Saat kepercayaan menjadi taruhan, aku tidak bisa lagi berdamai dengan pengkhianatan. Dio sangat pintar mengatur strategi untuk mengambil hati Zainab. Perempuan mungil yang masih terlalu polos--menurutku--pola pikirnya itu mudah sekali tertipu oleh Dio. Bukan salahnya jika menjadi perempuan yang selalu berpikir positif. Hanya saja, orang lain yang lebih jeli untuk menyerang dari dalam saat sudah mendapat kepercayaan. Tiba di rumah sakit, Zainab ditangani dengan cekatan. Aku pun terus mengatakan pada dokter jika Zainab sedang hamil dan tadi terjatuh cukup keras. Aku tidak ingin anakku kenapa-napa lagi. Sudah cukup keteledoranku pada Zahira saja. "Tidak ada yang serius. Istri Bapak hanya terkejut saja. Ibu dan kandungannya baik. Sekarang boleh pulang, tapi harus bedrest tiga hari ke depan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan," tutur sang dokter. Kemudian, memberikan secarik kertas. "Obat dan vitaminnya bisa ditebus di apotek dan tolong dipastikan istrinya meminumnya sesuai atura
PoV ZainabMas Zaidan membawa seorang perempuan berjilbab hitam dengan celana jeans dan kaus lengan panjang. Perempuan yang kutaksir usianya sekitar empat puluh tahunan itu tersenyum ramah ke arahku. Namun, aku tak membalasnya. Entah kenapa, ada rasa tidak suka saat perempuan itu berdiri bersebelahan dengan Mas Zaidan di depan pintu yang baru saja kubuka. Siapa dia? "Kok, bengong? Ini, Mbak Lita ... dia babysitter yang akan bantu kamu jaga Zahira." Babysitter? Ah, Mas Zaidan ... apa-apaan dia! Aku belum menyetujui rencanannya itu, tetapi kenapa dia mengambil keputusan sepihak? Kulandangi sosok perempuan di hadapan dari atas ke bawah, lalu beralih menatap Mas Zaidan dengan sedikit kesal. "Hey, kenapa, Sayang?" Pertanyaan Mas Zaidan membuyarkan spekulasi yang sedang mengisi kepala. "Eh, enggak kenapa-napa, Mas. Silakan masuk Mbak!" Kubuka pintu makin lebar, lalu meninggalkan perempuan itu bersama Mas Zaidan ke dapur. Meskipun ada perasaan tidak suka, aku tetap harus menjamu tamu.
Aku dan Zainab sudah ada di bandara untuk melakukan penerbangan ke Bali. Kami langsung memesan tiket setelah Pak Baharudin datang dan menceritakan tindakan Dio yang akan menjual saham perusahaan konstruksi milik Aditama yang notabene menjadi milik Zainab sekarang. Awalnya, Zainab tidak peduli dan ingin membiarkan saja tindakan Dio. Namun, saat Pak Baharudin mengatakan tentang nasib karyawan ke depannya, Zainab berubah pikiran. Dan kami pun bersiap untuk menuju Bali bersama Pak Baharudin. "Kamu kenapa? Ini tanganmu dingin banget, Za," kataku sambil mengusap berkali-kali telapak tangan Zainab bergantian kanan dan kiri. "Cuma gugup, Mas. Ini pertama kalinya aku mau naik pesawat," jawabnya dengan nada suara sedikit bergetar. "Ini gak seseram yang kamu bayangkan, Sayang. Anggap aja kayak naik mobil. Atau kamu bisa tidur aja nanti pas perjalanan." Aku berusaha menenangkan sambil terus menggosok telapak tangannya. Aku beralih ke arah Pak Baharudin yang duduk di belakang. "Apa Zainab mem
Saat awan mendung menanti bantuan angin untuk menjatuhkan kumpulan air yang ditampung, aku hanya mampu memandanginya dengan takjub. Siklus hujan yang memang bisa dipelajari lewat sains, tapi juga lewat keagungan Tuhan. Aku duduk di teras depan sambil melihat Zahira yang sedang belajar berjalan dengan Mbak Lita. Di usia tiga belas bulan, gadis kecilku sudah beranjak besar. Sudah bisa berjalan meskipun masih belum terlalu seimbang. Lima sampai sepuluh langkah dia berhasil, tapi kembali terjatuh setelahnya. Untungnya, dia tidak menangis dan justru tertawa lepas sambil sesekali menoleh ke arahku. Kehamilan yang sudah menginjak bulan delapan ini membuatku tidak bisa mengajari Zahira berjalan. Perut sudah mengganjal jika harus membungkuk. "Saya bawakan apel, Mbak." Bu Padma meletakkan sepiring potongan buah apel di meja bundar sampingku duduk. Lantas, dia pun duduk di kursi seberang meja. "Makasih, Bu. Malah ngerepotin," jawabku seraya menebar senyum. "Mbak Zainab masih sungkan saja sa
Selesai mengucap doa bangun tidur, aku menatap haru pada dua perempuan yang melengkapi hidup ini. Zainab dan Zahira masih tertidur pulas setelah makan malam di luar semalam. Aku merasa bersalah pada keduanya karena empat bulan terakhir ini terlalu sibuk dan hanya sedikit meluangkan waktu untuk mereka. Sejak kepergian Dio yang seperti ditelan bumi, perusahaan, restoran, dan juga kampus, aku sendiri yang mengurus. Di samping dengan semua keputusan yang diambil harus dengan persetujuan Zainab.Aku memang mengambil alih semua tugas Zainab karena tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya ataupun kandungannya. Dan sekarang, aku sangat protektif padanya dalam hal apa pun. Namun, beberapa kali Zainab merajuk dan sedikit menjaga jarak denganku. Puncaknya terjadi bulan lalu saat aku harus meninggalkannya ke Bali untuk mengurus proyek, sedangkan hari itu juga adalah jadwalnya periksa kandungan. Aku sudah memintanya mengubah jadwal minggu depannya, tapi rupanya Zainab justru berangkat perik
PoV ZainabAku merasakan getaran kecil di kasur. Lantas, membuka mata dan terlihat Mas Zaidan sudah duduk di hadapanku. Dia membelai kepalaku lembut. "Mas, kapan pulang?" Kutatap wajah tampan yang masih sedikit basah itu. Lalu, melirik ke benda bulat yang menempel di dinding. Sudah hampir jam sembilan rupanya. "Belum lama. Kok, kamu bangun? Mas berisik, ya?" Dia balik bertanya. Aku menggeleng, lalu bangkit perlahan dan dibantu Mas Zaidan. Terasa perut bagian bawah penuh dengan cairan hingga aku pun beranjak dari tempat tidur. "Mau ke mana?" tanya Mas Zaidan. "Mau ke kamar mandi sebentar," jawabku seraya melangkah. Saat aku keluar dari kamar mandi, Mas Zaidan sudah merebahkan badan di tempat tidur."Mas sudah makan malam, belum?" tanyaku basa-basi. Harusnya, dia sudah makan di resto, tapi kali ini aku yang lapar meskipun sudah makan sore tadi. Mas Zaidan pun turun dari tempat tidur, dia menghampiriku yang masih mematung di depan pintu kamar mandi. Lantas, diraihnya tangan kiriku
Aku mendongak, menatap laki-laki berkulit putih di hadapan dengan sedikit terkejut. Kenapa aku bisa bertemu dengannya di sini? Apa ini kebetulan? Dan entah kenapa, jantungku berdetak lebih cepat. "Gak usah kaget begitu. Katanya, aku kakakmu?" Kini, dia duduk di bangku panjang tepat sebelah kiriku dengan jarak yang sangat dekat. "Kak Dio ngapain di sini?" tanyaku dalam. Aku takut jika Kak Dio melakukan hal yang tidak terduga karena tatapan matanya sama seperti dulu, saat sedang bersitegang. "Gak usah takut. Aku cuma mau ketemu adik kesayangan dan calon keponakan." Aku terhenyak dengan ketakutan yang tiba-tiba menguasai karena Kak Dio lancang menyentuh perutku. Sontak aku beringsut, menggeser duduk menjauh. "Minumlah, kamu terlihat pucat, Nis." Disodorkannya lagi botol air mineral yang dibawa. "Itu, Zahira, 'kan? Sudah besar dia, ya," lanjutnya lagi. "Kakak jangan macam-macam, aku bisa teriak!" gertakku. Namun, lelaki berkulit putih itu malah tersenyum mengejek. "Aku cuma kangen
Aku tidak tega saat melihat Zainab tidur di sofa ruang tamu. Dia menungguku semalaman hingga tidak memedulikan dirinya sendiri. Kejadian semalaman benar-benar di luar dugaan. Dio menghadangku saat perjalanan pulang dari hotel setelah bertemu klien terakhir. Dia seperti orang kesetanan dan menyerangku tanpa ampun. Untungnya, tidak ada Zainab. Namun, Amira yang terkena imbasnya. "Terima kasih, kamu datang tepat waktu," ucapku saat Angga datang membawa bantuan. "Sama-sama, Pak." Angga dan teman-temannya sesama polisi meringkus Dio tepat tengah malam. Namun, satu hal yang tidak kusadari. Ponselku hilang entah ke mana sehingga tidak bisa menghubungi Zainab. Sementara aku harus membawa Amira ke rumah sakit karena dia pingsan akibat pukulan dari Dio. Setelah dia sadar, dokter pun mengizinkan pulang. Untungnya, Angga ikut denganku karena Dio sudah diurus rekannya dan dia bersedia mengantar Amira pulang hingga aku pun melanjutkan perjalanan sendiri. Ingatan kejadian semalam begitu menggang