"Apa? Mama jatuh di kamar mandi? Kok? Terus? ... Oke ... ya, aku ke sana. Sekarang!" Vernon menutup telpon dan dengan cepat bangun dari kursinya. "Mas, Ibu Savitri kenapa?" Adisti meminta penjelasan. "Sambil jalan saja aku bicara," jawab Vernon. Adisti batal masuk ke kamar. Dia memanggil Ambar dan Vina. DIa menitipkan lagi rumah pada mereka. Lalu dia bergegas menyusul Vernon. Perjalanan mereka menuju ke rumah keluarga Hardianata. Jujur, dada Adisti berdegup begitu kencang. Kedua orang tua Vernon tidak menyukainya. Mereka belum memberi restu hubungan Adisti dan Vernon. Apa yang akan mereka katakan begitu melihat Adisti datang? "Ya Tuhan, kenapa ada saja kejadian? Kuharap Mama baik-baik saja." Vernon berkata dengan gelisah. Sementara dia terus melaju dan lebih mempercepat kendaraannya menyusuri jalan. Dengan tergesa-gesa, Vernon setengah berlari masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai dua menuju kamar orang tuanya. Adisti berhenti di ruang tamu, dia tidak ikut naik. Ada rasa gelisah
Adisti terkejut dengan pertanyaan yang Savitri ajukan. Dia bingung juga mau menjawab apa. "Ma, ga kepikir bawa apa-apa. Dapat kabar mengejutkan, aku ajak saja langsung ke sini." Vernon membantu menjawab. "Aku ga bicara sama kamu, Vernon. Aku bicara sama dia. Siapa namamu? Adisti?" Savitri menatap lagi ke arah Adisti. "Benar, Bu. Saya Adisti." Adisti maju dua langkah lebih mendekat. Sedikit degdegan juga, tapi Adisti harus bisa mencuri hati calon mertuanya. Dia bukan menantu idaman, jadi harus tahu bersikap. Varen yang ada di sebelah Savitri terus saja memandang Adisti. Jujur, tatapn itu membuat Adisti sedikit kikuk. Apa yang Varen lihat dari dirinya? Adisti merasa ini bukan kali pertama Varen melakukannya, mencermati Adisti lekat-lekat."Kamu yang membuat aku sampai sakit. Tekanan darahku drop. Gara-gara aku mikir Vernon. Kenapa bisa dia memilih kamu? Aku sama sekali tidak habis pikir." Savitri tidak mau berbasa-basi. Dia mengutarakan kegeramannya. "Sayang, tahan. Kamu masih dalam
"Ya. Seandainya Elita masih ada, dia pasti sebesar Cia. Pintar, lucu, lincah, dan cantik." Vernon membawa pikirannya pada keponakannya, anak Virda. Varen terdiam. Vernon benar. "Cia tidak mendapatkan kasih sayang utuh sejak dalam kandungan. Dia hidup ala kadarnya karena keadaan. Sedang Elita, segala yang terbaik dia dapatkan sejak dalam kandungan. Tapi Tuhan tidak mau dia lama di dunia ini. Apa salah, jika aku mewujudkan hidup yang lebih pantas Cia terima?" Panjang lebar Vernon bicara. Varen menarik napas dalam. Sejauh itu Vernon berpikir. Sama sekali tidak Varen duga. "Pa, apapun kesalahan yang terjadi di masa lalu Adisti, Cia tidak harus memikulnya. Dia layak mendapat kasih yang terbaik, perhatian penuh, agar tumbuh dengan baik, dan tidak akan mengulangi hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi padanya." Vernon melanjutkan. Varen memandang Vernon. Hatinya mulai lega, terbuka, tapi belum langsung mengiyakan. Dering ponsel Vernon terdengar. Vernon mengangkatnya. Dari nomor Hanny.
Mata Adisti menatap Vernon, tak berkedip. Ya, tentu saja jika Vernon ingin menikahi Adisti, dia harus juga minta restu dari orang tua Adisti. Tapi, Adisti bahkan belum memikirkan itu. Dia terus menyisihkan bagian itu dari hidupnya. Dia belum siap menghadapi orang tuanya. Terlebih ayahnya."Sayang ..." Vernon menepuk pelan pipi Adisti. Lembut, halus, itu yang Vernon rasa di kulitnya."Mas membuat aku kaget, serius." Adisti berkata pelan."Kamu masih ragu?" tanya Vernon."Aku ga ragu dengan rasa sayang Mas Vey sama aku. Aku, aku ragu ... apa Ayah dan Ibu akan mau menerimaku lagi." Gundah mulai merambah hati Adisti."Dis, tidakkah kamu pernah berpikir kalau orang tuamu sangat rindu kamu pulang? Tidakkah kamu juga berpikir, mereka sudah memaafkan semua kesalahan yang lalu dan berharap kamu bisa mereka peluk lagi?" Vernon kembali meraih tangan Adisti dan menggenggamnya erat.Adisti ingin menangis mendengar yang Vernon katakan. Dia harus berani beranjak dari sisi gelap itu, mengalahkannya,
Vernon ada di belakang Hanny. Dia pun terkejut mendengar Adisti berteriak. Bahkan dia mulai menangis dalam pelukan Ernita. Vernon berjalan mendekat. Dia menepuk punggung Adisti. Adisti mengangkat wajahnya dan melihat Vernon. "Mas Vey ..." Ernita melepas tangannya. Vernon yang ganti memberikan pelukan buat Adisti. Tangis Adisti berlanjut. Hatinya perih. Setelah sekian lama tidak ada komunikasi dengan keluarganya, kabar mengejutkan datang. Ayahnya tertangkap karena melakukan korupsi sampai masuk ke berita di TV. Sangat, sangat mengejutkan! "Aku harus pulang, aku harus pulang!" Adisti berkata sambil terus menangis. Dia bisa membayangkan ibunya akan panik dan kebingungan. Bagaimana nasib Ibu dan Adinda jika ayah ditahan? Adisti seharusnya ada bersama mereka. Adisti harus pulang! "Kamu beneran mau pulang?" tanya Vernon. "Iya, Mas. Aku harus ada buat Ibu dan Dinda. Mereka pasti ga karuan dengan situasi ini," jawab Adisti. "Ya Tuhan ... Ya Tuhan ...." "Kapan kamu mau berangkat?" tanya
Wanita itu tidak langsung menjawab. Dia tidak tega ingin mengatakannya. Melihat Adisti yang tampak sangat terpukul, rasanya lebih baik dia menutup mulutnya. "Bu, katakan sama aku. Apapun itu, kumohon kasih tahu aku," ucap Adisti. "Adinda, dia ... terjatuh dari lantai dua, kepalanya membentur aspal, tidak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian dia meninggal." Dengan sedikit terbata wanita itu menyampaikan kisah tragis Adinda. Adisti tidak tahan mendengar itu. Dia menangis seketika. Vernon memeluk Adisti erat. Tubuh Adisti lunglai, seperti tidak ada daya. "Maaf, Disti. Maaf, harus seperti ini yang kamu dengar saat kamu pulang." Ada rasa perih di dada si ibu yang sudah mulai beruban itu melihat Adisti hancur hati. "Adis ... Adis ...." Vernon mengusap-usap punggung Adisti. "Ya Tuhan ... kenapa begini? Ya Tuhan ...." Adisti tak bisa menahan diri lagi. Lemas, sedih, dan kecewa, semua tumpah ruah di dadanya. "Bu ... di mana makam Dinda? Aku mau ... lihat ke sana." Di tengah isak tangis,
Ibu berdiri, menatap Felicia dengan wajah tak percaya. Dengan mata berair dia berjalan menghampiri Felicia yang ada di sebelah Vernon. "Ini ... ini cucuku?" Ibu mengulurkan tangan dan meraih lengan gadis kecil, cantik dengan mata bulat lentik itu. Rambut hitamnya panjang lurus, tebal, dan indah. Ibu menoleh pada Adisti. "Ini cucuku?" "Iya, Bu. Felicia Lovelita. Aku memanggilnya Cia." Adisti melangkah mendekat dan berhenti tiga langkah jaraknya dari Ibu. "Cantik sekali." Ibu sedikit menunduk. "Nduk, ini Eyang Putri. Ini nenek kamu." "Nenek? Ini nenek aku juga?" Felicia mengarahkan mata pada Adisti. Adisti mengangguk. "Iya, Sayang. Ini Ibuku, nenek kamu." "Sini, Nduk, aku peluk kamu." Ibu merentangkan kedua tangannya. Sedikit ragu, Felicia maju. Dia membiarkan Ibu memeluknya erat sambil menangis. Haru bercampur sedih menjadi satu di hati Ibu dan Adisti. Itu pula yang Vernon rasakan. "Terima kasih, Tuhan. Kau pelihara putriku dan cucuku. Akhirnya aku boleh melihat mereka, memeluk
"Adistya ...?" Varen tak berkedip memandang ibu Adisti. "Mas Varen?" Panggilan itu membuat Vernon dan Adisti mengerutkan kening. Mereka lekat-lekat menatap Adistya. Ibu Adisti mengenal ayah Vernon? "Ini kamu? Adistya? Ini kamu?" Tatapan itu, tatapan Varen, menghujam pada dua mata sayu Adistya. "Iya, Mas ..." Adistya seketika menumpahkan air mata. Dia menunduk dalam-dalam dan melepas tangisnya. "Ibu ... kenapa?" Adisti menjadi bingung. "Pa? Ada apa sebenarnya?" Vernon pun terlihat bingung dengan dua orang tua mereka. "Akhirnya aku melihat kamu lagi. Ke mana saja kamu selama ini? Aku tidak pernah mendengar kabarmu. Adis ... kamu ..." Varen bicara meskipun tidak tampak lagi wajah Adistya di layar kaca. "Papa, Papa kenal Bu Tya?" Vernon tidak sabar. Dia bertanya dan ingin segera mendapat jawaban. "Aku ... aku minta maaf ... Aku ... minta maaf, Mas." Adistya masih belum bisa menghentikan tangisnya. Suaranya tersendat-sendat karena sesenggukan. Suaranya begitu memilukan terdengar.