakuan manis deperti itu membuat Shafira seakan terbang melayang.
"Aku mencintaimu, Clara."
Senyum yang sejak tadi terukir mendadak berubah. Hatinya berhasil dipatahkan oleh suaminya sendiri.
*
"Ken, istrimu di mana?" tanya Tuan Abimana saat mereka tengah sarapan."Dia ada di kamar."
"Panggil Shafira untuk ikut sarapan bersama!" titah Tuan Abimana pada salah satu pelayan di rumahnya.
Pelayan wanita yang kisaran usia 30 tahun itu segera beranjak menuju lantai dua.
"Nyonya!"
Shafira yang tengah duduk di tepian ranjang segera menghampiri pelayan itu.
"Nyonya dipanggil Tuan Abimana untuk sarapan bersama."
"Jangan panggil aku 'Nyonya', panggil Shafira saja," tegur Shafira lembut.
"Maaf, Nyonya, saya tidak bisa."
Pelayan itu segera pamit setelah meminta izin lebih dulu.
Berat kakinya untuk melangkah. Bentakan dari Ken membuatnya takut untuk bertemu.
Shafira ingat betul saat Ken menyadari siapa yang tengah berada di pelukannya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?!"
Shafira spontan terbangun saat Ken mendorong tubuhnya.
Sorot matanya tajam. Ken sangat tidak suka ada orang lain yang berada di sisinya. Apalagi sangat dekat.
"Aku .... Bukan aku yang melakukannya."
Shafira kemudian menceritakan apa yang terjadi di waktu subuh tadi. Ken mengalihkan pandangannya.
"Mulai sekarang, jangan pernah membangunkanku," ucapnya datar.
Air mata Shafira jatuh kala mengingat kejadian tadi subuh. Entah apa alasan Tuan Abimana, padahal dia lebih memilih menjadi pembantu dibandingkan menjadi pengganti mendiang istri Ken. Itu sangat menyakitkan.
Hidup bersama sosok yang berhati dingin dan berwajah datar. Shafira akui tidak akan mudah menggantikan sosok Clara di hati Ken. Namun, jika bukan demi menebus Ayahnya, dia tidak akan pernah menuruti kemauan Tuan Abimana.
"Bismillah."
Shafira menghapus jejak.air matanya kemudian memutuskan untuk ikut bergabung dengan keluarga barunya.
Langkahnya seolah memberat terlebih matanta menangkap sosok Ken yang ikut bergabung di meja makan.
"Kemarilah, Nak, ikut sarapan bersama kami!"
Tuan Albern yang sejak tadi menikmati sarapannya ikut menoleh seraya mengulas senyum pada menantunya.
Shafira bingung untuk memilih duduk di mana. Melihat kebingungan Shafira Tuan Abimana mempersilahkannya duduk di samping Ken.
"Mulai besok, kamu yang melayani suamimu. Untuk urusan yang lain biar para pelayan yang melakukan. Belajarlah untuk menjadi istri yang berbakti pada suami. Bisa?"
"B-bisa, Tuan."
"Kamu menantu di sini. Panggil saya 'kakek', begitupun dengan Albern, panggil dia 'papa' seperti Ken yang memanggil kami."
Shafira hanya bisa mengangguk. Tuan Abimana kemudian mempersilahkan Shafira untuk segera menyantap sarapan yang telah disediakan.
*
"Bagaimana dengan kalian? Baik-baik saja kan?" tanya Albern."Baik, Pa," jawab Ken malas.
Albern tahu soal perasaan putranya saat ini. Dia sangat tidak menginginkan pernikahan ini. Namun, apa yang dikatakan Ayahnya benar. Ken harus belajar membuka hati pada wanita lain.
Tuan Abimana sudah lama mengenal sosok Shafira dan terus mengamatinya selama ini. Dia sangat yakin Shafira pantas untuk cucunya.
Dari dulu dia ingin membebaskan Shafira dari jerat Ibu tirinya. Terlebih saat mengajukan syarat, Nirmala justru menjual gadis itu padanya.
"Dia sekarang istrimu. Perlakukan dia selayaknya."
"Bagiku ini hanya pernikahan palsu, Pa. Sampai kapanpun, Clara tidak akan terganti," tegas Ken.
"Jangan egois, Ken. Clara sudah lama tiada. Wajar kalau Kakekmu menginginkan kamu sebagai cucunya untuk segera menikah."
"Tapi, aku tidak mencintainya, Pa."
"Lalu, kenapa kamu justru menentang keras Shafira menjadi pengantin kakekmu?"
"Aku hanya kasihan. Itu saja. Dia masih muda, masa depannya sangat panjang. Dia punya mimpi. Aku hanya ingin menyelamatkannya dari kejahatan keluarga Agatha nantinya."
"Pa, kamu tahu kan, bagaimana terlukanya aku saat Clara meninggal? Dia cinta sejatiku, Pa, dan tidak akan ada yang bisa menggantikannya termasuk Shafira."
Shafira menggigit bibirnya, menahan luka yang begitu dalam saat tidak sengaja mendengar penuturan Ken.
"Aku minta maaf, Shafira. Aku tahu ini sangat susah tapi beri aku satu kesempatan. Ini permintaan terakhirku. Aku ingin hidup tenang."Alice hendak bersujud di kakinya akan tetapi Shafira menolak."Jangan pernah merendahkan dirimu pada manusia, Alice. Merendahlah pada Tuhanmu saja."Shafira membantu Alice untuk bangkit dan menatap matanya dalam."Aku memaafkanmu."Alice menangis dan memeluk Shafira. Untuk pertama kalinya mereka melakukan itu. Alice menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Shafira. Dia sekarang tenang. Shafira melepas pelukannya dan menghapus jejak mata Alice. "Kamu adalah adikku, Alice." "Jika aku meminta satu permintaan, apa kamu mau mengabulkannya?""Apa itu?""Aku ingin menghadap pada Tuhanku dengan cara yang baik. Aku ingin shalat, berpakaian muslimah dan makan bersamamu.""Masya Allah, aku akan melakukannya."Shafira kemudian kembali memeluk Alice. Mereka sama-sama menangis saat ini. Dia kemudian menuntun Alice berwudhu kemudian shalat ashar bersama. Berhubung
"Sebenarnya aku merasa takut untuk menghadiri sidang akhir ini, Ken. Aku tidak sanggup mendengar keputusan haki. Itu lah sebabnya selama persidangan aku memilih untuk ridak menghadirinya.""Papa, Mama dan adikku sendiri ada di sana. Aku benar-benar tidak sanggup."Tuan Albern menepuk pelan pundak Gio untuk memberinya kekuatan.Hari ini adalah jadwal pembacaan keputusan sidang. Semua keluarga turut hadir kecuali Keano. Suasana sidang mulai ramai. Saat para terdakwa masuk, suasana jembali gaduh. Kenward terus menggenggam tangan Shafira untuk memberinya kekuatan. "Sidang pembacaan keputusan akan dimulai. Silahkan para hadirin untuk diam sejenak dan kami harapkan tidak ada keributan agar proses sudang berjalan dengan lancar."Suasana kembali hening. Ketua hakim kemudian membagikan tiga rangkap bacaan putusan pengadilan atas hukumannyang akan dijatuhkan pada ketiga terdakwa."Silakan, terdakwa atas nama Agatha Abimana Guinandra untuk berdiri!"Tuan Agataha berdiri menghadap ke arah haki
"Aku ingin bertemu dengan Pak Adam.""Dia sedangan ada rapat, Pak. Apa sudah ada janji sebelumnya?" tanya wanita yang diduga sekretarisnya."Iya," jawab Haris sengaja berbohong. "Baik, Pak. Silahkan menunggu sebentar. Rapat sebentar lagi selesai."Terima kasih."Haris memilih duduk di sofa ruang tunggu sambil memikirkan strategi yang akan digunakan nantinya. Haris sejak dulu membenci Eliezer. Dia adalah dua pengacara hebat yang saling bersaing satu sama lain. "Aku harus bisa mengalahkan Eliezer," gumamnya. Dua puluh menit berlalu. Haris spontan berdiri saat melihat Pak Adam keluar dari ruang rapat. Dia berjakan menghampiri hakim ketua yang diprediksi berusia lima puluh tahun itu."Siang, Pak Adam.""Selamat siang, Pak Haris. Apa kita ada janji temu sebelumnya?"Haris mengurai senyum. "Ada hal penting yang ingin saya sampaikan, Pak.""Soal?""Ah, ini rahasia dan baiknya kita bicara berdua."Pak Adam mulai menaruh curiga. Terlebih dia tahu sosok yang ada di depannya saat ini."Baik
"Bagaimana, Tuan Agatha, hari ini pembacaan tuntutan jaksa. Apa Anda siap?""Bagaimana jika tuntutan itu berat?""Kami mendengar bahwa tuntutan jaksa tentang pembunuhan berencana itu seumur hidup. Bagaimana tanggapan Anda?"Banyak pertanyaan dari awak media yang membuat kepala Tuan Agatha semakin pusing. Dia lebih memilih tertunduk dalam.Hal yang sama ditanyakan saat Alice dan Nyonya Sonia masuk ke ruangan persidangan. Keduanya memilih menunduk dalam. Pembacaan tuntutan jaksa dimulai. Tuan Agatha lebih dulu duduk di kursi terdakwa. "Silahkan saudara Agatha Abimana Giinandra untuk berdiri!"Tuan Agatha yang memakai kemeja putih dan celana kain berwarna hitam berdiri. "Berdasarkan keputusan sesuai dengan isi pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang menyebutkan bahwa 'Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencama ( moord ), dengan pidana mati, atau penjara seumur hidup atau selama waktu ter
"Keputusan akan cepat diproses karena mereka tidak ada perlawanan, Tuan.""Baguslah. Kalau begitu tinggal pembacaan tuntutan jaksa lalu akan ada pembacaan pembelaan tersangka ataa tuntutan jaksa atau pledoi jika mereka keberatan."Tuan Albern dan Ken terdiam. Prosesnya dibilang cukup panjang. Di luar sana media seakan berlomba-komba untuk memberitakan ini semua. Bukan karena kasusnya akan tetapi ornag yang saat ini menjadi tersangka utamanya. Keluarga Agatha adalah orang yang cukup terpandang. Melihat keadaan seperti ini tentu saja media mengincar setiap pergerakan yang dilakukan oleh Keluarga Guinnadra. "Awak media masih terus menunggu di luar, Pa.""Kita hadapi saja."Mereka bertiga melangkah keluar. Puluhan awak media langsung mwndatangi mereka."Bagaimana kelanjutannya, Pak?""Pak, apa benar hanya denndam pribadi?""Pak, lalu bagaimana keadaan korban saat ini?""Pak, bagaimana status tersangka Alice saat ini?"Berbagai pertanyaan beruntun datang menghampiri. Mereka sedikit kewa
"Bagaimana keadaan kalian?""Aku baik-baik saja, Gio."Shafira memperhatikan wajah sendu Gio yang tidak peenah ditampakkan selama ini. Matanya beralih pada jendela rumah sakit yang berhadapan langsung dengan taman bermain anak-anak. Raline, Keano dan kedua putrinya bermain di sana sedangkan Shafira dan Gio berada di dalam kamar Keano. "Apa yang kamu pikirkan, Gio?""Mereka sudah membawa papa dan mama. Rasanya menyakitkan ....""Maksudnya?""Polisi sudah menemukan barang bukti kejahatan mereka selama ini yang mereka sembunyikan. Keluargaku dikenakan pasal berlapis atas tindakan kriminal yang dilakukannya."Shafira mengembuskan napas berat. Rasa nyeri dan sesak menjalar ke seluruh rongga dadanya. Ingatannya kembali pada sikap keluarga Agatha padanya dulu. Shafira berasa hidup di penjara. Mereka terus melakukan segala cara untuk melenyapkan Shafira termasuk putranya. "Aku tahu selama ini keluargaku sudah sangat melewati batas. Ingin menghentikan mereka justru aku yang dijadikan kambi