Akhirnya hari yang benar-benar mendebarkan itu pun tiba. Aku menunduk dengan wajah tegang sesaat sebelum Rayyan mengucapkan ikrar ijab kabul padaku. Hingga akhirnya kalimat sakral itu benar-benar terucap lantang dengan sekali tarikan napas dari Rayyan. Aku menangis tergugu. Zayn yang sedari tadi terus duduk di sampingku pun ikut menangis saat melihatku meneteskan air mata, sampai-sampai Bu Wulan harus menggendongnya keluar ruangan untuk membujuknya.Semua terasa seperti mimpi bagiku. Mimpi yang sangat indah. Ya Allah, jika ini hanya mimpi, jangan bangunkan aku, aku ingin merasakan mimpi indah ini lebih lama lagi. Tapi sentuhan lembut Rayyan di tanganku membuatku tersadar bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata, dan aku sekarang sudah resmi menjadi istri dari pria yang sedang menggenggam lembut tanganku itu, Rayyan Al Fatih.Kuberanikan diri mendongakkan kepalaku, menatap pria yang mulai sekarang akan menjadi imamku itu. Ray pun sedang menatapku, tatapan yang penuh cinta, setetes bening juga
Sekali lagi aku dibuat terpukau dengan dekorasi mewah di ballroom sebuah hotel bintang lima di mana resepsi diadakan. Semua terlihat begitu sempurna oleh sentuhan tangan pihak Wedding Organizer yang didapuk oleh Pak David untuk menangani pesta ini. Aku benar-benar merasa bak seorang ratu sehari, meski sebenarnya hatiku merasa tak nyaman karena tak sepantasnya aku mendapatkan pesta semeriah ini untuk penikahan keduaku.Namun aku juga sadar posisi Rayyan, ia putra tunggal dari Pak David, dokter senior yang bukan hanya sekedar dokter tapi juga memiliki saham di Health Hospital serta memiliki beberapa apotek besar yang dikelola oleh karyawan-karyawan kepercayaannya. Jangan lupakan pula posisi penting Ray di Health Hospital sebagai Direktur Utama. Maka pesta semewah ini kurasa bukanlah hal yang besar bagi mereka. Bahkan justru keharusan karena tamu yang datang pastilah bukan dari kalangan orang biasa. Berbeda sekali denganku yang hanya seorang wanita biasa yang sebatang kara dan berstatus
Pria paruh baya itu terkekeh, kemudian melangkah menjauh tanpa menoleh padaku sama sekali.“Siapa dia, Ray?”“Om Bram. Papinya Nadine. Papa yang mengundangnya.”“Kamu nggak boleh bersikap seperti tadi, Ray. Bagaimana pun ia adalah tamu kita.”“Dia merendahkanmu, bagaimana bisa aku bersikap ramah padanya.”“Tapi dia rela datang jauh-jauh ke resepsi kita, Ray. Kurasa itu sangat patut diapresiasi.”“Karena ia akan jadi perbincangan di kalangannya jika ia tak hadir, Han. Jadi ia pasti akan hadir demi menjaga namanya dan agar ia tak kehilangan muka setelah kekalahannya olehku dalam pemilihan direktur kemarin.”“Apa duniamu seribet itu, Ray? Aku belum memahami duniamu.”“Tak perlu memaksakan diri, Han. Kamu hanya perlu memahami semua yang ada di tubuhku.” Ray mulai menggerakkan alisnya naik turun.“Mau ditimpuk?”“Jangan dong, nggak lucu kan kalau kita timpuk-timpukan di pelaminan.”Kami tertawa bersama, kemudian Ray kembali meraih tanganku ke dalam genggamannya.“Mulai sekarang aku bisa me
PoV Rayyan.“Bunda kenapa kunciin Zayn?” Suara Zayn ketika Hannan membuka pintu. Kulihat Hannan menunduk dan meraih tubuh mungil Zayn.“Maaf, ya, Nak. Bukan Bunda yang ngunci pintu tadi, Bunda enggak mungkin ngunciin Zayn.” Hannan membelai kepala Zayn.Zayn yang masih sesegukan seketika menoleh padaku.“Om Doktel kenapa kunciin Zayn?” Tatapan bocah itu penuh amarah padaku. Astaga! Hannan. Teganya ia membuatku jadi tertuduh, padahal memang akulah yamg mengunci pintunya tadi.“Nak, nggak boleh gitu, Om Dokter pasti enggak sengaja tadi.” Hannan masih membujuk, aku hanya menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal.“Zayn mau pulang! Zayn enggak mau di sini! Kita pulang ke rumah kita, Bun,” pinta Zayn.Aku bejalan menghampirinya.“Maafkan Om Dokter ya, Zayn. Tadi enggak sengaja ngunci pintunya. Sini Om Dokter gendong.” Aku mengulurkan tanganku padanya. Zayn justru mundur dan semakin memeluk bundanya.“Enggak mau! Om Doktel jahat! Om Doktel mau ambil Bunda! Zayn nggak mau tinggal di sini
PoV Hannan.“Zayn udah tidur?” Ray kembali muncul di depan pintu. Aku mengangguk pelan. Aku sendiri sedang duduk di tepi tempat tidur di mana Zayn telah tertidur lelap di sana.Ray ikut duduk di sampingku, kemudian melingkarkan lengannya di sepanjang bahuku. Sentuhan ringan, namun sanggup membuatku merinding. Entah mengapa sejak tadi sentuhan ringan Ray selalu membuatku meremang tanpa ampun.“Riasannya udah dirapiin? Kamu udah mandi?” bisiknya, embusan napas hangatnya menerpa kulit leherku. Tangannya meraih handuk kecil yang kupakai untuk menutupi rambutku setelah keramas tadi.“Diurai aja rambutnya, Sayang. Aku ingin melihatnya.” Ray kembali berbisik. Ini memang kali pertama ia melihat rambut panjangku.“Cantik sekali istriku. Aku suka dengan rambut panjangmu ini.” Ray meraih beberapa helai rambutku dan menghirupnya dalam-dalam. Aku semakin bergidik.“Zayn benaran udah tidur?” Ray melongokkan kepalanya ke belakang untuk melihat Zayn. Itu membuat ujung hidung mancungnya menyentuh lehe
“Hannan? Hannan kamu kemari? Kamu pasti juga merindukanku, kan?” Aku berjalan sempoyongan ke arahnya.“Maaf, Pak. Ini ada berkas penting yang harus ditandatangani.”“Hannan ...,” gumamku. Aku berjalan sempoyongan menghampirinya, namun tubuhku hampir ambruk sebelum tiba di hadapannya. Dengan sigap ia menopang tubuhku.“Pak ... Pak Randy! Bapak kenapa? Bapak mabuk?” Suaranya lembut dan sepertinya ia panik melihatku. Tap mengapa ia masih saja memanggilku Pak Randy?“I—ini saya mau minta tandatangan, Pak. Saya sengaja lembur hari ini, karena ... karena besok saya berencana mau izin dulu. Saya mau menemani ... Ibu saya cek up ... ke ... dokter.” Suaranya terbata-bata karena ia masih menopang tubuhku, sementara aku mulai mengendus-endus aroma tubuhnya.“Aku ... tak mengerti apa yang kamu katakan. Ayolah Bunda. Jangan membahas apapun ... bukannya Bunda ke sini karena merindukanku?” Tanganku mulai menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Ia menggeliat berusaha melepaskan tanganku yang telah hingga
Kupungut pakaianku di lantai dan memakainya. Lalu aku seolah tersengat ribuat volt aliran listrik ketika netraku menangkap sesuatu di sofa. Bercak darah!“Aaarrggghhhh!” Pekikku. Suaraku terdengar menggema di ruangan kerjaku. Kali ini aku yakin jika aku telah melakukan kesalahan.“Sial!! Ini semua gara-gara minuman haram ini!” Kulempar botol minuman ke dinding ruanganku hingga menimbulkan bunyi nyaring khas benda pecah.Tunggu! Aku seperti pernah mengalami ini. Aku teringat saat Hannan melempar gelas hingga pecah berkeping-keping di rumah kami saat aku meminta izin padanya untuk menduakannya. Semua ini gara-gara Hannan! Aku mabuk karena ingin menghilangkan kegalauanku di hari pernikahannya kemarin.“Argghhh!!” Aku meremas rambutku sendiri. Hannan saat ini pasti sedang berbahagia sedangkan aku justru terpuruk, parahnya lagi keterpurukanku harus mengorbankan Sherin yang tak tau apa-apa. Satu lagi botol minuman kulempar ke dinding hingga pecah. Ruanganku kini benar-benar terlihat beranta
PoV Hannan.Aku sudah mulai terlelap di tengah dekapan tangan mungil dan tangan kekar yang melingkari tubuhku ketika napas berat kembali berembus mengenai pipi dan leherku. Dengan berat aku kembali berusaha membuka mataku, meski sebenarnya tubuhku sudah lelah setelah menjalani serangkaian acara hari ini. Manik mata tajam itu kembali menatapku tajam. Tangan Ray pun kembali membelai-belai pipiku.“Mmmm ... belum tidur, Ray?” gumamku.“Loh, kan tadi udah janji mau pindah ke kamar sebelah, Han.”“Ta—tapi aku lelah dan sudah sangat mengantuk.” Aku kembali menggumam.Aku merasa tubuh Ray semakin mepet, sebagian tubuhnya kini malah tengah menindihku. Embusan napasnya pun terasa semakin berat.“Padahal aku udah nungguin loh, Bun. Tadinya juga udah ngantuk tapi aku tahan. Ayo dong, Bun.” Ray menggumam, kali ini aku kembali merasakan sesuatu yang lembut, tebal dan basah menyentuh bibirku.“Aku manggil kamu Bunda juga, ya. Biar sama dengan Zayn,” Ray menggumam lirih, namun bibirnya belum juga be