Hanya lima belas menit aku dan Zainab diperbolehkan menjenguk Zahira. Waktu yang terlalu singkat sebenarnya, tapi kami tidak bisa menyangkal karena itu memang untuk kebaikan putri kecilku. Kudorong pelan kursi roda yang diduduki Zainab. Zainab menunduk sangat dalam setelah keluar dari kamar NICU. Aku berjongkok di hadapannya agar bisa melihat wajah cantik yang ditekuk itu. Kuraih jemari Zainab yang saling meremas. Aku tahu kecemasannya."Za, anak kita pasti bisa bertahan." Kukuatkan hati ini dan hatinya dengan kalimat positif. Setelahnya, hanya bisa pasrah pada ketetapan Allah nantinya karena usaha sudah maksimal. Zainab menangis tanpa suara. Hanya air mata yang terus menetes dan membasahi telapak tangan kami. "Kita juga harus kuat, Za. Zahira butuh orang tua yang kuat untuk bisa menguatkannya."Zainab mendongak dan menatapku sayu. Aku pun setengah berdiri, lalu memeluknya dengan hangat. Astagfirullah .... Dada ini terasa sangat sesak menahan rasa pedih saat melihat Zainab menan
"Pak Zaidan gak bisa seenaknya mengundurkan diri. Bapak sudah menandatangani perjanjian kontrak selama satu tahun. Pak Zaidan pasti juga sudah tahu apa prosedurnya jika mengundurkan diri sebelum waktu perjanjian kontrak berakhir, bukan?"Pak Randi tampak tidak menerima surat pengunduran diriku. "Saya sudah tahu konsekuensinya, Pak. Saya akan membayarkan penalti yang sudah menjadi peraturan dalam surat perjanjian kontrak kerja saya.""Apa Pak Zaidan yakin? Itu jumlahnya cukup besar, sementara saya juga tahu kalau Pak Zaidan sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk putri Bapak."Ah, ternyata Pak Randi sudah tahu tentang Zahira. Namun, itu malah dia gunakan untuk membuatku mengubah pikiran. "Maaf, Pak. Saya masih punya tabungan jika hanya untuk biaya rumah sakit anak saya. Saya mengundurkan diri ini juga demi keluarga. Saya tidak ingin keluarga saya semakin hancur karena berita miring tentang saya."Setelah beberapa lama, akhirnya Pak Randi menerima surat pengunduran diriku dan
Setelah kembali dari toilet, aku melihat Zainab sedang berbicara dengan dokter di depan ruang rawat Zahira. Aku pun mendekat dan ikut mendengarkan apa yang dikatakan oleh dokter. Tidak ada perkembangan berarti pada kondisi Zahira, tapi yang terpenting kondisinya tidak menurun. Zainab sudah cukup tegar untuk melihat kondisi putri kami. Tidak ada lagi air mata yang harus terbuang. Dan waktu lima belas menit kami gunakan sebaik mungkin untuk menyalurkan kekuatan lewat sentuhan dan doa untuk Zahira. Kamu pasti segera sembuh, Nak. "Ayo, pulang, Za!" ajakku setelah keluar dari ruang rawat Zahira. Zainab diam, membisu. Dia pun enggan menatapku. Sepertinya, dia marah karena ucapanku. Namun, tindakannya memang salah. Kali ini, aku tidak akan minta maaf. Zainab-lah yang harus minta maaf padaku. "Ayo, pulang!" ajakku lagi. "Saya masih mau di sini menemani anak saya."Astagfirullah ... Lagi-lagi Zainab menyebut dirinya dengan 'saya'. Pasti selalu seperti itu kalau ada yang tidak sesuai deng
Melihat senyum Zahira membuat hatiku yang sempat membara sedikit lebih tenang. Wajahnya yang sangat mirip dengan Zainab terlihat setelah alat bantu napasnya dilepas. Cantik. Sejak dua hari terakhir, jam menjenguk Zahira memang sudah ditambah oleh dokter untukku dan Zainab. Kami diperbolehkan menjenguk tiga kali sehari dengan durasi waktu satu jam. Apalagi, kondisinya yang sudah mulai membaik membuat pengorbanan tidak sia-sia. "Za, Mas mau bicara," ucapku setelah kami keluar dari kamar Zahira. "Bilang aja, Mas. Kok, serius banget, sih?" balasnya dengan senyum. "Sambil makan di kantin, ya. Mas laper.""Memangnya, Mas belum makan siang? Ini sudah hampir Asar, loh.""Tadi, setelah kamu telepon, Mas dipanggil Pak Syamsul. Jadi, belum sempet makan siang.""Ada masalah apa lagi sama Pak Syamsul, Mas?""Gak ada, beliau cuma menanyakan kondisi Zahira."Zainab mengangguk lalu menggamit lenganku. Kami berjalan menuju kantin rumah sakit. Untunglah kalau Zainab percaya dengan alasanku. Aku ma
Pandangan ini tak lepas memandang wajah Zainab yang sedang tertidur dengan pulas. Sekitar pukul satu malam dia baru bisa senyenyak itu setelah Zahira rewel dan tidak lepas dari gendongannya sejak selepas Isya. Berulang kali aku mau mengambil alih Zahira, tapi selalu ditolak. "Mas sudah capek seharian kerja, biar saja Zahira sama aku."Selalu itu yang diucapkannya setiap malam. "Zahira kenapa rewel, Nak? Kasihan Mama, Sayang. Mama kecapekan jagain kamu." Kutimang Zahira dalam gendongan. Hampir saja dia menangis jika aku tidak buru-buru menggendongnya. Alhamdulillah, Zahira anteng setelah diberikan susu dan terpaksa aku tidur dengan posisi duduk sambil menggendong karena Zahira enggan ditidurkan. Mungkin seperti ini kesusahan Zainab setiap hari. Aku terbangun saat mendengar kumandang azan. Sepertinya sudah Subuh. Namun, posisi tidurku tidak seperti semalam dan Zahira tidak ada di gendongan. Aku mengedarkan pandangan dalam kamar ini. Lega setelah melihat Zahira tidur dengan Zainab di
Aku mendapati Zainab sudah tertidur pulas saat keluar dari kamar mandi. Dia pasti lelah setelah hak kami sama-sama tertunaikan. Namun, dia sudah mandi terlebih dahulu sebelum akhirnya terlelap.Kutinggalkan kamar menuju lantai bawah. Bu Padma sudah hampir selesai menyiapkan makan siang untuk kami. Cukup banyak menu makanan yang dihidangkannya. Padahal, hanya aku dan Zainab saja yang akan makan. "Masaknya banyak sekali, Bu," ujarku seraya menghampiri Bu Padma di dapur. Aku mengambil air dingin dari kulkas. "Uang yang Mas Zaidan kasih, banyak. Saya sudah belanja sebanyak ini saja, uangnya masih," tuturnya. Aku tersenyum sekilas. "Kue ulang tahunnya sudah dipesan kan, Bu?""Sudah, Mas Zaidan. Tadi pihak toko kue sudah kasih kabar kalau sedang dalam perjalanan."Meskipun belum mengenal lama dengan Bu Padma, aku bisa nyaman membiarkannya bekerja dan menempati rumah ini. Dia memang rekomendasi dari Pak RT dan majikannya yang lama. Sudah sejak awal menikah mereka ikut dengan majikannya ya
Selepas makan siang, Zainab meminta untuk kembali ke rumah sakit. Meskipun ingin lebih lama punya waktu berdua, aku juga tidak bisa mengabaikan Ibu dan Zahira. Lagi pula, tadi Zainab hanya meninggalkan dua botol ASI untuk Zahira. Takutnya jika putri kecil kami sudah kelaparan lagi. Sesuai instruksi dokter, Zahira memang harus diberi susu khusus bayi prematur, tetapi harus diselingi dengan ASI. Dan setelah dipindahkan dari ruang NICU, Zainab diminta untuk memberikan ASI eksklusif. Zainab kembali tertidur saat perjalanan ke rumah sakit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Sampai di tempat parkir rumah sakit, aku tidak langsung membangunkannya. Melihat wajah damai Zainab saat tidur juga membuat hatiku tenang. Namun, meskipun aku tidak membangunkannya, Zainab malah sudah membuka mata. Seperti ada alarm bawah sadar yang membuatnya terbangun. "Sudah sampai ya, Mas? Kenapa gak bangunin aku? Malah lihatin aku sampe segitunya." Aku kepergok memperhatikannya dari jarak sangat dekat. Namun, aku
PoV ZainabAku sangat bahagia hari ini. Untuk pertama kalinya hari lahirku dirayakan. Dan itu dilakukan oleh laki-laki yang mencintaiku setelah Ayah. Dia, Zaidan Alhakim. Sosok laki-laki yang menjadi imamku dan ayah dari putriku. Bahkan, sepasang gelang kembar untukku dan Zahira diberikannya sebagai hadiah ulang tahunku. Tak. hentinya aku mengulas senyum bersama rasa syukur di hati. Aku sungguh beruntung mendapatkan suami sepertinya meskipun pertemuan kami karena sebuah tragedi. Aku tahu jika Mas Zaidan tidak sengaja melakukannya. Memang aku harus kehilangan Ayah, tapi itu sudah ketetapan Allah yang sudah tertulis tapi di Lauhul Makfuz. Dan aku pun tidak mengira jika akan merasakan kebahagiaan seperti sekarang. Usai makan siang, aku dan Mas Zaidan kembali ke rumah sakit. Aku tidak bisa terlalu lama meninggalkan Zahira dengan Ibu. Beliau pasti kerepotan mengurus Zahira yang dari semalam sedang rewel. Tiba di rumah sakit, aku mendahului Mas Zaidan menuju kamar Zahira. Namun, aku ing