"Kamu akan tetap disini." Mas Daniel menahan tanganku dengan raut wajah yang tegas. Membuatku yang hampir saja menarik langkah, tapi tetap bertahan ditempat yang rasanya tak pantas buatku.
"Karen, berhentilah mengolok-olok apalagi mengejek dia, karena dia itu... Istriku!"
Aku mendongak menatap Mas Daniel yang tengah berbicara pada si rambut pirang. Ada yang berdesir di dadaku ketika akhirnya, Mas Daniel mau mengakui status aku sebagai istri didepan gadis sombong itu.
Ya ampun, kok jadi pengen joget-joget kayak film India,"Kau ... Jadikan aku ... Wanita yang kau pilih..."
Romantis banget sih, serasa jadi wanita wanita yang di film Korea menyelamatkan pujaan hati nya.
Tapi nggak mungkin lah aku melakukan hal kayak gitu, yang ada malah dikatain norak, kampungan!
"Apa? Kamu seriusan suka sama bocah kampungan itu, Daniel?" Muka si banaspati, eh, salah, muka Karen berubah jadi semerah tomat busuk pas mendengar pengakuan Mas Daniel.
Mas Daniel diam, tak mengiyakan juga tak menampik. Tapi buat aku, sih, itu udah lebih dari cukup.
Bukan cuma wajahnya yang Semerah tomat, mata biru ala-ala bule pun kayak mau copot waktu mencibir suamiku yang emang super ganteng ini.
"Bahkan seujung kuku pun dia nggak ada apa-apa nya dibanding Lita, kok bisa-bisanya sih?" Dia bersedekap sambil memalingkan muka. Masih kayak nggak percaya gitu, kalau akhirnya Mas Daniel mengakui aku sebagai istri nya.
"Please, nggak usah bahas Lita lagi. Hubungan aku sama dia udah berakhir."
Gadis yang menyebalkan itu ternyata bernama Karen menatap tajam wajah Mas Daniel sebelum menarik langkahku dengan gusar. Menjauhi kami yang ternyata masih bergandengan tangan dari tadi tanpa kami sadari.
"Ayok, kita duduk disebelah sana." Mas Daniel menunjukkan sebuah meja yang jaraknya tak begitu jauh dari pendopo kecil di restoran ini.
Kami pun duduk dan tak menunggu waktu yang lama, makanan pembuka atau appetizer pun datang. Ada lumpia, bakwan, batagor, serabi dan dimsum. Semua di sajikan dengan porsi mini.
Aku pun mengambil lumpia dan serabi, sementara Mas Daniel memilih dimsum.
"Makasih." Aku berucap setelah serabi lolos ke perut.
"Buat apa?"
"Karena sudah membelaku."
"Kapan?" Mas Daniel sedang mencocol dimsum pada saos, mendongak kepadaku.
"Waktu di depan Karen tadi, ish!"
Parah! ganteng-ganteng amnesia akut!
"Oh....."
Oh saja?
"Itu sudah menjadi tugasku!"
Ucapan Mas Daniel ini beneran buat aku makin deg-degan.
"Aku cuma nggak mau kamu pulang dengan keadaan seperti tadi."
Senyum yang hampir ku ukir, aku pending.
"Jadi...."
"Papa pasti marah." Balasnya pelan tapi nggak mengenak kan sekali jawabannya.
Ya ampun, pamrih sekali ternyata Mas Daniel.
Aku mengerucutkan bibir karena kesal. Setelah selesai dengan makanan pembuka, berbagai hidangan makanan aneh yang membuatku tak begitu selera saat melihat nya, datang kemudian.
Ih, makanan jenis apa, sih, kayak gitu bentuknya? yang makanan pembuka tadi masih mending. Lah ini?
"Kamu kenapa?"
Aku menggeleng pelan.
"Ayo makan!" Mas Daniel memerintah melalui tatapan mata.
"Aku nggak bisa makan makanan aneh kayak gini, Mas!"
"Aneh kamu bilang? ini cuma steak ayam barbeque." Dia menunjukkan ayam tepung yang yang ada saus nya bikin aku ragu rasanya enak apa nggak.
Aku mencebik kecil.
"Pulang dari sini aku mau beli ayam geprek yang dijalan."
Mas Daniel menghela napas kasar. Kayaknya dia lagi kesal banget sama aku. Biarin ajalah! Pening kalau dipikir-pikir.
Sebuah tawa pelan terdengar dari meja yang tak begitu jauh dari tempat ku dan Mas Daniel duduk.
Lelaki dengan kemeja warna navy menoleh kepadaku saat aku bersungut-sungut kesal, membuat suamiku geram setengah mati.
"Hah...dia, ya ampun! Dia kan... " Aku berucap lirih sambil mengingat-ingat saat menyadari wajah itu tidak terlalu asing bagiku.
Aku menggeleng pelan.
"Perasaan waktu belanja nggak pernah pakai baju keren begitu? Biasa tampil urakan malah, ini kok rapi bener?" Aku menggumam pelan saat pelan-pelan bisa mengingat siapa laki-laki yang duduk di sebrang sana.
Kira-kira dia siapa ya? Begitu mengusik sekali dipikiran Putri?
Aku berpikir keras siapa yang memperhatikanku dari jauh, wajahnya tak asing bagiku. Hmmm
"Oh...udah potong rambut juga dia." Aku kembali mengguman lirih saat menyadari dia yang selama ini tampil dengan gaya urakan, tampil rapi dengan rambut cepak.
"Mirip... Nicholas Saputra."
"Putri, please jangan mengigau!"
Aku terkesiap saat Mas Daniel menegurku tiba-tiba.
"Aku nggak lagi ngigau, ish!"
Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan berjalan kepadaku.
"Pantesan nggak pernah kelihatan di indo*m*ret simpang empat, rupanya udah jadi nyonya sekarang. Keren ya kamu."
Pemuda itu yang biasanya tampil urakan berucap setengah berbisik saat sedikit membungkukkan badan di sampingku. Membuat ku terdiam kaku. Wangi parfum mint yang maskulin yang dia pakai memanjangkan indera penciuman ku.
"Padahal yang bikin aku semangat belanja disana itu kamu, loh?"
Aku membelalakkan mata mendengar ucapannya yang entah basa-basi atau serius, aku tidak begitu paham dari kata-kata nya.
Terlihat Mas Daniel mengetatkan rahang nya ketika pemuda yang biasanya jadi pelanggan di minimarket tempat aku bekerja dulu, terus berbisik di telinga ku.
"Tolong menjauh sedikit darinya, dia istri ku!"Mas Daniel bangkit dan memperingatkan dengan suara lantang, membuat lelaki yang membungkukkan badan di sampingku, menoleh.
Ya ampun, katanya aku harus jaga sikap disini. Tapi, kok malah Mas Daniel yang berbuat norak?
Ngapain harus teriak-teriak begitu sih, orang Nicholas Saputra KW ini juga nggak ngapa-ngapain aku.
Cuma bisik-bisik doang, bukan bisik-bisik tetangga. Ihh... Mas Daniel nggak asik banget, dasar suami ini maunya apa sih? Bingung aku tuh.
"Oh... Maaf,benarkah dia istri mu? Kenapa kau terlihat kaku padanya? Apa kalian menikah karena perjodohan?"
Tanpa menunjukkan rasa takut, lelaki yang tak ku ketahui namanya menyahut santai ucapan suamiku. Begitu dia menegakkan badan dan menatap wajah suamiku membuat Mas Daniel terlihat makin menajamkan pandangan.
Cowok ini dukun atau cenayang apa? Kok bisa tau aku sudah menikah sama Mas Daniel karena dijodohkan sama papanya.
"Bukan urusan mu!" Sambar suamiku masih menunjukkan ekspresi wajah tak bersahabat.
Tanpa ku ketahui apa motifnya, lelaki yang dulu kerap datang berbelanja di minimarket tempat dulu aku bekerja sebagai kasir.
"Kalau kira-kira perjodohan ini sangat membebani dirimu, cerita saja dengan ku. Dengan senang hati aku memberikan solusi terbaik bagimu." Lelaki yang berdiri di samping dan tak terlalu jauh dariku, berucap setengah berbisik dengan ku. Tapi aku yakin, masih bisa terdengar baik oleh Mas Daniel.
Terlihat suami ku mengepalkan tangannya. Apa dia sedang marah? Marah buat apa? Apa dia cemburu? Rasanya nggak mungkin deh.
Duh, buang jauh-jauh pikiran aneh itu Putri! Jelas-jelas Mas Daniel itu masih ada rasa sama mantannya. Terkadang aku terlalu percaya diri kalau Mas Daniel menyukai ku.
"Ini kartu namaku."Lelaki yang kini terlihat lebih rapi dibanding sebelum-sebelumnya, meletakkan sebuah kartu nama tepat didepan ku diatas meja.
Aku membeku, tak tahu harus menerima atau menolak nya. Yang bisa aku lakukan hanya menatap kartu nama itu tanpa kata sambil melirik siapa nama asli cowok yang mirip artis Nicholas Saputra KW ini.
"Disini ada, nomor hape aku. Hubungi saja aku kalau kamu butuh teman."
Seolah tak menghiraukan keberadaan Mas Daniel, lelaki ini mengerling nakal padaku yang masih diam membatu.
Bersambung....
"Drama murahan macam apa ini? Berani sekali kau menggoda istriku!" Gigi Mas Daniel bergemeretak dengan wajah yang terlihat semakin garang.Benarkah dia cemburu? Bukan kah dia bilang aku ini sama sekali nggak menarik?Kartu nama itu ku tatap sekilas, dan ternyata namanya Sebastian Gunawan."Aku pernah lihat kamu... Jalan dengan... Lita. Apa kalian sudah putus?" Tanyanya dengan mengejek. "Rasanya... belum ada sebulan ini aku melihat kalian berdua jalan bersama."Jadi laki-laki ini tau tentang Lita? mantan Mas Daniel.Mas Daniel diam. Berarti apa yang diungkapkan lelaki yang baru ku ketahui namanya Bastian ini, betul!"Ayo, Putri. Kita pulang sekarang."Aku menatap ragu Bastian sebelum kartu nama miliknya aku sambar dengan cepat dan aku masukkan kedalam tas jinjing kecil yang aku bawa."See you again." Bastian mengulas senyum sebelum aku dan Mas Daniel benar-benar berlalu jamuan makan malam orang-orang berkelas ini.Jujur s
Tanpa ingin tahunya bagaimana dia berekspresi selangkah, iseng ku simpan nomor ponsel milik cowok gondrong yang kini berambut cepak.Bukan karena aku ke gatalan loh,ya. Jujur, aku sedikit penasaran atas pengetahuan nya tentang hubungan suamiku dan Lita yang katanya masih hangat sekitar sebulan lalu. Lah, bukan kami sudah menikah? Jadi maksudnya Mas Daniel bermain dibelakang ku?Setelah tersimpan, aku mencoba menghubungi nomor kontak lelaki itu."Halo?" Suara Bastian memenuhi rongga telinga saat telepon kami bersambung."Aku butuh teman curhat." Aku menyahut dingin ucapannya."Wow, ini mbak kasir yang di jodohin sama cowok tajir mantan Lita itu kan?" Dari nada bicaranya, Bastian terdengar begitu yakin saat menerka siapa aku."Iya betul.""Ada masalah apa menelepon ku malam-malam begini, mbak kasir?"
“Mas,turunin!” Aku berucap dengan melotot saat menatapnya yang terus memandang lurus ke depan.Mas Daniel cuek dan tetap membopongku sampai ke kamar. Orang yang melihat aksinya saat ini pasti mengira jika kami adalah pasangan serasi yang sedang kasmaran, bahkan dia menggunakan kaki kanannya saat mendorong pintu untuk membuka. Sudah seperti pengantin baru yang sedang dimabuk cinta bukan?Pun saat menutup pintu pasca kami masuk lagi ke kamar, dia pun mendorong dan memastikan pintu tertutup rapat dengan sebelah kakinya.Namun, gayanya yang membopong ala bridal style berakhir ketika kami sudah berdua saja dikamar ini. Tanpa kata-kata, dihempaskan nya tubuhku ke atas ranjang tanpa perasaan.“Aw!” Aku mengaduh sembari memegangi punggung ku. Meski tempat tidur ini empuk, rasanya nggak enak banget lah dihempaskan begitu.“Kasar banget, sih! Jadi cowok!” Aku mengomel kesal padanya yang sesuka hati melempar k
Tampak sekali Mas Daniel tersulut emosi saat aku menyebut nama mantan kekasih yang mungkin saja berhubungan baik dengannya sampai sejauh ini. Apakah tuduhan ku benar. Jujur aku mengakui hatiku, bergemuruh saat mencoba menafsirkan ekspresi wajahnya. "Dan, ingat, kamu sudah punya istri. Jangan memberi celah pada wanita untuk memporak-porandakan nasib pernikahan kalian." Papa mertua terdengar bersuara. Membuat sesuatu yang ada disini terdiam. Pun begitu dengan Mas Daniel, dia terlihat seperti anak baik-baik yang enggan membantah perkataan orang tua. "Kamu perlu ingat satu hal. Kamu sudah mengambil tanggung jawab atas Putri saat mengucapkan ijab Kabul di depan penghulu, Daniel..." "Iya, pa." "Perkara kalian mau pindah kerumah baru atau tetap disini, papa membebaskan. Tergantung Putri saja." Ucapan papa mertua terdengar bijaksana. " Tapi menurut Mama, Putri lebih baik tinggal disini deh pa! Papa tau kan dari dulu Mama pengen
Kata-kata itu terdengar tajam bagai belati yang menusuk dalam sampai ke ulu hati.Ya Rabb, benarkah kesucian ini yang ku jaga selama ini harus terenggut dalam situasi dan kondisi mencekam seperti ini? Keadaan yang bahkan jauh dari kata romantis?Sungguh, bukan dengan jalan seperti ini yang kuinginkan menjadi akhir dari penjagaan kesucian seorang Putri Melani.Dengan napas menderu, mataku yang masih dipenuhi bias kaca, menatap nyalang wajah lelaki yang ternyata tak berperasaan ini.Aku benar-benar tak habis pikir. bagaimana bisa orang tua yang pembawaan lemah lembut dan bijaksana, memiliki penerus seperti laki-laki yang tengah berdiri kaku dihadapan ku.Aku merasakan tulang ku membeku saat matanya menatapku dengan tatapan buas yang mengancam. Persis seperti pemburu yang mengincar sasarannya.“Jangan pernah berharap menyentuhku, apalagi memaksaku! Aku tidak sudi!” aku berteriak lantang saat Mas Daniel terlihat semakin tertarik untu
“Omong kosong katamu? Aku serius! Kalau kamu masih cinta dengan dia kenapa harus menikahi ku?” Aku menatapnya tajam ketika mengolok dirinya yang masih mempertahankan raut wajah yang garang setelah mengintimidasi diriku.Tak menjawab pertanyaan ku, Mas Daniel terdiam untuk berapa saat hingga mencetuskan ide untuk makan siang. Karena memang, kami belum sempat makan sebelum pamit pergi tadi.“Aku lapar. Gimana kalau kita makan sekarang?” ujar Mas Daniel sembari mengusap perutnya.Tak mau berdebat, aku mengangguk pelan sebagai tanda setuju.Pulang dari gerai ponsel di salah satu mall elit di ibukota ini. Kami pun singgah di sebuah restoran khas jepang. Tempat yang rasanya juga menjadi salah satu lokasi favorit suamiku untuk mengisi perut, selain mie ayam langganan hari itu.“Kamu nggak makan?” Mas Daniel bertanya ketika berbagai hidangan tersaji dihadapan kami dan aku sama sekali tak tertarik untuk mengambil salah sa
“Jadi kalian?” Mas Andre dan Mbak Misca kompak menggantung pertanyaan yang sudah aku ketahui kemana arahnya.“Ya, belum terjadi apa-apa diantara kami, dan mungkin… nggak akan terjadi.” Aku membalas datar pertanyaan mereka meski hati bergejolak ingin memuntahkan amarah, dan mengungkapkan betapa hina nya aku dimata Mas Daniel. Namun, aku tahan.Rasanya terlalu kekanak-kanakan jika aku mengungkap secara gamblang perlakuan apa yang aku dapatkan selama menjadi istri seorang Daniel Hadiwijaya.Menanggapi ucapan ku, Mas Daniel terlihat menunjukan raut wajah tegang. Namun, tanpa terduga respon lain ditampilkan oleh Mas Andre dan Mbak Misca.“Relax, dek.” Mbak Misca berjalan mendekatiku. Dengan penuh kelembutan, ibu satu anak ini mengusap punggungku.Diperlakukan seperti ini, justru membuatku terjebak dalam perasaan melankolis.Jujur, aku tersentuh. Setelah kepergian Ibu dan Bapak, usapan lembut dipunggung s
Aku menggeleng cepat. Mencoba mengingkari saat pikiranku terus berkompromi menuduh jika papa mertuaku adalah pria dewasa yang menyebabkan aku menjadi yatim piatu, serta kehilangan saudara di hari yang sama hampir Sembilan tahun.Bukankah papa mertua terlalu baik jika di tuduh sebagai pembunuh? Pikiranku terasa buntu jika harus terus menduga-duga. Namun,bukankah alasan beliau menikahkan aku dengan putranya adalah suatu alasan tak masuk akal?Argh…..!Setelahnya, berulang kali ku ubah posisi tidur, berharap kantuk segera datang dan bayang mengerikan mengerikan itu hilang. Namun, ternyata hasilnya nihil.Ya, seperti biasanya, aku bakal kesulitan untuk dapat memejamkan mata kembali stelah mimpi buruk itu datang. Mimpi yang entah sekian kalinya datang dalam hidupku selalu sukses membuat jantungku berdebar berpacu tiga kali lebih cepat saat bayang silam nan memilukan itu berputar lagi di kepala.“Putri, Dek?” Mbak Misca yang mungkin me