Berdiri sebentar, Abe mengayunkan langkahnya ke dalam rumah. Dia yakin benar jika ada orang yang datang dan masih berbincang di dalam. Selangkah memasuki pintu, tiba-tiba Abe dikagetkan oleh Ayman beserta lainnya yang muncul dengan tiba-tiba.
“Eh, Be!” ucap Ayman menyapa lebih dulu sebagai pengalihan rasa cemasnya yang ketahuan Abe karena telah mendatangkan tamu tanpa seizinnya.
Berkerut kening, Abe tak menjawab dan menatap kedua teman Ayman yang baru datang mengekori Ayman penuh selidik. Keduanya tampak seperti kucing garong yang terciduk, berdiri kaku tanpa suara mendapat tatapan dingin dari Abe yang baru pertama kali mereka temui.
“Be, gue mau pergi dulu sebentar sama teman-teman gue. Biasa, ke kota cari angin!” ujar Ayman berusaha tetap tenang agar sang macan tak menunjukkan taring. Tanpa bicara, Abe hanya mengangguk pelan dan meninggalkan ketiganya yang diam tanpa kata. Mereka saling pandang, lalu menarik nafas lega.
“Anjritttt! Itu muka serem banget kayak setan pencabut nyawa!” gumam Kiki yang mendadak ciut sambil menyandarkan punggungnya di balik pintu.
“Pantes saja lo sering ketar-ketir kalau bahas dia, auranya bikin bulu kuduk merinding!” timpal Adit menambahkan.
“Baru percayakan kalau gue punya sepupu seremnya ngalahin setan pohon asem di kampus dulu!” beo Ayman kesal karena selama ini mereka selalu tak percaya cuitannya tentang Abe.
Akhirnya, mereka bergegas memasuki mobil jeep milik Adit dan meluncur membelah jalan di pedesaan yang tampak sepi, terlebih waktu sudah menunjukkan tengah malam. Sedangkan Abe, kini sedang memasuki ruang kerjanya mencari beberapa berkas yang dia butuhkan. Pandangan matanya melirik jam dinding yang menunjukkan jam 1 dini hari dan setelah menimbang-nimbang, akhirnya Abe memutuskan untuk tidak kembali ke penginapan dan tidur si rumah. Tak lama berselang, Abe merasakan tenggorokannya kering dan bergegas melangkahkan kaki ke dapur yang ada di sudut rumah. Berjalan santai, Abe menoleh kiri dan kanan karena merasa rumah terasa begitu senyap karena hanya dia seorang di rumah yang begitu besar. Sesampainya di dapur, Abe melihat banyak camilan juga minuman yang berserakan dan terlihat belum disentuh.
“Dasar Maman, beli jajanan sebanyak ini malah ditinggal!” gerutu Abe menatap makanan yang memenuhi meja.
Abe menarik kursi dan duduk berhadapan dengan segunung makanan. Perlahan tangannya meraih potato snack dan memakannya santai sambil sesekali meneguk segelas minuman yang Abe duga adalah sejenis water lemon yang masih dingin. Tak berapa lama, Abe tiba-tiba terkejut dengan sesuatu yang bergerak di antara kedua pahanya. Dengan mata melotot, Abe menurunkan pandangannya dan menatap tepat ke resleting celana jenas miliknya yang terlihat membesar dari ukuran normal.
“Lah, ini kenapa ya?” oceh Abe bingung berkedip berkali-kali melihat kondisi celananya kini. Abe mulai duduk tak nyaman dengan kondisi miliknya yang tanpa sebab bereaksi. Tangan Abe menekan tepat di atas celananya karena merasa sakit yang kian menit semakin mengeras.
“Ini minuman apa sih yang dibeli Maman!” gerutu Abe melihat tulisan yang ada pada setiap kaleng minuman, tapi tak ada yang janggal.
“Aduh, sakit banget!” gerutu Abe sambil terus menekan celananya.
Tergesa Abe melangkahkan kakinya dan menaiki anak tangga untuk menuju kamar. Di dalam kamar, Ayumi yang di bawah pengaruh obat bius nampak mulai meggeliat. Matanya mengerjap beberapa kali, hingga akhirnya terbuka sempurna. Samar, itulah yang mata Ayumi tangkap saat matanya menatap sekeliling karena lampu kamar mati dan hanya penerangan lampu dari luar yang masuk dari jendela.
“Ini di mana?” gumam Ayumi bingung melihat sekeliling yang tentu tak jelas.
Perlahan Ayumi yang tengah duduk di tempat tidur beranjak dan turun dari ranjang yang dia rasakan begitu besar dan empuk serta wangi. Kaki Ayumi menyentuh lantai dingin dan meraba pelan sambil melangkahkan kakinya. Di saat baru beberapa detik kakinya melangkah, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu dengan kasar sambil merintih kesakitan.
“Aduh, sakit banget. Ya Tuhan, kenapa bisa tegang begini, padahal biasanya cuma pagi doang!” oceh Abe sambil memasuki kamarnya yang tak dia ketahui jika ada seseorang di dalamnya. Abe terus melangkah tergopoh memasuki kamarnya tanpa menyalakan lampu, hingga tubuhnya tanpa sengaja bersenggolan dengan sesuatu yang mendadak berteriak.
“Akh!” suara Ayumi mengaduh karena tertabrak tubuh besar Abe dan mundur beberapa langkah. Abe melotot tak percaya mendengar suara seorang wanita ada di dalam kamarnya, hingga pandangannya yang samar bisa melihat sosok tubuh berdiri tak jauh di hadapannya dan hanya berupa siluet.
“Kamu siapa? Kenapa ada di dalam kamarku, huh?” bentak Abe terdengar tak suka dengan suara dinginnya.
“A-aku ... A-aku ...,” suara Ayumi gagap dan takut mendengar bentakan suara pria yang tak nampak wajahnya.
“Ah, sialan. Ini benar-benar sakit, Tuhan. Sial!” gerutu Abe yang bisa didengar oleh Ayumi. Mendengar suara yang tengah mengaduh kesakitan, Ayumi merasa penasaran apa yang tengah terjadi dengannya dan baru saja mengaku sebagai pemilik kamar.
“Ada apa? A-apa Tuan sakit? Di-di mana saklarnya?” ucap Ayumi sedikit cemas apa yang terjadi dengan sosok pria di hadapannya. Ayumi mencoba melangkahkan kakinya ke depan untuk melalui pria yang tampak membungkuk entah apa yang sedang dia lakukan. Berjalan pelan Ayumi hampir melewati Abe, hingga tiba-tiba tangannya dicekal olehnya.
“Akh!” kaget Ayumi karena cekalan Abe yang begitu kuat di pergelangan tangannya.
“Tolong aku!” gumam Abe denga nafas tersenggal.
“Tu-tuan, kau kenapa?” sahut Ayumi yang kini menghadap Abe dan masih sedikit membungkuk tak terlihat wajahnya.
“Sakit, sakit banget! Tolong bantu aku!” sahut Abe lirih dan terdengar kesakitan.
“Tu-tunggu, aku akan menyalakan lampunya dulu!” jawab Ayumi yang mulai panik karena mendengar suara kesakitan. Ketika Ayumi mencoba melangkahkan kakinya untuk menyalakan lampu, Abe malah semakin kuat mencekal pergelangan tangan Ayumi, sehingga dia mengurungkan langkahnya karena tertahan.
“Tak usah nyalakan, kau tetap bisa membantuku, walaupun lampunya mati!” jawab Abe pelan.
Ayumi berkerut kening mendengar penuturan Abe yang tak dimengertinya, hingga tiba-tiba Abe menariknya dan menyatukan bibir pada Ayumi yang tentu tak siap juga terlonjak kaget. Ayumi meronta berusaha melepaskan diri dari pria yang kini melecehkannya.
“Mmmppptt ... Lepas, Tuan. Lepaskan!” teriak Ayumi yang sudah kalap di sela ciuman paksa Abe.
Tangan kanan besar Abe semakin menekan tengkuk Ayumi sehingga membuatnya bungkam, sedangkan tangan kirinya mulai bergerilya menarik apa pun yang membalut tubuh Ayumi. Dalam hitungan menit, pakaian Ayumi telah berhasil dilucuti oleh Abe yang sudah lupa diri karena tak kuat menahan pengaruh obat yang diminumnya. Abe mendorong tubuh Ayumi ke tempat tidur dan ikut melepaskan pakaiannya sendiri.
“Jangan, Tuan, jangan. Aku mohon, hiks ... hiks ....”
“Maafkan aku, aku tak tahan dan tolong bantu aku menuntaskan semuanya kali ini!” jawab Abe yang telah mengukung tubuh Ayumi di bawahnya dengan kedua tangan menekan di sisi kepala Ayumi yang terisak.
Di antara gelapnya kamar itu, Abe di luar kendali akhirnya menyatukan diri dengan Ayumi dan hanya mampu menangis kehilangan harta berharga yang dia jaga selama ini. Penyatuan itu berakhir dengan Abe yang langsung tertidur meninggalkan Ayumi terisak.
Waktu sudah menunjukkan jam 3 dini hari. Ayman dan lainnya sedang menuju arah pulang karena membatalkan rencana ke kota karena teringat dengan gadis tak dikenal yang diculik Adit dan Kiki, serta mereka tinggalkan di kamar. Melaju dengan kecepatan penuh, Ayman mengendarai mobil jeep seperti seorang sopir ingin buang hajat membuat yang lainnya berteriak karena ketakutan.“Anjirr, Man, pelan-pelan kamvrettt!” omel Adit yang duduk di sebelah Ayman yang mengemudi ugal-ugalan.“Diam lo, jangan banyak bacot.
Dengan tubuh kaku, Ayman berdiri menatap ke arah ranjang besar di depannya. Matanya menelisik tajam melihat pakaian berserakan di lantai dan bergulir pelan ke atas ranjang besar di mana nampak seorang pria dan wanita terbaring di sana. Seorang pria yang tak lain adalah Abe terlihat begitu pulas tertidur layaknya orang kelelahan, dan berbanding terbalik dengan seorang wanita yang meringkuk di tepi ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya.Tak berapa lama, duo kadal buntung sampai dan berdiri tepat di samping Ayman yang hanya bungkam. Keduanya melihat Ayman seperti sedang melihat hantu dan menggeser pandangan ke arah apa yang Ayaman lihat. Perlahan mata mereka yang awalnya biasa kini berubah melotot sempurna mendapati pemandangan yang sejak tadi tak diharapkannya. Namun, harapan tinggallah harapan. Apa yang mereka khawatirkan telah terjadi.“Gue kata juga apa, Man. Pasti Abe yang minum!” gumam Adit menarik lengan baju Ayman yang masih terpaku.“S
Setelah semuanya beres dan tak meninggalkan jejak apa pun, ketiga trio gundal gandul itu bergegas meninggalkan rumah Abe. Semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan seolah Abe sudah mengecek kondisi rumah dengan baik sebelum dia beranjak tidur. Mobil membawa tubuh Ayumi tak sadarkan diri langsung bergerak meninggalkan pekarangan yang kembali sepi. Kiki melajukan mobil dengan kecepatan penuh, di sebelahnya tampak Adit sesekali melirik pada Kiki yang tentu merasa jika Kiki mengendarai mobil tergesa-gesa."Ki, hati-hati bawa mobilnya, anjir. Gak lucu kalau kita mati nyemplung ke jurang dalam keadaan belum kawin!" gerutu Adit yang berpegangan kuat pada pintu mobil."Lo diam saja, kupret. Kalau pelan-pelan gak keburu, bentar lagi warga mulai pada bangun!" beo Kiki menjawab kepanikan Adit."Baru jam 3, anjirr!" sambar Adit lagi."Heh, blegug. Ini tuh pedesaan alias pegunungan. Warganya rajin bangun pagi, kagak kayak kita dari kota yang tidur tengah malam
Ayman melajukan mobilnya kembali menuju tempat di mana dia telah meninggalkan Ayumi terbaring di sebuah gubuk bambu. Sesampainya di sana, waktu sudah menunjukkan jam 05.30 waktu setempat. Suasana perkebunan yang semula gelap gulita sudah mulai terang dan nampak para warga memulai aktifitasnya masing-masing. Dari kejauhan, Ayman bisa melihat gubuk bambu di mana Ayumi berada tengah dikerumuni beberapa warga, hingga beberapa saat sebuah mobil tiba dan membawa tubuh Ayumi. Memberanikan diri, Ayman turun dari mobilnya dan menghampiri warga untuk sekedar bertanya."Permisi, Pak. Ada apa ya, kok ramai-ramai?" kata Ayman menyapa seorang pria paruh baya bersama seorang wanita yang diduga istrinya."Ada gadis dibuang dan sepertinya korban pemerkosaan karena hanya mengenakan selimut yang dibungkus seperti kepompong!" jawab bapak paruh baya itu."Gadisnya cantik banget lagi, tapi untungnya pelaku masih berbelas kasih menutupi tubuhnya dengan selimut tebal, ya, Pak!" sambar sang w
Waktu sudah menunjukkan jam 8 pagi, Ayman yang baru tiba di kediaman Abe secepat kilat masuk ke dalam rumah dan membaringkan tubuh ke ranjang yang belum dia sentuh sejak semalam. Tubuhnya benar-benar lelah dan belum tidur sama sekali, tapi rasa cemas, dan bersalahnya terus menggelayut di hati dan pikirannya, sehingga tak ada rasa kantuk yang dirasakan. Tubuh besar dan kekarnya terlentang di ranjang tanpa melepas kaos kaki putih yang membalus kakinya. Matanya menatap langit kamar yang terang akan sinar matahari pagi yang masuk dari jendela. Ayman membuka jendela kamar dan membiarkan udara dari halaman belakang masuk untuk menyapa paru-parunya yang mendadak sesak karena beban bersalah terus menggelayut di hati."Gadis yang cantik, tapi sudah dimiliki Abe!" ucap lirih keluar dari bibir Ayman yang entah disadarinya atau tidak."Jika Abe tak pulang, pasti gadis itu sudah jadi milikku," gumam Ayman terdengar lagi.Perlahan-lahan, mata Ayman mulai berkedip pelan, hingga akhirnya t
Di rumah Kepala Desa, sekitar jam 11 siang akhirnya Ayumi tersadar dari pingsannya. Ayumi langsung terisak sambil memeluk tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang. Kepala Desa bernama, Dirman serta istrinya, Ellis, tampak iba melihat Ayumi yang terisak. Ellis duduk di tepi ranjang dan memeluk tubuh Ayumi guna menengkannya."Tidak apa-apa, Nak. Kamu sedang di rumah kami. Jangan cemas!" ujar Ellis mengelus punggung Ayumi. Ayumi melepas pelukannya dan menatap Ellis dengan mata berkaca."Ibu siapa dan saya ada di mana?" tanya Ayumi pelan."Saya Ellis, ini suami saya, Dirman, dan dia Kepala Desa di sini. Kamu berada di desa Sukatenang," sahut Ellis menjelaskan pada Ayumi yang menghapus air mata di pipinya."Terima kasih sudah menolong saya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian!" ucap Ayumi tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Sepasang suami istri itu membalas ucapan Ayumi dengan senyuman. Kuat sekali pikir mereka karena Ayumi masih bisa tersenyum, walaupun san
Setahun kemudian, pembangunan hotel milik Abe telah rampung dan beroperasi. Kondisi hotel selalu ramai setiap akhir pekan karena banyaknya pengunjung yang berlibur ke daerah tersebut berkat alamnya yang masih sejuk dan jauh dari polusi. Perkebunan teh terbentang luas memanjakan mata dan bisa dilihat dari hotel tersebut serta taman bunga yang sengaja dirancang dan menyatu dengan hotel sebagai tempat rekreasi.Di Jakarta, Abe tentu sibuk menjalankan usaha lain serta banyak berdiskusi dengan ibunya, Mariana, yang memiliki pengalaman jauh lebih mumpuni. Rencananya, Abe akan kembali membangun hotel di daerah Kalimantan, tapi lokasinya masih belum ditentukan karena masih melakukan beberapa survey di beberapa tempat, sehingga akhir-akhir ini Abe yang masih setia ditemani oleh Ayman mondar-mandir ke Kalimantan.Untuk hotel yang ada di Sukamekar di mana Ayumi berada, Abe sudah tak pernah berkunjung ke sana sekitar enam bulan lalu karena sibuk mengurus pekerjaan lain, dan hanya Ayma
Menunggu remaja itu kembali membeli jualan Ayumi, Ayman nampak senyum-senyum sendiri melihat hasil jepretan kamera handphone, di mana terlihat jelas wajah Ayumi yang akan dia jadikan kandidat calon istri untuk Abe. Tak berapa lama, remaja itu akhirnya kembali dengan kedua tangan berisi semua jenis dagangan yang Ayumi jual."Ini, Om, pesanannya!" seru remaja tersebut sambil menyodorkan dua kantong plastik yang ada di tangannya."Widiiiih! Mantap benerrrr!" seru Ayman senang menerimanya dengan senyum cerah."Terus punyamu mana?" kata Ayman bingung."Lagi dibuatin sama Kak Ayu, yang penting punya Om duluan," sahutnya jujur."O, gitu. Terus namamu siapa?" kata Ayman lagi."Nama saya Guntur, Om!" sahutnya cepat sambil memamerkan gigi putihnya."Nama saya Ayman. Terima kasih, ya, Gun. Saya pergi dulu dan kapan-kapan kita ngopi bareng, ya!" ucap Ayman sebelum pamit."Beres, Om. Terima kasih traktirannya. Hati-hati!" ucap Guntur yang diangguki Ayman s