Share

Bab.2

Pagi ini aku bangun jam 6. Menyambar handuk dan menuju kamar mandi. Namun, sepertinya Farida tidak ada. Kemana dia pagi-pagi begini

Aku mencarinya di dapur, tidak ada. Kucari di halaman belakang, juga tidak ada. Hanya ada jemuran yang berjejer rapi. Biasanya jam 5 pagi dia sudah membangunkan ku dengan berbagai cara.

Sekarang tidak lagi. Jemuran selalu sudah berjejer sepagi ini, dan Farida entah kemana. Aah, lebih baik aku mandi, jam setengah 8 aku harus segera berangkat.

Keluar dari kamar mandi, kulihat Farida sedang mengeluarkan barang-barang dari kantong kresek.

"Dek, kamu dari mana?"

"Dari pasar."

"Kok, gak minta antar Mas?"

"Aku bisa bawa motor sendiri, lebih cepet!"

Aku hanya mengangguk. Farida lalu mengeluarkan satu penggorengan baru.

"Kamu beli penggorengan baru, Dek?"

"Iyalah, penggorengan kemaren gosong! Mana bisa dipake lagi!"

Ya, kemarin saat kutinggal mandi, aku lupa mematikan kompor. Sampai penggorengan gosong, untung tidak terjadi kebakaran.

"Ya salah kamu, lagian mana pernah Mas nungguin jualan kamu!"

"Mas memang gak bisa diandalkan!" ketusnya. Ia lalu melengos. Aah dasar wanita, selalu merasa paling benar. Lantas aku ke kamar, bersiap untuk pergi bekerja. Setelah berpakaian rapi, aku kembali ke dapur.

Namun, di meja makan tidak ada apa-apa. Segelas susu jahe yang biasa Farida suguhkan tiap pagi pun tak ada. Aku menghela nafas, Farida kenapa sekarang seperti ini?

"Dek, bekal dan sarapan Mas kok gak ada?" Aku bertanya pada istriku yang sedang membereskan warungnya.

"Mas ada kasih uang?" tanyanya. Tangannya masih cekatan membersihkan kompor dan meja.

Aku tak menjawab, hanya mengusap tengkuk yang tidak gatal. Aku memang belum memberinya uang, sudah 10 hari aku belum memberikan nafkah padanya. Tapi 'kan ia juga tidak ada meminta, malah ia bisa membeli dispenser, motor, dan keperluan lain yang sudah habis.

"Mas beli saja di kantin pabrik! Uang 'kan dipegang Mas semua!" imbuhnya lagi.

Aku berbalik masuk rumah dengan gontai, kusambar tas kerjaku. Kemudian pergi ke dapur untuk sekadar minum. Saat tengah minum, ku lirik kresek belanjaan Farida banyak sekali. Lantas aku membukanya, hanya bahan-bahan untuk berjualan. Tapi, tunggu, mataku membulat sempurna, aku menemukan satu bungkus lontong ayam. Tega sekali Farida hanya membeli lontong ayam, itu 'kan makanan kesukaannya. Ia tidak membelikan nasi uduk kesukaan ku. Huh … mending kubawa saja lontong ayam ini. Cepat aku berpamitan pada istriku dan berangkat dengan motorku.

***

"Woy, tumben, seorang Risfan makan di kantin?" ucap Santo.

Saat sedang menikmati sarapan, datang kedua temanku. Santo dan Malik. 

Santo sudah menikah sama sepertiku, sedangkan Malik, dia jomblo sejati. Ya, dia masih asik sendiri. Padahal, jika dibandingkan dengan Santo, rupa Malik lebih tampan. Namun, jika dibandingkan denganku? Tentu aku yang lebih tampan dari mereka berdua.

"Farida lagi gak sempet masak!" jawabku cepat. Lantas ku teguk teh hangat yang terpaksa kupesan, karena istriku tidak menyiapkan apapun.

"Tumben? Bukannya Farida paling gesit soal masak?" Santo bertanya lagi tak percaya.

"Lagi gak sempet aja," jawabku lagi.

"Gak sempet, atau … lu gak kasih istri lu duit?" tuduh Santo.

Santo memang temanku yang paling kepo, berbeda dengan Malik yang sangat cuek dan dingin. Aku pun tak menjawab tuduhan Santo, karena yang dia tuduhkan adalah benar.

"Diam berarti bener, To!" celetuk Malik.

"Iyalah, sama kek istri gue. Kalo belum dikasih duit, gue cuma dimasakin tempe. Tapi, tetep gue makan. Karena gue sadar, duit yang nyisa cuma cukup buat beli tempe. Beda kalo gue udah kasih duit, apa aja dia masakin," imbuh Santo disertai tawa.

"Emang lu kasih istri lu berapa?" tanyaku pada Santo.

"Semua gaji, gue kasih!" jawabnya membuat ku menelan saliva. Semuanya dia bilang? Gajinya sebagai operator produksi sekitar 5 juta, dan dia bilang semuanya dia kasih pada istrinya. Malik hanya mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.

"Istri lu pinter ngatur duit?" tanyaku lagi.

"Gue gak tahu, yang penting kebutuhan rumah, istri dan anak gue terpenuhi. Tapi, dia pernah bilang, kalau duit yang gue kasih gak semuanya habis. Dia masih bisa tabung meski hanya satu juta per bulan. Tapi gue gak masalah, asalkan istri dan anak bahagia gue mah," jelasnya.

"Terus istri dan anak lu bahagia gak?" Kali ini Malik yang bertanya.

"Pastilah! Istri gue makin hari makin semox, anak gue makin gemoy, ha ha ha" Santo tertawa lepas. Malik hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan kepala.

Tiba-tiba obrolan ku dengan dua temanku harus berakhir karena bel masuk sudah berbunyi.

***

Sore ini Malik ikut pulang ke rumahku. Nanti malam adalah malam minggu, aku dan Malik akan begadang bertanding PlayStation. Santo tidak pernah ikut, ia bilang malam minggu dan hari minggu adalah waktu khusus untuk istri dan anaknya. Entahlah, kurasa dia hanya suami takut istri.

Sesampainya di depan rumah, kudapati Farida seperti sedang membuat pesanan. Namun tidak ada yang membeli.

"Assalamu'alaikum, Dek."

"Waalaikumsalam."

"Kamu buat pesanan siapa, Dek?"

"Temen-temen Mila," jawabnya singkat. Gegas Farida menuju rumah Mila, tetangga depan rumahku.

Lantas aku dan Malik masuk ke dalam rumah, Malik langsung duduk di ruang televisi. Sementara aku langsung mandi.

Selesai mandi, perutku mulai berontak. Aku membuka tudung saji, kosong. Aah, Farida masih belum kuberikan uang. Lalu aku mencari Farida ke teras, mungkin dia sedang ada pembeli. Ternyata Farida tidak ada.

Cepat aku menuju rumah Mila. Kupanggil istriku dan saat dia keluar kupegang tangannya, kubawa dia ke dalam kamar rumahku.

"Apa sih," tanyanya ketus.

"Dek, ini uang. Tolong beli nasi padang di jalan depan, sua bungkus, Mas laper, Dek!" ucapku seraya memberikan uang berwarna biru.

"Warungku?"

"Aman, Dek!"

***

Sekitar 10 menit, Farida sudah kembali. Aku memberikan satu bungkus nasi padang kepada Malik. Farida keluar dari dapur dan menyodorkan piring.

"Rida, makan." Malik menawarkan pada Farida.

"Sudah." Farida menjawab tanpa basa-basi. Seketika, Malik menoleh padaku. Farida kemudian berlalu keluar rumah, meninggalkanku dengan Malik.

"Rida kenapa Fan?" tanya Malik.

"Lagi … dapet." Aku menjawab asal, agar Malik tak curiga dengan sifat Farida barusan.

"Makan Lik!"

Malik hanya mengangguk.

Malik adalah teman satu kampung Farida. Malik juga yang sudah membawa Farida bekerja di garmen. Biasanya Farida sangat cerewet jika Malik kubawa ke rumah, tapi kali ini entah kenapa Farida sangat ketus pada Malik

Biasanya, Farida akan menjadi supporter ku saat melawan Malik bermain Ps. Ia juga akan membuatkan makanan camilan untukku dan Malik. Malam ini, sejak magrib tadi, Farida sudah menutup warungnya, ia mengurung diri di dalam kamar.

Hingga jam 12 malam aku dan Malik asik bermain Ps, Malik yang sudah tidak kuat, tertidur begitu saja. Sementara aku, melihat pintu kamar yang tertutup sejak tadi. Aku lantas melangkah menuju kamar, ternyata Farida mengunci pintunya.

Aku pun kembali ke ruang televisi. Dulu, jika jam 9 aku belum ke kamar, Farida akan merengek, merayu agar aku segera ke kamar, menemaninya mengobrol sebelum tidur, atau apapun.

Tapi kini … Farida tidak lagi seperti Farida ku yang dulu, Farida bukan lagi Farida ku yang manja.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
knp mmg gajinya gak d kasi istri...
goodnovel comment avatar
id.diana ishak
Thor updatenya... Sdah 5 bln blum update.... Klu xda pghujgnya mgapa harus publish novel ini??????????
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
oalaahhh begini yaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status