Share

Bab.4

Aku berbaring sendirian di atas kasur. Farida masih belum kembali padahal ini sudah lepas magrib. Bisa-bisanya Farida betah berteman dengan Mila, bahkan sampai merasa sudah seperti saudara. Belum tahu saja Farida, bagaimana Mila saat mengamuk. Ngeri!

Drrt! Drrt!

Ponselku bergetar. Tertera dilayar nama Mbak Eka, kakak pertamaku menelpon, segera saja kujawab.

"Assalamu'alaikum, Ris. Gimana kabarmu?" tanya Mbak Eka di ujung telpon.

"Waalaikumsalam, Mbak. Baik-baik saja Mbak. Ada apa?" balasku tanpa basa-basi.

"Oh, syukurlah. Gak papa, Ris, Mbak cuma kangen saja. Kamu kalo gak ditelpon duluan, manalah mau nelpon Mbak. Kamu 'kan orang sibuk," ujar Mbak Eka sembari tertawa.

"Kabar istrimu gimana, Ris?" tanyanya lagi.

"Farida baik, Mbak. Kami semua baik," jawabku.

"Ya, baguslah, Ris. Sudah isi belum Rida?"

"Isi apa?"

"Isi perutnya, Ris!"

"Ya sudah mungkin, Mbak. Mana aku tahu, Mbak."

"Bener kamu, Ris? Rida sudah hamil?"

"Hamil? Tadi katanya isi perut? Gimana sih, Mbak! Isi perut itu, ya makan toh! Mbak, bikin aku pusing saja!"

"Astaga, Risfan! Ya isi perutnya itu dalam perut Rida dah ada bayinya gitu, loh, hamil Ris, hamil!" Mbak Eka menekan kata-katanya.

"Elahh Mbak, bilang aja hamil. Kalo itu aku gak tahu, Mbak. Rida gak ada bilang, emang Rida bilang ke Mbak?" Aku balik bertanya padanya.

"Astagaaa … kamu jadi suami kok gak perhatiin istrimu sih, Ris! Ya kamu perhatikanlah istrimu, kamu harus peka dong jadi suami! Jangan nunggu istrimu laporan! Kalau deket, udah Mbak jitak itu kepalamu!" sungut Mbak Eka.

"Udahlah Mbak mending di sana saja, ha ha ha."

"Kurang aj*r! Awas, ya, tunggu saja nanti Mbak ke sana!"

"Janganlah, paling Mbak ke sini cuma numpang makan!" ledekku.

"Iyalah. Masakan Rida emang enak, kamu harus bersyukur punya istri pinter masak seperti Rida! Kamu perhatikan dia, dan inget, senangkan istrimu itu, Ris!"

"Gak usah Mbak kasih tahu, aku sudah senengin Rida, Mbak! Aku masih ngasih dia uang kok, kurang nyenengin gimana coba?"

"Bukan cuma uang, Ris! Tapi, kamu senengin istrimu, kamu tanya apa kesukaannya, apa yang bisa buat hatinya bahagia, ajak istrimu shopping, piknik, atau sekedar jalan-jalan, biar istrimu gak di rumah terus, Ris!"

"Ngapain sih, Mbak? Yang ada buang-buang uang, nanti Rida malah jadi manja, Mbak."

"Loh … ya, gak apa-apa manja sama suaminya. Emang kamu mau, istrimu manja sama lelaki lain, hah?"

"Ah, Mbak ngaco!"

"Ya kalau begitu, senengin istrimu itu, Ris. Manjakan dia! Ris, sudah dulu, ya. Mbak mau pergi ini. Salam buat Rida, ya, Ris! Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam, Mbak."

Klik.

Mbak Eka menutup panggilan.

Begitulah Mbak Eka, paling cerewet dibandingkan kakak keduaku, Mbak Sinta.

Mbak Eka dan Mbak Sinta tinggal di Pulau Borneo. Mereka ikut suaminya yang bekerja di sana. 6 bulan lalu mereka mengunjungiku dan menginap selama satu minggu di rumah ini. Bila berkunjung kemari, kerja mereka hanya makan. Mereka selalu memuji masakan Farida yang memang enak. Dibandingkan denganku, kedua kakakku itu sepertinya lebih sayang pada istriku.

Tiba-tiba terdengar suara motor di starter. Cepat aku keluar, ternyata Farida sedang menghangatkan motornya. Kulihat Farida masih manyun, mungkin ia masih marah dengan kejadian tadi pagi.

"Mau kemana, Dek?" tanyaku penasaran.

"Pasar Malam," jawabnya singkat.

"Pasar Malam? Pasar Malam dimana, sih?" tanyaku lagi.

"Di lapangan deket perum Hijau Regency," sahutnya.

"Ha? Itukan jauh, Dek. Pakai motor kurang lebih 30 menitan," balasku tak percaya. Untuk apa ia pergi ke Pasar Malam yang lumayan jauh.

"Gak papa, aku pengen ke sana," imbuhnya.

"Ngapain sih, Dek? Pasti kamu tuh berburu jajanan di sana!" tuduhku.

"Biarinlah! Aku ke sana juga gak minta uangmu, Mas!" ketusnya.

"Kamu ke sana sama siapa?" tanyaku lagi.

"Sama Mila."

Seketika aku teringat ucapan Mbak Eka ditelpon, kalau aku harus menyenangkan istriku. Dari dulu, Farida memang senang jika ada Pasar Malam, mungkin masa kecilnya kurang bahagia. Juga aku teringat niatku untuk menjauhkan istriku dari pengaruh buruk Mila.

Ya, aku harus mengingatkan istriku untuk tidak lagi berteman dengan Mila. Aku tidak mau, istriku yang lemah lembut, dan dulu sangat penurut ini berubah jadi orang yang tempramen karena dipengaruhi si Mila.

Buru-buru aku matikan motor istriku, lalu ku bawa masuk ke dalam rumah. Farida yang melihat ku membawa masuk motornya, segera protes.

"Mas! Kamu ngapain sih? Aku mau pergi, kenapa motornya malah kamu bawa masuk rumah?!" gerutunya.

Aku tidak menjawab, cepat ku standarkan motornya. Kemudian aku membalikkan tubuh Farida, mendorongnya untuk masuk ke dalam kamar.

"Mas, kamu ngapain, sih!" tanyanya, ia melepaskan kasar pegangan tanganku di pundaknya.

"Pergi sama Mas!" ucapku, kupegang kembali kedua pundaknya.

"Beneran Mas?" tanyanya tak percaya. Kulihat matanya berbinar dan sudut bibirnya melengkung.

Aku mengangguk. "Mas tunggu di luar!"

"Lima menit," jawabnya antusias.

Aku menyambar jaket berbahan jeans yang tergantung di dekat lemari. Gegas aku keluar dari kamar, dan berjalan menuju teras. Ku nyalakan motorku kemudian mengelapnya. Ku tunggu istriku itu sambil melihat-lihat barang di market place. Ya, aku senang sekali berbelanja online. Tinggal pilih, pesan, dan barang akan dikirim.

Klek! Terdengar Farida mengunci pintu rumah dari luar. Kini, Farida sudah di hadapanku.

"Ayok, Mas!" ajaknya.

Ku tatap istriku itu dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Ia memakai tunik selutut berwarna navy dan hijab yang senada, serta bawahan celana panjang hitam. Sederhana sekali, tapi ku akui malam ini Farida sangat cantik. Pas sekali dengan kulitnya yang putih bersih. Aku sampai melongo dibuatnya.

"Mas! Ayok! Jadi berangkat tidak?" tanya Farida membuyarkan lamunanku.

"Ja—jadi, Dek!"

Cepat aku menaiki motorku, begitupun Farida yang segera duduk di jok belakang. Setelah siap, aku pun melajukan kendaraan roda dua ini dengan kecepatan paling kecil. Karena kalau ngebut, Farida akan mencubit perutku. Jadi, cari aman saja.

Di perjalanan, tiba-tiba Farida memelukku. Ia lingkarkan tangannya di depan perutku. Lantas, ku pegang kedua tangannya yang putih itu dengan tangan kiriku. Farida yang duduk dibelakangku, lalu menempelkan dagunya di cerukan leherku. Kurasakan pelukannya semakin erat. Aah, seperti ada gelenyar dalam hati ini.

Hal seperti ini sudah jarang sekali aku lakukan. Seingatku, terakhir aku membawa Farida keluar malam seperti ini ialah 6 bulan yang lalu. Saat Mbak Eka dan Mbak Sinta berkunjung ke rumahku.

Mereka memaksaku, untuk membawa Farida makan di luar. Saat itu makanan yang Farida masak, mereka habiskan hingga tak bersisa.

Ah, begitulah kelakuan kedua kakakku jika berkunjung, pagi siang malam hanya makan. Apa pun yang Farida buat, pasti mereka habiskan. Kalau diingat, memang kedua Mbak-ku itu menyebalkan.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Sendirinya menyebalkan malah nyalahin kakak2nya. Yg ksh pengaruh buruk dirinya ndiri malah nyalahin org lain. Nh manusia canggih bener
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status