Rima dengan sigap mendekati Varen, memberikan peluk dan cium untuk calon ayah mertuanya. Varen menyambut Rima dengan ramah. "Ya, aku ada urusan dengan Vernon. Kamu ngapain menyusul Vernon ke sini? Dia lagi bekerja." Varen menepuk lengan Rima, senyum pria itu belum sepenuhnya hilang. "Ah, Papa. Vernon ini masih saja cuek soal pernikahan. Hari ini jadwal kami foto prewed. Persiapan buat di undangan juga, fotonya. Pasti dia ga ingat," ujar Rima manja. Matanya melirik ke arah Vernon. "Sungguh? Kupikir masih minggu depan." Vernon menggaruk kepala. "Tuh, kan ... beneran deh, Pa, dia makin ga peduli. Untung mama udah buat list apa-apa yang mesti dilakukan. Aku tinggal ngikutin." Rima berpindah ke sebelah Vernon. Tangannya merangkul Vernon dari sisi kiri. "Bukan ga peduli, Rima. Aku masih belum bisa ninggalin kerjaan. Aku kejar sampai minggu depan, lalu fokus buat acara nikah," kata Vernon. Dia memegang lengan Rima dan memandang wanita cantik di sisinya. Dia mencermati setiap detil dari R
Melihat tatapan terkejut Hanny, sampai pria itu melonjak bangun dari kursinya, membuat Adisti refleks menutup wajah dengan dua tangannya. Adisti menunduk. Rasa malu dan jijik dengan diri sendiri menguasainya. Adisti menangis. "Adisti ...." Hanny mengelus dada. Wajahnya merah padam. Ini sama sekali tidak dia duga. Hanny pindah, duduk di sisi Adisti. "Adisti ...." Pelan, tangan Hanny menyentuh pundak Adisti. Dengan cepat Adisti menarik bahunya, menghindar. Hanny mengepalkan tangan, menyimpannya lagi. Reaksi Adisti membuat dia tahu, Adisti trauma dan sensitif dengan sentuhan. Hanny sedikit mundur, memberi jarak di antara mereka. "Maaf, Adisti, maaf ... ini ...." Hanny bingung mau bicara apa. Dia masih mencoba kembali mendarat, menerima kenyataan yang dia dengar. Adisti mengangkat wajahnya, dengan malu-malu melihat pada Hanny. "Pak Vernon yang menolongku, Kak. Jika dia tidak balik ke kantor kemarin, aku ga tahu, apa yang akan terjadi denganku." "Ya Tuhan ...." Hanny kembali duduk. Di
Hanny menarik badannya mundur hingga merapat ke punggung kursi yang dia duduki. Kedua pipinya menggembung, kaget dengan reaksi galak yang Ernita tunjukkan. "Kak Hanny mau kalau punya pacar, serius, sampai udah tunangan, niat mau nikah, eh, dia ngaku jatuh cinta sama orang lain. Mau?" Ernita menatap garang pada Hanny. Hanny mengangkat kedua tangan ke depan dadanya, memberi isyarat agar Ernita tenang. "Untung ketahuan sebelum nikah, kalau udah, amit-amit!!" sentak Ernita. Emosinya makin meluap. "Ih, sabar, Nona Manis. Ini Kak Hanny, bukan kekasih kamu yang main dua-duaan sama hati lain. Kakak Hanny ga bakalan kayak gitu, kali!" sahut Hanny dengan suara tegas dan meyakinkan. Ernita menatap Hanny. Ekspresi yang Hanny tunjukkan membuat Ernita tidak bisa menahan diri. Bukan emosi marah yang dia tebar, sebaliknya tiba-tiba Ernita tertawa. "Haa ... haa ... Lucu, Kak Hanny lucu amat, sih, haa ...." Ernita menggeleng-geleng, sementara tawanya masih lepas. Hanny hanya melongo melihat Ernit
Vernon sedikit menjauh dari Adisti. Dia mengajak Della dan Hanny bicara. Adisti menyandarkan kepala di dinding di belakangnya dengan mata terpejam. Rasa hatinya tidak karuan. Tidak dia kira seberat ini kembali masuk ke dalam kantor. Dia harus mengumpulkan semua kekuatan untuk bisa bertahan satu hari saja. "Adisti!" Vernon memanggil. Adisti membuka mata dan melihat Vernon yang berdiri tak jauh darinya. "Iya, Pak, maaf." Adisti menegakkan badannya. "Kamu pindah ke ruangan sebelah, ya? Kami akan rombak ruangan ini," kata Vernon. "Oh, ya ... sekarang?" Adisti berdiri. "Yup. Tidak akan lama. Ayo." Vernon mengajak Adisti bersamanya. Adisti mengikuti Vernon. Sedang Hanny dan Della mulai bergerak, memindahkan barang-barang. Tidak lama tampak dua orang OB muncul dan membantu membereskan ruangan. Vernon duduk di samping Adisti. Ada Lestia di ruangan itu dengan dua pegawai lain. Mereka terlihat sibuk, tetapi sesekali melihat ke arah Vernon dan Adisti. "Aku ingin suasana baru di ruanganmu
"Kenapa kamu yang datang?" Rima mengerutkan kening melihat pada pria yang sudah berdiri di sisi Adisti. "Ryan? Kamu itu pimpinan, punya tugas berat, kenapa ikut ke sini?" Vernon yang awalnya duduk santai, seketika menegakkan badan menatap pria itu. "Pak, yang harusnya berpasangan dengan Adisti, sakit. Sudah tiga hari tidak masuk. Kemungkinan dia akan resign. Jadi daripada bingung cari orang, saya saja. Buat saya, ini kehormatan bisa ambil andil pada acara spesial pimpinan." Senyum lebar muncul di bibir Ryan. Adisti tidak tahu mau bereaksi apa. Ada apa lagi ini? "Aiissh, alasan bagus, ya? Kamu cari kesempatan?" Vernon menatap tajam pada Ryan. Adisti dan Rima memandang ekspresi Vernon. Dia terlihat gusar dan kesal. "Kesempatan mengabdi pada pimpinan, Pak. Jangan khawatir soal tugas kantor. Semua bisa diatasi." Ryan mengacungkan jempol. Bibirnya kembali tersenyum, lebih lebar. Vernon hanya mengangkat kedua tangan ke samping badannya, lalu kembali menyandarkan punggung. Rima meliri
Adisti dan Rima berhadapan. Mata mereka saling menatap. Rima merasa Adisti ingin melawan dan menentangnya. Sedang Adisti, dia merasa Rima wanita kepala batu yang tidak tahu menghargai orang lain. Ini bukan kali pertama Adisti diremehkan oleh calon istri si bos. "Sekali lagi saya minta maaf, Bu. Saya tidak bisa. Saya mau membantu, membantu, untuk acara Ibu Rima dan Pak Vernon, sebab saya salah satu karyawan yang diminta. Tetapi, saya tidak bisa jika itu melanggar prinsip yang saya pegang. Jika ini akan mempengaruhi kinerja saya di perusahaan, sekalipun ini tidak ada hubungan dengan pekerjaan saya, saya bersedia mendapat sanksi." Adisti memandang tanpa rasa takut pada Rima, lalu menoleh kepada Vernon. "Kamu benar-benar, ya?!" Rima mulai meledak. Dia mengepalkan kedua tangannya. Ingin sekali dia menggampar muka Adisti. Dia menoleh ke arah Vernon dengan rasa marah yang meluap. "Lihat kelakuan pegawai kamu yang sok cantik ini, Vernon." Vernon tidak memperhatikan Rima, tetapi justru meman
Felicia hampir menjatuhkan ponsel yang ada di tangannya. Dengan cepat Adisti mendekati gadis kecil itu dan meminta ponselnya. Dengan takut-takut, Felicia memandang ibunya yang memasang muka galak. "Selamat sore, Pak. Minta maaf untuk apapun yang Cia katakan. Mohon jangan diambil hati, Pak. Cia cuma anak kecil, dia ...." "Dengarkan aku Adisti," ujar Vernon dengan cepat memotong kalimat Adisti. Adisti menjauh dari Felicia, memilih keluar kamar, berdiri di luar pintu. Felicia menatap nanar dan sedih karena ibunya kembali marah dengannya. "Cia bukan sekadar anak kecil. Dia seorang anak yang rindu kasih sayang. Jangan marah padanya. Dia tidak pernah bersalah harus hadir di hidupmu, dan dia harus menelan semua situasi sulit yang dia tak pernah harapkan. Kamu mengerti?" kata Vernon. Adisti ingin menangis mendengar itu. Dia sangat tahu yang dia dan Felicia hadapi. Felicia memang sangat butuh seorang ayah untuk hidup dengan kasih lengkap seperti anak yang lain. Masalahnya, Adisti tidak mun
Dengan rasa marah meluap hingga ke ubun-ubun, Vernon melangkah cepat masuk ke rumah orang tuanya. Di ruang depan, Savitri dan Rima tampak duduk berbicara dengan senyum ceria di wajah mereka. Di tangan mereka ada lembaran warna merah berpadu emas, undangan pernikahan Vernon dan Rima. Vernon melangkah masuk. Melihat Vernon, mereka tersenyum lebar dan menyapa riang. "Vernon! Lihat, undangan pernikahan kamu dan Rima! Cantik sekali!" Savitri mengangkat lembaran di tangannya, menunjukkan pada Vernon. Bukan balasan senyum yang Vernon berikan. Wajah marah jelas terpampang di sana. Vernon berdiri di depan Savitri dan Rima. "Kamu kenapa, Sayang?" Rima terkejut dengan sikap Vernon. "Aku tidak perlu menjelaskan kenapa. Kamu yang harus menjelaskan padaku, ini apa?!" Dengan kasar Vernon melempar amplop di tangannya ke atas meja di depan Rima. Rima dan Savitri menatap Vernon dengan bingung. Savitri menarik amplop mendekat ke arahnya, dan mengeluarkan isi amplop itu. Begitu melihat isinya, tanga