Share

Bab.5

Setelah 30 menit perjalanan, akhirnya aku dan Farida sampai juga di Pasar Malam. Ramai sekali pengunjungnya. Anak-anak, remaja hingga orangtua, semuanya mengunjungi Pasar Malam ini. Banyak juga orang yang berjualan.

Cepat Farida turun dari motor, aku pun mengikutinya. Farida lalu menggenggam tanganku untuk berjalan di sampingnya. Ia lalu menatapku dan tersenyum. Senyuman yang sangat manis, senyuman yang dulu membuatku jatuh hati padanya. Senyuman yang ku rindukan, dan aku baru melihatnya lagi malam ini.

"Mas, mau naik wahana apa?" tanyanya sumringah.

"Nggaklah, Dek. Mas mau duduk di situ saja." Ku tunjuk bangku panjang yang berada dekat pedagang minuman kekinian.

"Oh … ayok," ajaknya menarik tanganku.

Aku dan Farida lantas duduk. Raut wajah istriku itu terlihat sangat bahagia. Farida memperhatikan sekelilingnya, bibirnya tak henti tersenyum.

"Mas, tunggu sebentar!" perintahnya. Ia lalu pergi menuju pedagang permen kapas. Aku hanya menggeleng melihat kelakuannya. Ia lalu kembali dengan dua permen kapas di tangannya.

Ya Tuhan … kenapa istriku ini seperti kembali ke masa kecilnya? Kenapa dia membeli permen kapas? Banyak jajanan yang lain.

Farida lantas duduk kembali di dekatku. Ia membuka permen kapasnya yang dibungkus plastik besar.

"Mas mau?" tawarnya.

Aku mendecak. "Nggak, Dek."

"Enak loh, Mas. Aku waktu kecil suka sekali permen kapas seperti ini," ungkapnya. Farida memakan permen kapasnya dengan semangat.

"Itukan memang makanan anak kecil, Dek."

Permen kapas itu habis dalam sekejap, Farida lalu melumat jarinya.

"Mas, naik ombak banyu, yok," ajaknya.

"Gak mau," jawabku.

Sebenarnya, aku tidak suka pergi ke Pasar Malam begini. Tapi aku tidak mau membiarkan Farida mendiamkan ku karena kejadian tadi pagi. Juga demi menjauhkan Farida dari Mila, maka terpaksa aku pergi. Setelah pulang dari sini, aku akan berbicara pada Farida agar tidak lagi berteman dengan Mila.

"Kalau gitu, aku naik sendiri, ya, Mas!"

"Boleh, Dek."

Farida menyimpan tas selempangnya, lalu mendekati wahana ombak banyu. Ia membayar karcis dan mulai duduk. Sementara Farida menikmati permainan ombak banyu. Aku mengambil ponsel Farida di tasnya.

Tidak memakai sandi, aku jadi mudah membukanya. Aku lantas mengecek aplikasi berlogo huruf F, dan melihat pesan masuk. Tidak ada yang aneh, semua pesan dari temannya. Baik temannya dari kampung juga teman kerjanya dulu.

Sampai aku menemukan pesan dari akun yang bernama Sang Arjuna.

[Hai] dikirim seminggu lalu.

[Assalamu'alaikum] dikirim tiga hari yang lalu.

[Rida, aku harap kamu baik-baik saja. Meski kamu tidak pernah membalas pesanku, tapi aku tahu, suamimu itu tdk bisa membahagiakanmu] dikirim satu hari yang lalu.

Kurang aj*r. Siapa dia?

Cepat ku telusuri akunnya, foto profilnya membelakangi kamera semua. Tidak ada satupun foto yang menunjukkan wajahnya.

Ku lihat istriku, ternyata ia naik wahana kora-kora. Ku telusuri lagi pesan di aplikasi huruf F miliknya, ada lagi pesan dari Pencari Cinta.

[Rida] dikirim dua bulan yang lalu.

[Assalamu'alaikum, Rida] dikirim satu bulan yang lalu.

Dilihat dari pesannya, mereka sepertinya orang yang sudah dekat secara langsung dengan istriku, mereka memanggil istriku Rida. Aah, aku jadi penasaran siapa sebenarnya pengirim pesan-pesan ini? Karena pengirim pesan yang lain aku tahu siapa pemiliknya.

Saat sedang asik memeriksa ponsel istriku itu, aku sampai lupa keberadaannya. Ternyata ia sudah berdiri dihadapan ku.

"Mas, kamu ngapain ponselku?" tanyanya.

"E—nggak, Dek. Mas cuma lihat galerinya," kilahku. Cepat ku tekan tombol kembali.

"Oh … ya sudah, sini, kembalikan!" pintanya sambil mengulurkan tangannya. Aku kemudian mengembalikannya.

"Pulang, yok," ajakku.

"Pulang? Gak, aku masih pengen di sini, Mas!" jawabnya.

"Ngapain lagi sih, Dek?" tanyaku sedikit kesal.

"Aku masih mau naik wahananya, Mas. Seru, loh. Kamu kalau mau pulang, sana pulang aja. Aku bisa pulang sendiri!" jawabnya sambil berlalu. Ia lalu mendekati wahana bianglala. Aku terbelalak mendengarnya. Tak salah bicarakah dia? Ini sudah malam. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku bisa didamprat kedua Mbakku nanti. Ah, kenapa wanita ketika dituruti keinginannya, menjadi sangat menyebalkan!

Terpaksa aku memesan minuman rasa greentea. Entah kapan Farida akan pulang. Ini sudah jam 9 malam.

Sebenarnya, bisa saja aku meninggalkannya, nanti ia akan pulang dengan ojek online. Tapi, aku takut terjadi sesuatu pada istriku itu, biar pun kadang istriku menyebalkan.

Aku teringat ucapan Mbak Eka, bagaimana kalau Farida manja pada lelaki lain? Apalagi setelah ku lihat pesan di aplikasi huruf F tadi, dadaku jadi sesak. Mungkin saja ini rasanya cemburu. Tapi, aku tidak akan mengatakannya pada Farida. Bisa-bisa ia besar kepala.

Hingga minumanku tandas, Farida belum menampakkan batang hidungnya. Ya Tuhan … apa dia mau sampai pagi berada di sini? Lekas aku bangkit, mulai mencari keberadaan istriku. Saat tengah mencarinya, tiba-tiba ia muncul dihadapanku. Tapi … kenapa bersama Mila?

"Mas, Mas belum pulang?" tanyanya tak percaya.

"Dari tadi Mas nunggu kamu, Dek!" jawabku.

"Aku kira, Mas udah pulang. Tadi aku kebetulan ketemu Mila, jadi aku muter-muter dulu, Mas," jelas istriku itu.

"Mil, ternyata Mas Risfan nungguin. Kalau gitu, aku pulang duluan." Farida berpamitan pada Mila.

Mila mengangguk. "Hati-hati, Rida. Jangan ngebut, Ris!"

Farida melambaikan tangannya pada Mila dan mengajakku pulang.

Cepat aku menuju parkiran, mengeluarkan motorku, dan setelah Farida naik aku melajukannya. Karena sudah malam, aku melajukan kendaraan roda duaku dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba, sebuah cebutan mendarat di pinggangku.

"Add—duh. Apa sih, Dek. Sakit!"

"Pelan-pelan bawa motornya, Mas!" teriak Farida.

Seketika aku memelankan laju motorku. Meski jalanan lengang, tetap saja membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai rumah. Kalau saja ngebut, pasti bisa lebih cepat.

Setelah sampai di depan rumah, gegas Farida turun dari motorku. Ia lalu memutar anak kunci dan membuka pintu rumah. Lantas, aku segera memasukkan motorku ke dalam rumah. Farida duduk di kursi ruang tamu, tangannya memegang kresek hitam. Entah apalagi isinya. Sepertinya Farida sudah mengantuk. Setelah motorku aman, aku segera menutup pintu rumah dan menguncinya. Cepat aku ke kamar mandi untuk sekadar mencuci kaki dan tanganku. Ternyata Farida masih di kursi ruang tamu, gegas aku menghampirinya.

"Ini, Mas! Mas makan saja, aku capek, ngantuk," ucapnya, ia tutup mulutnya yang sudah menguap.

Aku menerima kresek hitam pemberiannya. Lantas aku membawanya ke dapur, membukanya dan ternyata, sate sapi kesukaanku. Cepat ku ambil piring, mencentong nasi dan menyiapkan air putih. Saat hendak menyuap, tiba-tiba aku teringat Farida. Lantas ku taruh kembali sendok yang hampir masuk ke dalam mulutku.

Aku lalu keluar dari dapur. Ternyata Farida sudah tertidur di kursi ruang tamu. Sepertinya Farida kelelahan. Aku lalu menggendongnya, membawanya ke dalam kamar. Kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur, ku buka hijab di kepalanya. Lalu menyelimuti tubuhnya.

Ku pandangi wajah cantik istriku yang kini sudah terlelap. Aku membungkukkan badanku dan mengecup pelan kening istriku. Aah, hal yang sudah jarang sekali aku lakukan padanya. Tidak ada tanda-tanda Farida terbangun karena kecupanku, lantas aku mengecup bibirnya. Manis sekali.

 Ah, cacing di perut rasanya mulai berontak. Terpaksa aku harus menegakkan badanku. Sebelum beranjak aku membisikkan sesuatu di telinga Farida 

"Selamat tidur, sayang."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Linawati Mamahe Is
kurang apa lagi punya istri kayak Farida,,hah..?! udah g ngasih nafkah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status