"Itu rumahku, Om! Besar!" Felicia dengan wajah gembira menunjuk rumah besar di ujung jalan yang tinggal seratus meter di depan mereka. "Kos Ibu Meity?" Vernon membaca papan nama di depan rumah besar itu. "Iya, Pak. Ibu Meity pemilik kos-kosan wanita ini. Aku beruntung bisa tinggal di sini gratis. Dia jadikan karyawan saat pertama masuk ke rumah ini." Adisti menjelaskan. "Ah, begitu. Ramai berarti rumah kalian." Vernon memperhatikan suasana rumah. Tampak sepi. Mobil berhenti di pinggir jalan. Vernon sengaja tidak masuk ke halaman karena dia tidak akan lama di situ. "Om, ga boleh masuk ke dalam, hanya di teras. Soalnya rumahnya buat cewek aja." Felicia langsung memberi informasi aturan di tempat kos itu. "Om ga turun kok, harus cepat balik kantor. Lain kali saja, ya?" kata Vernon. "Oke, Om. Tapi tunggu dulu, aku udah janji mau kasih sesuatu." Dengan cepat Felicia turun dari mobil dan berlari kecil masuk ke rumah. "Pak, saya mau lihat Cia sebentar. Bapak tidak apa duluan kalau ...
Perintah itu cukup mengejutkan Adisti. Membuat design bukan hal mudah. Apalagi dengan waktu mendesak, sangat mungkin tidak maksimal hasilnya. Belum lagi pekerjaan hari itu yang tertunda karena acara jalan-jalan menenangkan hati si Bos. "Adisti?" Angga membuyarkan pikiran Adisti yang mulai melompat ke sana sini. "Eh, yakin besok, Pak?" tanya Adisti sedikit ragu. "Kamu bisa atau tidak? Tegas dan jelas bicara," tandas Angga. "Baik, Pak. Bisa." Adisti mengangguk. "Nice. Aku harap kamu tidak akan mengecewakan divisi ini. Yang lain sudah punya tugas. Aku tidak bisa menambah lagi beban mereka. Kamu pasti paham itu." Angga melanjutkan. "Saya paham, Pak." Adisti kembali mengangguk. "Good. Kembali ke tempat kamu. Jika ada kesulitan tidak masalah kamu tanya pada yang lain atau langsung padaku. Oke?" pesan Angga. "Baik, Pak," tukas Adisti. Dia hampir yakin pasti bertanya pada yang lain. Adisti kembali ke mejanya dan mencermati deretan pekerjaan yang sudah ada di dalam list hari itu. Sekia
Sampai di rumah, tidak ada waktu istirahat. Adisti menyempatkan bermain dan menemani Felicia hingga gadis kecil itu terlelap. Baru Adisti melanjutkan lagi urusan kuliah. Ujian tengah semester di depan mata, tak bisa diabaikan. Kesibukan di kantor tak bisa jadi alasan dia mengalah dengan sisi akademik yang dia kejar selama ini."Aduh, aku sudah ngantuk sekali. Tapi masih harus baca satu bab lagi. Ahhh ...." Adisti menguap. Dia usap-usap kedua matanya, memaksa tetap terjaga. "Adis, belum istirahat?" Meity masuk ke kamar Adisti. Dia duduk di tepi kasur, melihat pada Felicia sebentar, lalu kembali mengarahkan pandangan pada Adisti. "Masih belum kelar, Bu," jawab Adisti. "Jaga kesehatan. Tetap harus cukup tidur juga, Dis," pesan Meity. "Iya, Bu. Dikit lagi aku pergi tidur." Adisti menutup bukunya. Rasanya tak mampu lagi menerima masukan apapun di otaknya. "Dis, kalau Ibu tanya, kamu mau jawab tidak?" tanya Meity. Adisti menegakkan punggung dan memandang Meity serius. "Soal apa, Bu?"
"Kurasa aku bicara sangat jelas. Sepuluh menit lagi meeting akan dimulai. Cepat sana, siapkan yang kamu perlukan." Angga mengayunkan tangan, menyuruh Adisti segera bersiap."Pak, ini beneran, Pak? Bukan nanti siang?" Adisti masih tidak yakin dengan yang Angga katakan. "Rapat dimajukan. Kalau ga percaya, ini, bicara langsung dengan Pak Vernon. Aku ga mau dianggap mengada-ada. Urusan kerjaan ini bukan main-main, Adisti." Angga mengacungkan telepon yang ada du depannya ke arah Adisti. "Maaf, Pak, saya kaget. Jantung saya ...." Angga tersenyum lebar memandang pada wanita muda yang tampak memerah dan gugup itu. Dia paham Adisti merasa diatrik masuk gua singa rasanya. "Dis, yang di ruangan itu semua sama, suka makan ayam goreng dan minum es, kayak kamu. Ga usah grogi. Aku bantu kalau kamu perlu. Pak Vernon ingin kamu yang langsung menjelaskannya, sebab kamu yang paling paham detil dari design yang ada. Ngerti?" Angga bicara dengan lebih tenang, berharap ketegangan Adisti mereda. "Siap,
Adisti memandang dengan wajah tegang pada bos tampan yang hari itu keren dengan kemeja merah gelap hampir hitam. "Silakan presentasikan design kamu. Konsepnya bagaimana? Jelaskan sedetil mungkin," kata Vernon. "Iya. Baik, Pak." Adisti mengangguk. Suaranya terdengar sedikit gemetar. "Di sini, biar dibantu untuk menampilkan apa yang akan kamu sajikan." Vernon meminta Adisti mendekat di sebelahnya. Deg! Deg! Deg! Adisti makin tidak tenang. Tapi dia harus maju. Yang mulai dia kuatirkan bukan penampilannya. Jika presentasinya gagal, penampilan keren ala Hanny ini tidak ada gunanya. Adisti melangkah ke sisi Vernon dan memberikan file yang dia bawa pada salah satu asisten pimpinan yang bertugas menolong multimedia. "Adisti ...," panggil Vernon. Suaranya merendah, seperti sengaja dia pelankan. "Saya, Pak." Adisti lebih mendekat. "Santai saja. Ya?" Vernon tersenyum manis. Oh, tidak! Senyum itu makin membuat Adisti kelabakan. Tidak bisa Adisti tolak, di dekat Vernon, hatinya makin carut
Hati Adisti masih berdetak tidak nyaman. Pembicaraannya dengan Lestia dan Hanny menarik Adisti kembali melihat sisi kelam yang Adisti ingin buang jauh-jauh. Ramon, tiba-tiba muncul dalam pikiran Adisti. Pria yang pernah melekat dengannya, tapi membawa petaka dan penyesalan. Adisti menekan perasaannya dan dengan kuat bicara dalam hati. "Sudah, semua sudah berlalu. Jangan dipikir lagi. Ingat Cia. Dia masa depan kamu. Jangan pikir yang lain." "Santai saja, Dis. Bisa jadi, pikiran aku dan Mbak Lesti terlalu jauh. Kali Pak Cahyo kalau lihat kamu ingat keponakannya. Bisa saja, kan?" ujar Hanny. "Ga apa, Kak Hanny. Aku malah terima kasih, ada yang ingatin aku." Adisti merapikan kotak bekalnya. "Aku balik kerja, ya? Udah selesai makan, kok." "Oke. Aku juga. Lima belas menit lagi mesti ketemu manajer divisi sebelah. Ga bisa telat dikit. Bisa naik tanduknya." Lestia pun beranjak kembali ke mejanya. Adisti menyimpan kotak makan, lalu dia menuju ke kamar kecil. Masih ada waktu sebelum jam hab
Vernon yang semula duduk bersandar, seketika menegakkan punggung. Wajah cerianya lenyap berganti raut kesal. "Aku tahu ini akal-akalan kamu! Sejak dulu kamu memang ingin menjatuhkan aku!" ucap Vernon dengan emosi meluap. Adisti menciut melihat Vernon begitu marah. Baru kali ini Adisti langsung berhadapan dengan bosnya saat dia sedang marah. "Buat apa aku berpura-pura! Justru dengan bangga aku memberi kabar ini padamu. Karena benar, aku memang ingin melihat kamu hancur, Vernon Ivander Hardianata!" Penelpon itu tidak kalah emosi. Suaranya lebih keras hingga dapat tertangkap di telinga Adisti. "Sial! Jika itu benar, buktikan. Aku tidak mau kamu asal tuduh!" sentak Vernon yang belum juga mereda kegeramannya. "Dengan senang hati! Sungguh hari keberuntungan buatku bisa melihat kamu dan kekasihmu perang. Lalu keluarga kalian ribut, lalu ...." "Dasar kepiting rebus!" Dengan rasa kesal makin membara Vernon menutup telpon. Adisti tidak berani memandang pria itu. Adisti bingung juga mau be
Vernon menyentakkan pegangan Rima. Dia tidak mengira Rima ternyata tidak tulus sayang padanya. Selama ini dia salah mengira pada wanita yang dia yakini adalah jodoh yang tepat. "Vernon, aku ga ada hubungan khusus sama dia. Aku hanya menghabiskan waktu bareng saja. Kita ga bisa pisah. Ga boleh." Rima memandang Vernon dengan tatapan serius. "Kamu pikir sendiri, deh. Kalau kita nikah, jadinya kayak apa rumah tangga kita nanti! Isinya hanya ribut tak ada habisnya! Aku lelah, Rima. Sangat lelah." Vernon membalas tatapan Rima dengan rasa marah dan kecewa yang dalam. Vernon meneruskan langkahnya meninggalkan Rima yang berdiri mematung di tempatnya. "Ini sama saja kayak kamu lagi jalan sama pegawai kamu. Iya, kan? Kamu berduaan sama cewek terus kalau di kantor!" Rima tidak mau dipersalahkan. "Sama apanya? Jelas beda, Rima! Aku berdua buat urusan kerja. Ga ada aku ajak ke apartemen sampai buka pakaian kayak yang aku lihat barusan! Jangan mencari-cari alasan yang ga masuk akal!" Vernon kemb