“Maaf jika saya datang tiba-tiba datang kemari Mbak Hannan. Perkenalkan saya Dewi,” ucapnya setelah duduk di ruang tamu sederhana kami.“Ya, saya cukup terkejut dengan kedatangan Anda,” jawabku tak ingin menyembunyikan keterkejutanku.“Apa Mbak Hannan tau siapa saya?” Ia langsung menoleh dan menatap tepat ke arahku setelah aku bersuara tadi. Tatapannya membuatku sedikit merinding. Bukankah ia buta? Tapi mengapa ia seilah sedang menatap tajam padaku?“Saya tau. Ada keperluan apa Anda datang ke kediaman saya?” Aku mengulangi pertanyaanku. Tak ada niatku sama sekali untuk menyuguhkan minuman pada kedua tamuku ini. Aku justru ingin mereka segera pergi dari rumahku sebelum anak-anakku menanyakan siapa mereka.“Mbak Hannan, bisakah Mbak tak terlalu bica formal? Agar kita bisa bicara dengan santai.”“Saya rasa tak ada yang perlu dibicarakan.”Wanita itu menarik napas panjang.“Baiklah, pertama-tama saya mau minta maaf pada Mbak Hannan karena sayalah yang menyebabkan Mas Randy mengajukan peng
Pagi ini, seperti biasa aku berangkat ke toko roti untuk bekerja dengan mengajak serta Zayn, bungsuku. Meski kadang aku kasihan melihatnya yang sehari-harinya hanya bermain sendirian di sudut toko roti ketika aku sedang bekerja, namun aku terpaksa melakukannya karena aku belum tega meninggalkannya di rumah seharian bersama abangnya.Zaid, putra sulungku terpaksa kulepas untuk tinggal di rumah ketika aku sedang bekerja karena aku tak mungkin membawa keduanya ke toko roti. Apalagi Zaid memang sudah duduk di kelas 1 SD dana sehari-harinya harus mengikuti pembelajaran jarak jauh. Zaid pun sudah memiliki ponsel sendiri untuk dipakainya mengikuti pelajaran. Beberapa hari lalu Bang Randy mengiriminya sebuah ponsel pintar dan sebuah mobil remote untuk Zayn. Aku tak kuasa menolaknya sebab saat itu kedua putraku terlihat sangat gembira membuka kiriman paket dari ayahnya. Maka aku memilih membiarkan mereka berdua menikmati kegembiraannya, tak apa bagiku, toh Zaid dan Zayn adalah putra Bang Randy
Sudah seminggu ini sejak percakapanku dengan dr. Rayyan pagi itu, setiap hari aku menerima buket bunga yang dikirim pria itu ke toko roti. Bu Sri dan rekan-rekanku di toko tak henti-hentinya menggodaku karena kiriman buket bunga dengan kartu ucapan berisi kalimat-kalimat penyemangat atau pun kalimat-kalimat romantis. Aku bahkan sudah tak peduli ketika kurir pengirim bunga datang ke toko mengantar buket bunga yang tak lupa diselipin beberapa batang coklat yang sepertinya sengaja diselipkannya di sana untuk Zayn. Justru beberapa rekanku di tokolah yang heboh dan antusias ketika kurir mengantar bunga-bunga itu.Akupun memilih membiarkan bunga-bunga itu dan tak membawanya pulang ke rumah, selain coklat yang biasanya langsung dicari Zayn disela-sela untaian bunga yang harum semerbak. Pria itu sendiri tak pernah lagi datang ke toko selama seminggu ini, namun ia selalu mengirim pesan padaku. Rupanya dr. Rayyan memperoleh nomor ponselku dari kontak person yang dipajang di iklan toko roti kami
Hari ini aku meminta izin pada Bu Sri untuk tidak masuk kerja. Semalaman tadi putra sulungku Zaid demam tinggi. Sejak bayi, Zaid memang sering mengalami demam tinggi, berbeda dengan adiknya Zayn. Padahal kedua putraku kubelikan ASI eksklusif saat mereka bayi. Tubuh Zaid pun terbilang lebih kurus dibanding dengan anak-anak seusianya. Sebaliknya berat badan Zayn justru terlihat lebih dari anak-anak seusianya.Semalaman tadi, selain demam tinggi, Zaid juga terus menerus mengigau memanggil-manggil ayahnya. Hal inilah yang membuatku sejak pagi tadi terus menerus memutar-mutar ponselku di tangan, terbersit niat untuk mengabari Bang Randy mengenai keadaan putranya, namun aku masih merasa enggan untuk berkomunikasi dengannya. Kuletakkan gawaiku ketika Zaid bergerak.“Ada apa, Nak?” tanyaku lembut sambil membetulkan letak kain kecil yang kugunakan untuk mengompress keningnya.“Abang haus, Bun,” gumamnya. Segera kusodorkan gelas berisi air minum yang memang sudah kusiapkan di atas nakas. Zaid m
PoV Rayyan.Tak pernah kubayangkan sebelumnya akan bertemu dengan orang yang sudah sekian lama kucari di sebuah toko roti langgananku. Hannan, begitu aku mengenal nama gadis kecil yang dulu pernah kujumpai di rumah sakit beberapa tahun silam. Gadis kecil yang kini sudah berubah menjadi wanita dewasa yang sangat anggun menurutku.Sejak kejadian kecelakaan yang menewaskan kedua orangtua gadis itu, sebenarnya aku selalu mencari keberadaan Hannan. Aku selalu merasa bersalah pada gadis kecil yang harus kehilangan kedua orangtuanya itu, secara tidak langsung, aku lah yang menyebabkan kecelakaan yang menewaskan orangtuanya terjadi.Waktu itu, aku sedang marah dan memilih pergi dari rumah. Aku marah atas kondisi keluargaku di mana ayah dan ibuku berpisah dan kemudian ibuku pergi meninggalkan kami. Aku tak tau apa yang menyebabkan ibuku pergi, aku hanya merasa aku menjadi korban atas keegoisan orangtuaku. Rasa kecewa yang menguasai hatiku membuatku memutuskan untuk kabur dari rumah. Tak ada ya
Pov Hannan.Meski masih merasa canggung, mau tak mau aku menerima semua bantuan yang ditawarkan dr. Rayyan padaku dan anak-anakku. Benar apa yang dikatakan Bu Sri waktu itu, aku tak boleh menolak uluran tangan orang-orang baik di sekelilingku, mungkin memang Allah yang mengirimkan semua untuk memudahkan langkahku ke dapan. Maka, aku sama sekali tak menolak ketika Rayyan menawarkan ruangan pribadinya untuk tempatku dan Zayn beristirahat, sementara putra sulungku Zaid masih menjalani perawatan.Aku tak membayangkan jika pria itu tak hadir pagi itu di depan pintu rumahku. Bagiamana kerepotannya aku menitipkan bungsuku dan mengurus sulungku yang tengah dalam kondisi sakit. Namun saran dr. Rayyan agar Zaid menjalani pemeriksaan lengkap terus terang saja menimbulkan rasa khawatir di dalam hatiku. Meski ia selalu berkilah bahwa ia tak bisa menyimpulkan apapun sebelum Zaid menjalani pemeriksaan dan hanya memintaku untuk terus memanjatkan doa bagi kesehatan putra sulungku itu, tapi aku melihat
PoV Randy.Ada rasa khawatir dalam hatiku ketika Hannan mengirim pesan dan mengabarkan jika putra sulungku Zaid sedang sakit demam. Sejujurnya aku adalah ayah yang sangat dekat dengan anak-anakku, hatiku selalu merindukan Zaid dan Zayn, kedua putraku. Saat bertugas di pedalamam Papua, setiap hari aku selalu dikekang oleh rasa rindu pada mereka, juga pada Hannan, Istriku. Tidak adanya signal telekomunikasi di sana benar-benar membuatku tersiksa oleh rasa rindu. Hal yang pertama kali yang akan kulakukan ketika ponselku bisa menerima signal saat aku berkunjung ke ibu kota kabupaten ataupun ke Kota Jayapura saat itu adalah menghubungi mereka melalui panggilan video. Momen saat Zaid dan Zayn berebutan ponsel untuk melihat wajahkuu di layar akan selalu jadi momen yang selalu kunantikan membuatku bahagia.Namun entah mengapa disaat aku sudah tak lagi bertugas sebagai aparat TNI setelah proses panjang dan meleahkan pengunduran diriku. Aku justru semakin jarang menelpon anak-anakku, padahal ak
Pov Hannan.Baru hari ke dua aku menemani Zaid di rumah sakit, fisikku sudah terasa sangat lelah. Bagaimana tidak, aku harus bolak-balik dari ruang rawat Zaid ke lantai 7 di mana aku menitipkan Zayn di ruangan pribadi dr. Rayyan. Beruntung Rayyan menyuruh salah seorang perawat yang stanby di ruangan Zaid dan menugaskan Mbak Ria untuk ikut menginap di ruangannya menjaga Zayn. Sementara Rayyan sendiri memilih tidur di ruang prakteknya.“Maaf ya, Ray. Aku sudah sangat merepotkanmu,” ucapku saat ia kembali memeriksa Zaid.“Sudah kubilang jangan merasa seperti itu. Oiya, sekarang kondisi Zaid stabil ya, demamnya pun sudah turun. Kita akan melakukan beberapa pemeriksaan berikutnya untuk memutuskan tindakan apa yang akan diambil setelah ini,” jawabnya sambil tersenyum ke arah Zaid.“Zaid sudah sembuh, Om Dokter? Kalau begitu sekarang sudah boleh pulang dong,” tanya Zaid padanya. Bocah itu kelihatannya sudah sangat akrab dengan Rayyan yang dipanggilnya Om Dokter.“Iya, demam Zaid sudah turun.