Share

Bab.3

Aku bangun jam 7 pagi. Sekarang hari minggu, aku libur bekerja. Kulirik, Malik sudah tidak ada, mungkin dia sudah pulang. Lekas aku bangkit dan menuju kamar, berharap Farida sudah membuka kuncinya.

Klek! Pintu kamar memang sudah tidak dikunci. Namun, Farida juga tidak ada di kamar. Cepat aku keluar lagi, menyambar handuk dan bergegas mandi. Minggu pagi seperti ini, biasanya Farida akan membujukku untuk pergi ke Taman Sakura. Sebuah taman kecil. Namun, sepanjang jalan menuju taman itu ada pasar tumpah yang di adakan seminggu sekali.

Farida selalu mengajakku untuk joging bersama atau sekadar mengantarnya. Namun, aku sering mengabaikannya, hingga Farida tak jadi pergi. Karena jika pergi, Farida suka sekali jajan, seperti anak kecil. Rupa-rupa jajanan ia beli, dan itu aku tidak suka. Ia yang suka jajan ia juga yang mengeluhkan uang dariku tidak cukup.

Selesai mandi Farida belum juga pulang, ini sudah jam 8. Kemana Farida sebenarnya? Cepat aku ke dalam kamar, memilih baju kemudian memakainya. Saat sedang mengeringkan rambut, terdengar pintu depan di buka. Lalu, kuoles gel di rambutku dan menyisirnya. Setelah selesai, aku keluar kamar. Menyusul Farida yang sepertinya berada di dapur.

Benar saja, Farida ada di dapur dan sedang menikmati lontong ayam. Gegas aku mengambil mangkuk dan duduk di sebelahnya, aku pun ingin menikmati sarapan yang kesiangan ini.

"Ngapain, Mas?"

"Mau sarapan juga, Dek."

"Aku cuma beli satu."

"Sa—tu?"

"Hu'um, makanya aku cepetan makan, kalau aku tinggalin nanti dimakan sama Mas lagi."

Glek! Aku hanya menelan saliva. Duh, tega sekali Farida.

"Dek, kok kamu gak masak buat sarapan? Kenapa beli? Biasanya 'kan kamu suka masak untuk sarapan dan makan siang, terus sekarang Mas makan apa toh, Dek?" tanyaku.

"Suka-suka akulah, Mas. Aku beli pakai uang hasil jualanku, kamu mau dimasakin tapi gak ada ngasih uang!" cicitnya.

"Pakai uangmu dulu bisa 'kan, nanti juga Mas kasih!" ucapku.

"Sisa uangku cuma cukup buat beli tempe, tahu. Mas 'kan gak suka makanan begitu!" sangkalnya.

"Lagian kamu malah beli dispenser baru, dispenser yang dulu masih bagus. Gak perlulah kamu beli lagi, Dek!" 

"Aku sebenarnya gak mau beli dispenser ini. Tapi gimana lagi? Harusnya Mas ngerti, galon kosong itu ganti dengan yang baru, Mas, bukan dibiarkan saja. Aku capek terus mengandalkan Mas yang nggak bisa peka!"

"Terus Mas sarapan apa?"

Farida hanya mengangkat bahu, pertanda tidak tahu. Aku lalu membuka kresek yang ada di atas meja makan, benar dugaanku, Farida pergi ke Taman Sakura dan membeli rupa-rupa makanan. Kuambil saja lumpia basah. Baru aku membuka plastiknya, Farida langsung menyambarnya.

"Punyaku, jangan dimakan Mas!"

"Tadi kamu sudah makan, ini buat Mas saja!" ucapku, kuambil lagi plastik lumpia basah dari tangan Farida.

"Nggak! Tanpa izinku, Mas gak boleh memakannya!" hardiknya. Sambil merebut lumpia basah miliknya.

"Dek, kamu mau perhitungan sama suami sendiri?!"

"Perhitungan? Perhitungan apa maksud, Mas?"

"Setiap bulan Mas berikan kamu uang! Tapi, Mas minta ini saja kamu pelit sekali! Bahkan Mas tidak kamu belikan apa-apa! Kamu tidak ingat ada Mas di rumah, kamu hanya ingat perut kamu sendiri!"

Farida menyeringai.

"Begitu? Apa kemarin saat menyuruhku membeli nasi padang, Mas ingat juga dengan perutku?"

"Kamu 'kan juga ada uang, Dek! Kalau mau kamu tinggal beli dengan uangmu!"

"Kalau mau, aku juga bisa membelinya dengan uangku, Mas. Tapi, mana peran kamu sebagai suami yang seharusnya memperhatikan keadaan istrinya, Mas? Jangan mentang-mentang aku punya uang, Mas seenaknya melupakan kewajiban sebagai suami! Uang suami ada hak istri, tapi uang istri tidak ada hak suami! Ini semua aku beli dengan uangku, Mas tidak ada hak memakannya, kecuali atas izinku!" pungkasnya. Lalu keluar dari dapur dengan membawa semua kresek tadi.

Brakk!

Farida membanting pintu depan sangat keras. Aku hanya terkulai di kursi meja makan melihat istriku sekarang. Aah … kemana sikap Farida-ku yang manja dan lembut? Kenapa ia jadi pemarah sekarang? Kenapa ia juga pelit sekali? Padahal dulu, jika ia kukuh pergi ke Taman Sakura sendiri, disaat pulang ia akan membelikan kue pukis dan buah-buahan untukku. Tapi kini, jangankan kue dan buah-buahan, aku minta lumpia basah saja tidak ia berikan.

Dengan malas aku bangkit, membuka lemari penyimpanan dan mengambil mi instan. Ku panaskan air hingga mendidih dan mulai merebus mi instan. Kuambil sedikit nasi di magic com dan akhirnya sarapan dengan mi instan. Kasihan, cacing si perutku sudah demo sejak tadi.

Selesai sarapan, aku duduk di sofa ruang tamu memainkan ponselku. Farida tak kunjung kembali, ah paling dia ke rumah Mila. Farida memang keras kepala. Aku sudah melarangnya untuk berteman dengan Mila. Aku takut Farida akan terkena pengaruh buruk jika terlalu dekat dengannya. Bagaimana tidak? Mila itu perempuan tempramen, makanya sampai usianya sekarang belum juga menikah. Mana ada lelaki yang mau dengan perempuan galak macam dia. Aku saja malas dekat dengannya. Tapi entah kenapa, Farida malah semakin dekat dengannya. Sejak Farida kubawa pindah ke rumahku dua tahun lalu, ia langsung berteman dengan Mila dan sekarang malah semakin dekat.

Usianya 4 tahun lebih tua dari Farida tapi belum menikah. Mila masih asik saja bekerja, belum pernah kulihat ada lelaki yang main kerumahnya. Semua teman-temannya perempuan, apa mungkin … Mila memiliki kelainan? Ah, kalau iya, aku harus mencegah Farida lebih keras. Mungkin juga sikap Farida yang sekarang mudah marah, itu semua karena pengaruh si Mila. Tidak bisa, aku harus lebih tegas pada Farida agar menjauhi si Mila dan mencari teman yang lain saja.

Kubuka aplikasi berwarna biru, muncul status teman-teman kerjaku yang sedang menikmati hari libur. Kebanyakan mereka pergi ke tempat wisata. Seperti Santo, ia menggunggah sebuah foto dirinya dengan anak istrinya yang berlatar belakang kebun teh. Juga Malik yang menggunggah fotonya di dekat air terjun. Seru sekali sepertinya. Tiba-tiba muncul foto yang diunggah istriku, ia mengunggah fotonya bersama Mila. Dekat sekali mereka. Farida menuliskan 'Teman Rasa Saudara' dan sudah mendapatkan puluhan like dan komentar.

Iseng kubaca komentar itu satu per satu.

[Mirip kakak adek] tulis akun dengan foto profil perempuan yang tidak kukenal.

[Farida jangan deket-deket sama macan, nanti kamu diterkam] tulis akun milik Naira, teman Farida dan Mila. 

Aku jadi tertawa membacanya, Naira saja menyebutnya macan karena saking galaknya si Mila itu.

[Rida, hari ini jualan tidak?] tanya akun yang tidak kukenal.

[Farida tambah cantik saja] tulis sebuah akun dengan foto profil seorang lelaki namun memakai masker.

Seketika aku mengernyit, siapa dia? Beraninya memuji istriku. Aku lalu melihat akun tersebut, tidak ada info apapun, bahkan fotonya hanya satu. Siapa akun dengan nama 'Pencari Cinta' ini? Aku jadi penasaran.

Cepat ku telusuri akun istriku, ternyata ia jarang mengunggah foto dan update status. Ku telusuri profilnya, hal yang tidak pernah kulakukan selama ini. Setiap istriku meng-upload foto ataupun membuat status, pasti ada komentar dari si Pencari Cinta. Lagi, dengan terang-terangan ia memuji dan menggoda istriku, tapi Farida tidak pernah membalas komentarnya.

Ah, geram sekali! Awas saja kalau aku tahu orang di balik akun itu!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status