Seberkas cahaya yang masuk melalui celah tirai jendela berhasil mengusik tidur Nara. Perempuan itu beranjak duduk. Kepalanya terasa agak pusing, tapi sesak yang semalam ia rasakan sudah mereda.
Entah berapa lama ia menangis hingga akhirnya tertidur dengan posisi meringkuk di balik selimut, Nara sama sekali tidak ingat. Bahkan ia juga tidak ingat sejak kapan lampu kamarnya mati. Yang Nara ingat, semalam ia tidak bisa tidur, lalu ibu masuk kamarnya dan mereka bicara—sebuah pembicaraan yang kemudian membuatnya merasa sesak tak karuan.
Nara memijat pelipisnya, berusaha meredakan rasa sakit. Namun belum reda rasa sakitnya, netranya sudah keburu jatuh pada gantungan pakaian di pintu kamar. Sebuah kebaya brokat berwarna putih, lengkap dengan bawahan batik, tergantung di sana.
Nara terdiam. Ia sadar pernikahannya dengan Amar benar-benar sudah di depan mata dan ia tidak bisa mundur lagi. Namun sayangnya, keraguan dan penyesalan justru kembali muncul di benak Nara. Membuat ia kembali bimbang dengan keputusan yang sudah ia pilih. Haruskah ia tetap melanjutkan keputusannya itu atau lebih baik berhenti saja? Entah, mendadak otaknya sulit diajak kerja sama.
Rasanya, Nara ingin mendiskusikan masalah ini dengan orang tuanya lagi. Tapi bahkan, perdebatan orang tuanya di dapur yang tak sengaja ia dengar, justru semakin memperparah semuanya.
Tangannya terkepal. Emosinya seketika naik lagi. Alih-alih menuju kamar mandi seperti tujuan awal, Nara malah mundur dan memacu langkah sehati-hati mungkin kembali ke kamar. Diambilnya tas ransel di atas meja, mengisinya dengan beberapa setel pakaian, juga tas selempang kecil yang sudah diisi dompet dan ponsel. Lalu menyambar jaket dan masker hitam untuk dipakai.
Setelah memastikan semua lengkap, Nara segera membuka jendela kamar pelan-pelan. Ia mengeluarkan ranselnya lebih dulu, sebelum meloncat keluar. Jendela kamar yang dipasang tidak terlalu tinggi, membantunya lolos dengan mudah.
Nara memastikan lagi keadaan di luar dan setelah dirasa aman, ia pun bergegas meninggalkan pekarangan rumah. Namun sialnya, ia malah tak sengaja menabrak besi pagar dan hal itu sontak menarik perhatian seseorang.
“Nara? Nara, mau ke mana kamu? Kembali kamu!”
Sial, itu ayahnya.
Panik, Nara pun buru-buru melarikan diri. Di belakang, teriakan-teriakan ayah terdengar lebih keras. Kali ini bahkan diikuti derap langkah lebih dari satu orang. Sialan!
“Nara, berhenti! Kembali kamu sekarang!”
Teriakan itu terdengar lagi, tapi Nara sama sekali tidak mengindahkannya. Nara justru semakin mempercepat larinya ke luar gang. Sesekali ia menoleh ke belakang, sekadar memastikan jarak di antara ia dan para pengejar itu. Cukup jauh, tapi ia juga tidak bisa santai. Lambat sedikit saja langkahnya, ia pasti akan tertangkap.
Jadi, ketika tiba di depan gang dan matanya menemukan satu unit mobil hitam di pinggir jalan dengan mesin menyala, Nara pun segera membuka pintu penumpang belakang mobil itu dan masuk. Dilepasnya tas ransel yang membebani punggung sejak beberapa saat lalu itu, berniat menyembunyikan diri di bawah kursi ketika tiba-tiba sebuah suara terdengar. Nara mematung.
“Heh! Siapa kamu? Ngapain kamu ada di mobil saya? Mau maling, ya?”
***
Satu hal yang ada di benak Nara setelah keluar dari rumah tadi adalah pergi sejauh-jauhnya ke tempat di mana tidak seorang pun mengenalinya agar ia bisa menenangkan diri. Setidaknya, sampai ia merasa siap untuk pulang dan menghadapi kemarahan orang tuanya. Sayangnya, yang terjadi justru tak sesuai harapan. Seseorang sudah lebih dulu mengenalinya, bahkan sebelum Nara tiba di tempat yang diinginkan.
Adalah laki-laki berkemeja biru tua yang berada di kursi kemudi. Lengan kemeja yang digulung sampai siku, menampakkan kulit tangan laki-laki itu yang putih, juga tampak kokoh dan berotot. Dan sama seperti Nara, keterkejutan tergambar jelas di wajah laki-laki itu.
“Nara?”
“Mas Saga?”
Ya, laki-laki itu Sagara. Si pemilik mobil yang sudah siap berteriak lantaran tiba-tiba ada orang asing masuk mobilnya. Namun begitu melihat sisi wajah orang asing itu yang tidak tertutup masker, Sagara pun dengan mudah mengenalinya.
“Aduh, Mas Saga. Maaf, saya—” Nara belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika telinganya samar-samar menangkap suara derap langkah mendekat. Ia langsung menunduk, sembari mengintip ke luar kaca. Tampak dua orang berseragam hitam berhenti tak jauh dari mobil. “Sial!”
Dua orang berseragam itu celingukan menatap sekitar. Salah satu dari mereka kemudian menghampiri kerumunan ibu-ibu di salah satu ruko dan tampak menanyakan sesuatu. Sialnya, satu orang lainnya justru menatap ke arahnya—lebih tepatnya, ke arah mobil Sagara. Membuat Nara kembali membungkukkan badan serendah mungkin.
“Nara, kamu kenapa?” tanya Sagara bingung.
Nara menggeleng, tapi sedetik kemudian, sebuah ide terlintas di kepalanya. “Mas, bisa tolong jalanin mobilnya sekarang? Saya nggak yakin orang-orang itu nggak curiga sama mobil Mas. Please?”
“Oke.” Setelahnya, Sagara memacu mobilnya meninggalkan kawasan ruko dan pertokoan tadi. Terdengar hela napas lega dari arah kursi penumpang belakang sesaat setelah mobil berbelok ke tikungan jalan dan ruko-ruko tadi tak lagi terlihat. “Kamu baik-baik saja, Nara?”
“Mungkin. Tapi makasih ya, Mas. Maaf ngerepotin Mas Saga,” jawab Nara masih sambil berusaha menormalkan detak jantungnya yang berkejaran, persis seperti habis uji nyali.
“Terus sekarang kamu mau diantar ke mana, Nara?” tanya Sagara. Mobilnya berhenti di pertigaan jalan karena lampu lalu lintas menyala merah.
“Eh, nggak usah, Mas. Saya ...” Nara menatap sekitar. “Saya turun di halte depan sana saja, Mas. Nanti biar saya lanjut naik ojek online,” jawabnya, lalu mengambil ranselnya yang tadi ia letakkan di bawah. Mobil kembali melaju.
“Halte depan itu?” tunjuk Sagara pada sebuah halte tua yang berjarak sekitar seratus meter dari pertigaan jalan tadi. Cat warna biru yang melapisi besi-besi kerangkanya sudah banyak yang terkelupas. “Kamu yakin mau turun di sana saja? Nggak mau saya antar pulang saja atau ke rumah teman kamu, mungkin?”
“Justru saya nggak mau pulang, Mas. Mau ke kos teman juga percuma. Orang-orang tadi bakalan tetap bisa nemuin saya. Paling saya mau sewa hotel atau cari kos dekat sini saja,” jawab Nara. Ada nada getir dalam bicaranya. Seolah ia sudah bisa menebak semuanya. Lagi pula, memang itu yang kemungkinan akan terjadi karena orang tuanya tahu di mana kos Salma.
Getaran ponsel di saku jaket Nara menginterupsi pembicaraan mereka. Ada panggilan masuk dari ibu, tapi hanya bertahan beberapa detik sebelum akhirnya panggilan itu berakhir. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar lagi. Kali ini dari Salma. Nara yakin sahabatnya itu pasti sudah tahu perihal kaburnya ia dari orang tuanya. Jadi, alih-alih menunggu panggilan berakhir seperti sebelumnya, Nara lebih dulu panggilan itu dan mengirimkan pesan pada Salma.
Mobil berhenti di depan halte. Nara sudah akan beranjak turun, tapi panggilan Sagara berhasil menghentikan gerakannya.
“Nara, maaf sebelumnya kalau menurut kamu, saya terkesan lancang. Tapi kalau memang kamu masih belum punya tujuan yang pasti, kamu bisa menginap di tempat saya dulu untuk sementara waktu. Kebetulan di sana masih ada kamar kosong yang bisa kamu tempati. Bagaimana?”
Tujuan? Bahkan tebakan Sagara benar, bahwa Nara memang tidak punya tujuan akan pergi ke mana sekarang.
“Oke, saya mau. Di mana tempatnya?”
“Loh, kita ngapain ke sini?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Nara begitu mobil hitam Sagara memasuki basement sebuah gedung bertingkat. Perempuan itu menatap sangsi laki-laki di sebelahnya. “Mas Saga nggak niat nyulik saya, kan?” “Memangnya muka saya mirip penculik, ya?” Sagara balik bertanya. Ia mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya. “Tenang saja, Nara. Saya nggak akan nyulik kamu. Sekarang, ayo turun,” lanjutnya. Meski ragu, Nara tetap mengikuti Sagara turun dari mobil. Tak lupa ia mengambil tas ranselnya di kursi belakang. Mereka lalu naik lift menuju lantai tujuan. Tidak ada pembicaraan tercipta selama di dalam lift. Nara masih merasa waswas, sementara Sagara sendiri tampaknya juga belum mau mengatakan apa-apa soal tempat yang mereka tuju sekarang. “Ini apartemen saya,” aku Sagara saat mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Laki-laki itu membuka pintu tersebut, lalu mempersilakan Nara masuk. “Maaf kalau agak berantakan. Apartemen ini
Sagara baik.Begitu penilaian Nara sejak pertama kali Sagara menolongnya. Namun yang tidak ia sangka, setelah pertemuan ketiga mereka, Sagara ternyata sama saja seperti kebanyakan laki-laki di dunia ini.Apa tadi katanya? Jadi ibu untuk anaknya? Astaga, yang benar saja! Baru juga kenal, sudah berani gombal. Dasar buaya!“Kalau Mas Saga mau ngegombal, mending gombal ke cewek lain saja, jangan ke saya. Saya sama sekali nggak tertarik,” sinis Nara. Ia kembali menatap ke luar pintu geser. Hujan masih deras, bahkan jauh lebih parah.“Gombal?” Sagara kontan mengangkat alis. Sedetik kemudian, ia paham. “Maaf, saya nggak bermaksud gombalin kamu, Nara. Apa yang saya katakan tadi serius. Saya akan bantu melunasi semua utang Ayah kamu, kalau kamu juga bisa bantu jadi ibu untuk anak saya.”Mendengar nada serius Sagara, Nara kembali menoleh. “Tunggu, ini maksudnya gimana, ya? Jadi ibu untuk anaknya Mas Saga? Gimana sih, Mas? Saya nggak paham,” sahut Nara. Ia sudah mengubah posisi duduknya menghada
Gelap adalah hal pertama yang Nara dapati saat membuka mata. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari seleret sinar bulan yang menembus jendela yang tirainya tersingkap sedikit. Perempuan itu seketika terlonjak bangun. Tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari ponsel yang berhasil ketemu dalam hitungan detik dan langsung menyalakannya. Angka 18.20 tertera di layar kunci. Nara mendesah, sadar ia sudah tidur hampir lima jam di kamar Sagara. Jangan tanya di mana Sagara sekarang, karena ia sendiri juga tidak tahu. Terakhir yang Nara ingat, siang tadi ia kedatangan tamu—seorang laki-laki berpakaian kantor yang mengaku sebagai asisten Sagara."Selamat siang, Bu. Perkenalkan saya Darwin, asisten Pak Sagara. Saya datang ke sini karena diminta Pak Sagara mengantarkan ini untuk Ibu." Darwin mengulurkan dua plastik belanjaan, yang lantas diterima Nara dengan ragu. Satu berisi makanan dari salah satu restoran cepat saji dan satu lagi berisi camilan serta minuman botol. "Pak Sagara juga berpesa
“Mas Saga kenapa ngelihatin saya begitu? Ada yang salah sama wajah saya, ya?”Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Sagara dari fokusnya memandang wajah perempuan di hadapannya. Laki-laki itu mengerjap, berdeham pelan, lalu menggeleng cepat. “Enggak. Enggak ada yang salah sama kamu.”“Terus kenapa dari tadi Mas Saga ngelihatin saya?” Nara menyipitkan mata ke arah Sagara. “Mas ... terpesona ya sama saya?” tanyanya, yang seketika langsung ia sesali dalam hati.Tawa pelan terdengar. “Ternyata selain suka melamun, kamu juga suka asal nuduh, ya?” Sagara geleng-geleng kepala. Laki-laki itu meletakkan sendok, kemudian meraih cangkir kopinya. “Maaf, Nara, saya bukan terpesona sama kamu, tapi saya cuma baru sadar kalau ternyata tawa kamu nyeremin. Semoga saja besok, anak saya nggak nangis karena dengar kamu ketawa, ya.”Nara meringis kecil. “Saya nggak tahu harus sedih atau malah berterima kasih setelah dengar kejujuran Mas Saga barusan. Tapi harus saya akui, kadang saya juga ngerasa seram denga
Jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi ketika Nara menyelesaikan agenda bersih-bersihnya. Nara menyeka keringat di dahi sambil memandang puas hasil pekerjaannya. Lantai sudah disapu dan dipel, furnitur-furnitur bersih dari debu, tirai dan jendela dibuka agar sirkulasi udara berganti.Sebenarnya Nara tidak rajin-rajin amat. Semua ini Nara lakukan karena Sagara sudah banyak membantunya, juga untuk membunuh perasaan bersalahnya setelah mengetahui kondisi rumah pasca ia kabur kemarin. Pesan dari Rian semalam berhasil membuat Nara tidak tidur nyenyak dan berakhir bangun lebih pagi, lalu memutuskan membersihkan unit apartemen Sagara sebagai pengalihan.Nara lantas bergegas mandi. Ia butuh menyegarkan tubuh yang lengket karena keringat. Beberapa menit kemudian, Nara keluar kamar mandi dengan memakai kaus garis-garis lengan pendek dan celana panjang warna cokelat. Perutnya yang meronta kelaparan sejak di dalam kamar mandi tadi membuat Nara segera beranjak ke dapur, mengecek semua rak d
Sejak kedatangan Salma setengah jam lalu ke apartemen Sagara, Nara benar-benar tidak bisa menghindar lagi. Pasalnya, Salma langsung menodong penjelasan sedetail-detailnya atas aksi kabur Nara kemarin. Akhirnya, Nara pun menceritakan semua kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir.Mulai dari ayahnya ditagih utang sebesar dua puluh juta, kemudian diperparah dengan masalah gaji yang dibawa kabur manajer toko padahal rencananya uang itu akan digunakan untuk mencicil utang ayah. Belum lagi tawaran gila Pak Johan, bos ayahnya, untuk menikah dengan Amar sebagai ganti pelunasan utang, serta fakta bahwa ternyata ayahnya sendiri justru memanfaatkan Nara agar dirinya bisa kecipratan harta kekayaan keluarga Pak Johan jika jadi besan pria itu. Nara juga menceritakan tentang pertemuan tak sengajanya dengan Sagara dan semua kebaikan laki-laki itu kepada Salma. Termasuk soal Sagara yang sudah membantunya kabur dari kejaran orang suruhan Pak Johan. "Gila!" Adalah respons pertama Salma se
Sagara tiba di apartemen dua setengah jam kemudian, masih mengenakan kemeja abu-abu muda yang dilapisi blazer hitam. Laki-laki itu sudah akan mengetuk pintu unit ketika pintu di hadapannya lebih dulu terbuka dan menampilkan seorang perempuan berkaus putih yang sama terkejutnya dengan dirinya. Belum sempat Sagara bertanya siapa perempuan itu, sebuah suara dari arah dalam unit tiba-tiba terdengar. Membuat kedua orang itu sontak menoleh ke sumber suara. "Lo ngapain berhenti di pintu sih, Sal? Kata--loh, Mas Saga? Kok nggak bilang mau ke sini? Rapatnya sudah selesai?" Nara yang datang menyusul Salma pun berdiri kikuk di sebelah sahabatnya. Ia pikir Sagara masih belum selesai rapat karena laki-laki itu belum mengabarinya. "Oh iya, Mas, kenalin ini Salma. Maaf, tadi saya lupa izin sama Mas Saga kalau saya bawa teman ke sini," ujar Nara memperkenalkan Salma kepada Sagara. "Dan Sal, kenalin ini Mas Sagara yang tadi gue ceritain. Dia yang sudah bantuin gue beberapa hari ini."Sagara dan Sal
"Terima kasih kembali, Nara," balas Sagara seraya mengulurkan selembar tisu yang lantas diterima Nara. "Nah, sekarang kamu masih mau lanjut nangis atau mau pulang?" Sagara menoleh. "Kalau kamu masih mau nangis, nggak apa-apa kamu lanjutin nangisnya. Saya tungguin sampai kamu merasa lega. Tapi kalau kamu mau pulang, tolong kasih tahu saya alamat rumah kamu karena saya nggak tahu di mana rumah kamu."Mendengar itu, Nara buru-buru menyusut ingusnya dengan tisu pemberian Sagara. Gara-gara menangis tadi, ia baru sadar kalau sekarang mereka sudah sampai di area pertokoan tempat ia bertemu Sagara kemarin."Maaf, maaf. Gapura merah itu masuk, Mas. Nanti lurus terus sampai ada pos kampling kiri jalan. Rumah saya seberang pos itu," tunjuk Nara pada sebuah gang dengan gapura bercat merah pudar, tepat di samping warung nasi."Oke." Sagara kembali mengemudikan mobil menuju gang yang ditunjuk Nara. Begitu mobil sudah melewati gapura, kesan pertama yang Sagara dapatkan adalah rumah-rumah di gang i