Share

IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK
IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK
Author: Siti Aisyah

Penolakan

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2023-07-24 15:50:34

"Nggak bisa, Bu. Aku dan Mas Wirya sibuk,"

Aku hanya bisa menghela napas berat mendengar ucapan Nella saat aku mengutarakan maksudku untuk ikut tinggal di rumahnya yang sangat besar itu.

"Ibu tidak akan merepotkanmu, Nak. Ibu masih bisa melakukan apa-apa sendiri." Aku mencoba menawar penolakannya berharap ia berubah pikiran.

Setelah suamiku meninggal, aku tinggal sendiri. Kesepian, tiada yang menemani. Anakku yang berjumlah tiga sudah menikah dan punya kehidupan masing-masing. Apa aku salah jika ingin ikut dengan salah satu dari mereka?

"Enggak bisa, Bu. Lagi pula anak Ibu bukan hanya aku. Ada Mas Erwin juga," imbuh Nella dengan mata tetap fokus pada layar ponsel di depannya.

Aku memejamkan mata. Anak perempuan yang selama ini kumanja dan kubanggakan sama sekali tidak peduli denganku. Apakah dia tidak ingat, kios yang menjual ponsel beserta aksesorisnya serta pulsa dari semua operator itu modalnya dariku dengan menjual sawah?

"Sudah, ya, Bu. Sebaiknya Ibu ikut Mas Erwin saja. Dia anak laki-laki. Dia yang lebih punya kewajiban menampung Ibu sekarang." Anak perempuan yang telah memberiku dua orang cucu itu menatapku sebentar lalu kembali fokus dengan ponselnya.

Benarkah seperti itu? Anak laki-laki lebih berkewajiban merawat ibunya daripada anak perempuan?

Dengan langkah gontai aku meninggalkan rumah mewah berlantai dua itu. Kuurut leherku karena kerongkongan yang terasa kering. Perutku berbunyi seolah cacing-cacing di dalam sedang protes tidak ada makanan yang masuk. Tadi Nella tidak menyuguhkan minuman apalagi makanan.

Air mataku mengalir seiring gerimis yang mulai membasahi bumi. Dadaku terasa sesak kala ingat betapa cueknya Nella pada wanita yang sudah melahirkannya ini. Tidak adakah rasa rindu di hatinya setelah sekian lama tidak bertemu? Oh, bahkan ia tidak menyalamiku apalagi me me lukku saat aku datang tadi seolah ibunya ini adalah orang asing.

Dengan menaiki ojek aku sudah sampai di tempat tinggal Erwin satu jam kemudian.

Senyumku mengembang melihat rumahnya yang mewah serta halamannya yang asri dengan aneka tanaman bunga. Aku pasti betah tinggal di sini.

Dengan semangat aku mengetuk pintu, berharap anak yang selalu kuturuti semua permintaannya itu akan menyambut kedatanganku dengan bahagia.

Terdengar derap langkah kaki sebelum akhirnya pintu terbuka. Bukan Erwin yang ada di sana, tetapi Diana--istrinya yang menyambutku. Ah, aku lupa kalau sekarang Erwin masih bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji besar seperti yang pernah ia katakan.

"Ibu? Ada perlu apa Ibu datang ke sini?" tanya Diana tanpa mempersilakan aku masuk terlebih dahulu.

Mengelus dada aku mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut menantu yang selama ini selalu kubanggakan karena anak orang kaya itu.

"Ibu kangen dengan anak dan cucu," jawabku dengan bibir bergetar.

Diana menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Terus, kenapa Ibu bawa tas gede kayak gitu? Ibu mau menginap di sini?"

Kulirik tas jinjing berisi pakaian yang kuletakkan di lantai. "Iya, Di. Bukan hanya menginap, tetapi Ibu ingin__

Aku belum selesai bicara saat sebuah mobil hitam memasuki halaman dan tidak lama kemudian sang empunya keluar. Dialah Erwin, anak laki-lakiku yang paling tampan.

Rasa rindu seketika membuncah dalam dada melihat anakku itu sekarang terlihat gagah dengan kemeja polos warna biru laut yang lengannya dilipat sampai siku. Wajahnya terlihat semakin menawan dengan dagu kebiruan bekas dicukur. Sungguh, aku ingin segera meme luknya.

Akan tetapi, semua tidak sesuai ekspektasi. Anak yang dulu kususui hingga dua tahun lamanya itu menolak saat kuutarakan maksudku untuk ikut tinggal bersamanya.

"Maaf, Bu. Aku nggak bisa menerima Ibu ikut tinggal di sini. Diana tidak mau ada orang asing di rumah kami," kata Erwin.

Mataku terasa panas. Sakit dan nyeri hati ini. Dia bilang wanita yang sudah melahirkan ini adalah orang asing? Sungguh teganya dia. Apakah lupa, dia bisa membangun rumah berlantai dua ini karena menjual dua petak sawah yang kupunya demi menuruti permintaan istrinya?

Air mata yang meleleh di pipi adalah pertanda kalau aku sangat kecewa. Di saat aku sudah tidak punya apa-apa, mereka mencampakkan aku begitu saja. Iya, belum lama ini suamiku meninggal, sisa sawah yang masih ada sudah terjual untuk bayar utang dan biaya pengurusan jenazah yang tidak sedikit. Rumah yang kupunya juga sudah dijual untuk bayar utang.

Ke mana aku harus pergi?

Sebenarnya masih ada satu anak lagi yang belum kutemui. Dia adalah anak bungsuku bernama Nasrul, tetapi rasa ragu merajai hati untuk bertemu apalagi mengutarakan maksud tinggal bersamanya.

Anak yang selama ini kusayang dan kuberi modal untuk berumah tangga saja tidak mau menerimaku apalagi dia yang selalu ku abaikan?

Di antara anak-anakku hanya Nasrul yang tidak mendapat bagian sawah dariku. Aku tidak pernah merestui pernikahannya dengan Arum yang berasal dari orang miskin.

Suatu ketika Nasrul datang ke rumah mau pinjam uang untuk biaya anaknya di rumah sakit, tetapi kutolak mentah-mentah. Namun, pada akhirnya aku tidak tega. Aku bersedia memberinya pinjaman asalkan mau menceraikan Arum dan menikah dengan wanita pilihanku, tetapi dia menolak. Entah kenapa dia malah memilih si Arum yang orang miskin itu.

Dari tiga bersaudara, hanya Nasrul yang tidak punya rumah dan kubiarkan saja dia mengontrak dan tidak tahu kerja apa dia sekarang.

***

Aku duduk termangu di pinggir jalan sepulang dari rumah Erwin. Kuraba perutku yang keroncongan. Kuambil dompet dan membukanya. Syukurlah masih ada uang meski tidak seberapa.

Air liurku menetes saat melihat penjual nasi goreng di pinggir jalan. Sepertinya enak, tampak beberapa pembeli yang sedang antri menunggu pesanannya diantar.

Aku memasuki warung tenda yang tidak begitu luas itu. Bau harum nasi goreng yang khas menusuk hidung. Segera aku duduk di salah satu bangku kosong.

Setelah para pelanggan mendapatkan pesanannya, kini giliran aku yang didekati sang penjual untuk ditanyai nasi goreng seperti apa yang aku mau.

"Ibu?" kata penjual nasi goreng seolah terkejut melihatku.

Aku mendongak menatap lelaki di hadapanku yang memakai masker itu. Betapa kagetnya aku saat masker itu dibuka ternyata dia adalah Nasrul, anak bungsuku yang sangat kubenci.

Segera aku berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu, tetapi Nasrul menahannya.

"Tunggu, Bu. Kenapa Ibu bisa ada di sini? Ibu mau ke mana? Dan kenapa Ibu membawa tas yang begitu besar?" tanya Nasrul seraya meraih tanganku.

Aku menunduk. Bulir bening ini menetes begitu saja membasahi pipi kala ingat anak-anak yang telah tega mengusirku. Seandainya Nella atau Erwin mau menerimaku, pasti aku tidak perlu ada di sini dan bertemu Nasrul.

Dengan bibir bergetar aku menceritakan semuanya karena Nasrul terus memaksa.

"Astagfirullah, jadi sekarang Ibu tidak punya tempat tinggal?"

Aku mengangguk lemah. Malu, Nasrul pasti sedang menertawakan aku dalam hati.

"Kalau mau, Ibu bisa ikut tinggal bersama kami,"

Aku mendongak. "Apakah kamu tidak keberatan menampung ibu yang selalu jahat padamu, Rul? Memangnya kamu tidak marah dan dendam pada Ibu?" tanyaku lirih.

Nasrul tersenyum. "Sampai kapan pun aku tetap sayang pada Ibu."

Aku tidak tahan untuk tidak me me luknya. Anak yang selama ini kubenci mau menerimaku sedangkan anak-anakku yang lain yang dulu kusayang malah tidak peduli.

"Ibu tunggu di sini biar kuambilkan makan dulu dan setelah ini kita pulang agar Ibu bisa istirahat," ujarnya seraya menuju dapur di warungnya.

Kutatap punggungnya dengan hati nelangsa. Di saat anak yang lain kuberi modal banyak untuk usaha, dia hanya menjadi penjual nasi goreng.

Seketika rasa penyesalan itu muncul begitu saja. Andai waktu bisa kuputar ulang, tidak akan kusia-siakan dia.

Nasrul mengajakku naik ke atas motornya. Jantungku berdebar tidak karuan saat dalam perjalanan. Nasrul memang sudah menerimaku, tetapi bagaimana dengan istrinya yang dulu selalu kuhina habis-habisan?

Bagaimana kalau dia masih sakit hati dan tidak mau menerimaku?

"Ini rumahku, Bu. Maaf, rumahnya kecil." Nasrul menggandeng tanganku dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mengetuk pintu seraya mengucap salam.

Aku melengos saat pintu terbuka dan mendengar jawaban salam dari orang yang sangat kubenci itu.

"Ibu?" ucap Arum. Aku tidak berani mendongak.

Aku kaget saat tiba-tiba wanita itu meme lukku. "Alhamdulillah, kalau Ibu mau tinggal bersama kami. Tadi Mas Nas sudah bilang melalui telepon."

Ya Allah, ternyata Arum sama sekali tidak membenciku. Mataku panas seiring air mata yang mengalir deras.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Asnidar Ummu Syifa
dimana-mana juga anak bungsu yg jadi kesayangan ini kok kebalik
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Allah tegur Ibu nya ,Krn menghina orang miskin dan mendolimi anak sendiri.
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
Arum ............
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Bahagia

    Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Selamatkan Anakku

    "Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Dia Datang

    Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Telanjur Sayang

    Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Kesanggupan

    "Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Secuil Harapan

    "Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status