ANDRAHatiku yang sedang kesal dengan ulah Resti bertambah parah mendengar ucapan bi Cicah. Kalau dokter Reiga memeriksa Affan, artinya ia masuk rumah dan bertemu Armila."Sampai jam berapa dokter Reiga di rumah? Periksanya di mana?"Bi Cicah mengerenyitkan dahi sambil menatap lekat padaku. Pasti perempuan itu kaget atas pertanyaan spontan ini."Sampai dek Affan tidur, periksanya di ruang depan, Pak. Ibu Armila gak kayak Bu Resti, beliau sangat menjaga kehormatan. Saya saksinya!" Setelah bicara begitu bi Cicah pergi. Sekilas kulihat bibirnya cemberut, matapun tajam. Ia pasti tersinggung sebab majikannya dicurigai. Sebegitu dekatnya mereka sampai berani bicara begitu padaku.Aku yakin bi Cicah pasti tak suka pada Resti. Itu karena solidaritas sesama wanita pada Armila. Juga saking dekatnya mereka, bukan seperti pembantu dan majikan, tapi ibarat ibu yang sayang pada anaknya. Kuhela napas agar tak tersulut emosi. Sementara simpan dulu urusan cemburu pada dokter Reiga. Sekarang aku haru
ARMILA Entah apa yang membuatku berani berkata seperti itu. Mengatakan sesuatu yang bahkan tak pernah terlintas sebelumnya di cerukan kepala. Mana mungkin aku meletakkan hati pada pria lain bahkan sampai berniat menikah dengannya.Mungkin gumpalan amarah sekaligus kesedihan terlalu kuat mendesak hingga memunculkan sebuah pembelaan diri. Ya, lemparan tuduhan dari Mas Andra kuat sekali menohok dinding-dinding harga diri hingga bereaksi sedahsyat ini.Kalimat itu telah terucapkan, tak mungkin ditarik kembali. Mengklarifikasi pun tak mungkin, jadi lebih baik kulanjutkan saja untuk menghantam balik pria tak tahu diri ini."Kenapa, mas tak menyangka 'kan? Kamu pikir aku wanita bodoh yang bisa bertahan selamanya dengan pria bodoh! Atau Aku wanita yang akan pasrah diinjak-injak oleh jalang bernama Resti di setiap harinya? Atau menunggu ditendang dari rumah ini sebagai gelandangan? Pikirmu semua orang tidak punya otak?"Aku menghentakkan tangan mas Andra yang masih menempel di bahu. Cengkrama
ARMILAMas Andra memanggil Kak Reiga ke rumah untuk mengklarifikasi foto-foto kami. Pria itu ingin penjelasan langsung dari dokter muda tersebut.Dia berjanji tidak akan mengedepankan emosi dalam penyelesaian masalah ini. Katanya hanya ingin clear persoalan hingga tidak ada ganjalan di kemudian hari.Dalam arti lain memang tertanam pada diri mas Andra ketidakpercayaan padaku. Ia lebih meyakini foto-foto itu dibanding karakter dan sikapku selama bersamanya.Atau ia sangat percaya pada perkataan emosionalku tentang rasa cinta pada mas Reiga. Dan rencana menikah dengan pria itu selepas perceraian.Sungguh lucu, harusnya mas Andra paham itu adalah ucapan emosional akibat terus dipojokkan. Hal tersebut hanya sebentuk perlawanan atas tuduhan menyakitkan.Aku ikuti saja apa maunya. Kita lihat sampai di mana karya itu akan mengejar tuduhannya tersebut. Kalaupun tembus ke pengadilan agama, aku sudah siap untuk menghadapinya.Dokter Reiga bersedia memenuhi undangan mas Andra. Karena tak tahu du
RESTIKurang ajar aksiku gagal lagi. Sialan banget pembantu Armila mengetahui penaburan jimat itu. Kata si dukun, jimat memang takkan berfungsi kalau diketahui orang lain. Payah, parah! Mengapa Armila selalu diliputi keberuntungan? Mengapa rencanaku tak pernah berhasil? Argh menyebalkan! Aku makin benci saja padanya. Selama dia masih hidup, takkan pernah kebencian ini pudar. Aku harus memutar otak agar ada cara lebih joss untuk menyingkirkan Armila. Aku sudah terlanjur prontal tak mungkin mundur lagi. Perang, perang sekalian. Untunglah aku punya suami bermental lemah. Lelaki itu tidak bisa bersikap tegas meski istrinya sudah berbuat salah. Paling banter marah sehari dua hari, disuguhkan kemesraan juga luluh.Tetaplah seperti itu mas karena itulah jalanku untuk mencengkerammu lebih jauh. Kalau kau berubah menjadi tegas akan sulit bagiku mempertahankan rumah tangga ini.Aku sangat tahu perasaanmu pada Armila terlalu mendalam. Kepadaku hanya karena terbawa napsu. Siapa juga lelaki ya
RESTI "Kamu, tuh gak punya perasaan, Resti! Affan itu anakku bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya?"Aku harus cepat-cepat membalikkan keadaan agar mas Andra gak kebablasan marahnya. Bisa membahayakan ini. Gimana kalau tiba-tiba keluar kata cerai. Kamu, sih bego harusnya jangan ngusik anaknya dulu. Nantilah kalau sudah terikat, baru sikat dua-duanya.Langsung saja kusodorkan foto-foto Armila dan Reiga. Gak semua asli, ada yang editan juga. Aku dapat dari orang yang dibayar itu. Lumayanlah kerjanya bagus.Seperti dugaanku, mas Andra langsung lupa dengan kemarahan saat datang. Sudah berganti dengan kemarahan pada Armila akibat kobaran api cemburu.Lihat saja apa yang terjadi nanti. Aku yakin badai rumah tangga mereka akan semakin membesar. Bahkan, menghantam seluruh pondasinya.Aku sampai jingkrak-jingkrak setelah mas Andra pergi. Gak bisa dilukiskan kata, loh kebahagiaannya.Resti memang jenius!"Bu, Bu, ngapain jejingkrakan, kayak ulet kekek aja!""Sembarangan, kamu! Eh, karena aku
ANDRA"Mba, mohon maafkan saya! Saya tak bisa melewati kehamilan tanpa mas Andra! Mba boleh hukum saya, maki-maki dan pukul saja, saya rela mba!"Resti menghambur ke arah Armila. Ia bersimpuh di lantai sambil merangkul kakinya. Resti mengiba, memohon ampunan darinya.Hatiku terenyuh melihat pemandangan itu. Ingin ikut menangis juga, tapi ditahan. Aku merasa inilah pertolongan Allah atas kesempitan yang menghimpit selama ini."Bangunlah, aku tak butuh permintaan maaf palsumu. Kau bisa membohongi mas Andra, tapi tidak denganku!""Armila, jangan keterlaluan berprasangka. Resti sudah rela mengiba padamu, tapi kau malah bersikap buruk. Janganlah kebencian membutakan matamu!""Aku tak tahu apakah Resti yang terlalu culas atau mas yang bodoh. Sampai kapanpun aku takkan percaya pada wanita ular itu. Yang pasti aku tetap dalam keputusan, pilih aku atau dia. Putuskan sekarang!"Aku harus bagaimana lagi untuk meyakinkan Armila bahwa tak mungkin melepas keduanya. Kata talak adalah hal paling kube
ANDRAArmila memberiku pilihan sangat sulit. Antara memilih dirinya dan Resti. Bagaimanapun aku tak mau melepas keduanya. Ingin hidup bersama mereka dalam kerukunan hingga ajal saja yang memisahkan..Aku tahu kesalahan Resti kali ini sangatlah besar, tapi bukan berarti tidak bisa diperbaiki. Kurasa memberi kesempatan sekali lagi adalah hal yang lebih bijak daripada langsung mengakhiri ikatan pernikahan dengannya.Tapi, pikiran ini tak sejalan dengan apa yang ada di relung akal Armila. Dia tak memberiku kesempatan untuk memberi alternatif solusi. Inginnya salah satu dari mereka diakhiri. Kurasa itu terlalu kejam."Aku beri waktu satu minggu untuk memutuskan siapa yang akan Mas pilih. Maaf, kali ini aku sudah tak bisa mentolelir kejahatan Resti!""Sayang, jangan begitu, kumohon. Aku janji akan mendidik Resti lebih keras agar dia bertobat dan berubah menjadi lebih baik."Sekali lagi aku mencoba peruntungan untuk meluluhkannya. Siapa tahu akalnya tertunjuki dan hatinya melunak jika argume
ARMILAMas Andra sungguh Naif. Masa tidak bisa membedakan antara ketulusan dan sandiwara. Resti itu jago akting. Setaraflah dengan artis papan atas.Saat ia merengkuh kaki ini, aku sadar tangan itu tak hangat. Pelukannya pun serasa hambar. Dalam sorot matanya tak ada ketulusan. Bahkan hamilnya saja belum tentu benarAku muak dengan sikap pasangan menyebalkan itu. Yang lelaki naif menuju bodoh, yang perempuan culas dan keji. Sudah bisa dibayangkan kehidupan mereka ke depan.Baiknya kutinggalkan saja orang-orang itu dalam kegamangan. Silakan mas Andra mengartikan sendiri sikap ini. Kalau cerdas, pasti bisa menentukan apa yang sebaiknya dilakukan."Bapak masih ada, Bi?""Sudah pulang, Bu."Aku menghela napas berat sebab merasa masalah keputusan tak sesederhana itu. Mas Andra sudah masuk dalam skenario Resti. Sepertinya akan sulit bagiku memenangkan pertarungan ini.Resti bukan lawan sebanding. Ia bisa melakukan apapun demi mencapai tujuannya. Bahkan menipu dan bersandiwara akan dilakukan