Beranda / Romansa / Ibu Kost yang menggoda / Malam yang Tidak Tenang

Share

Malam yang Tidak Tenang

last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-09 23:05:32

Arven terbangun di tengah malam. Awalnya ia pikir hanya suara hujan lagi yang menetes di atap kosan, tapi telinganya menangkap bunyi lain—pelan, ritmis, seperti langkah kaki menyusup di halaman depan.

Jantungnya langsung berdegup kencang, rasa tidak nyaman merambati dadanya. Ia melirik layar ponsel—pukul 01.43. Semua penghuni kos seharusnya sudah tertidur. Dengan hati-hati, ia bangkit, meraih hoodie yang tergantung di kursi, lalu mengambil senter kecil dari meja belajar.

Lorong kosan gelap total. Lampu sudah dimatikan sejak pukul sepuluh tadi. Hanya sinar bulan yang menembus lewat kaca jendela, menorehkan cahaya pucat ke dinding. Udara malam menusuk tulang, dingin bercampur lembab. Arven melangkah perlahan, menahan napas ketika mendekati ruang tamu.

Pintu depan… sedikit terbuka.

“Tidak mungkin Bu Ravika lupa mengunci,” pikir Arven, keningnya berkerut.

Dengan sangat hati-hati, ia mendorong pintu. Engsel berderit pelan, lalu angin malam masuk, membawa aroma tanah basah. Sekilas ia menangkap bayangan bergerak cepat di halaman, menuju sisi rumah kos. Adrenalin langsung meledak. Arven tanpa pikir panjang berlari mengejarnya.

Namun saat sampai di tikungan, yang ia temukan hanya keheningan. Suara daun bergoyang tertiup angin menjadi satu-satunya tanda kehidupan. Firasatnya mengatakan: ada seseorang yang benar-benar mengintai kos malam ini.

Arven kembali dengan napas terengah. Begitu masuk kamar, darahnya langsung membeku. Kotak kayu yang diberikan Ravika sore tadi… hilang. Meja belajar kosong.

Tanpa pikir panjang ia berlari ke kamar Ravika. Tangannya mengetuk keras-keras pintu kayu itu. “Bu Ravika! Bangun! Kotaknya hilang! Entah ke mana!” bisiknya dengan panik.

Pintu terbuka dengan cepat. Ravika berdiri di ambang, wajahnya panik, rambut berantakan, gaun tidurnya tipis dan nyaris transparan. Nafasnya tersengal, seolah jiwanya ikut terguncang. “Apa yang kamu bilang barusan? Kotak itu… hilang?”

Arven mengangguk cepat, menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

Mata Ravika membesar, penuh ketakutan. “Kita harus menemukannya sekarang juga. Kalau dia yang mengambil… kita dalam bahaya besar.”

Ia bergegas mengambil senter besar dan jaket tipis, lalu melangkah keluar tanpa pikir panjang. Arven mengikutinya. Mereka memeriksa halaman, lalu menyusuri jalan kecil di belakang kos. Hujan sudah reda, tapi tanah masih basah, membuat udara semakin dingin. Arven melihat jelas Ravika berusaha keras terlihat tenang, namun getar di suaranya dan cepatnya langkah kakinya mengkhianati rasa takutnya.

Di ujung gang, mereka menemukan jejak sepatu yang masih basah, menoreh tanah lembek. Jejak itu menuju sebuah rumah kosong tak jauh dari situ. Ravika berhenti, menatap Arven dengan sorot mata penuh pertanyaan tanpa suara: apakah kau siap?

Arven membalas tatapan itu dengan mantap. “Kalau kamu di sini sendirian, aku nggak akan bisa tenang.”

Ravika hanya mengangguk singkat, lalu mereka bergerak mendekat. Pintu rumah kosong itu sedikit terbuka. Dari dalam terdengar suara benda jatuh. Arven memberi isyarat agar Ravika menunggu di belakang, lalu ia masuk lebih dulu.

Rumah kosong itu gelap total. Bau debu bercampur lembab memenuhi udara. Dengan cahaya senter, Arven melihat sosok pria berjaket hitam berdiri membelakanginya, tangannya menggenggam kotak kayu itu.

Tanpa pikir panjang, Arven melompat dan mendorong pria itu hingga terjatuh.

Pergulatan pun pecah. Tubuh pria itu cukup kuat, tapi Arven menahannya dengan segenap tenaga. Mereka bergulat di lantai dingin, suara hantaman tubuh menggema di rumah kosong itu. Tangan pria itu berusaha memukul, namun Arven berhasil menguncinya.

Saat itulah Ravika masuk. Dengan cepat, ia merebut kotak kayu dari genggaman pria itu. Nafas Ravika terengah, matanya membara penuh tekad. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari keluar rumah kosong itu, menggenggam kotak erat di dadanya.

Namun keberuntungan tidak berpihak sepenuhnya. Pria itu berhasil melepaskan diri dari Arven, lalu berlari ke arah jendela. Dalam sekejap, ia menghilang ke dalam kegelapan malam. Hanya suara langkahnya yang menjauh, ditelan hening.

Arven keluar dengan napas terengah, wajahnya berkeringat. Ravika sudah menunggunya di pinggir jalan, memeluk kotak kayu itu erat-erat. Tatapan matanya penuh rasa lega bercampur takut.

“Kamu gila ya…” Ravika berkata dengan suara bergetar, lalu tersenyum tipis meski wajahnya pucat. “Tapi kamu hebat juga ternyata. Terima kasih… banyak.”

Ia meraih tangan Arven, menggenggamnya erat-erat. Jemarinya dingin, tapi genggaman itu penuh rasa percaya.

Arven tersenyum lelah, namun ada keteguhan di matanya. “Aku sudah bilang, kalau aku terlibat, aku nggak akan pernah mundur sedikit pun.”

Mereka berjalan kembali ke kos dalam diam. Langkah keduanya pelan, hanya diiringi suara serangga malam. Namun hati Arven justru berisik. Malam ini sesuatu telah berubah. Ia tahu dirinya bukan lagi hanya seorang anak kos biasa. Ia adalah orang yang Ravika percayai… sekaligus mungkin, satu-satunya pelindungnya.

Dan di balik semua rasa lelah itu, Arven sadar—jalan yang mereka tempuh kini sudah tak bisa lagi kembali.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ibu Kost yang menggoda   Arus yang Membawa Rahasia

    Langkah mereka semakin cepat, sementara sorot lampu senter makin mendekat. Nafas Ravika tersengal, tapi genggaman Arven di tangannya membuatnya bertahan.Di depan, Jendra menunjuk ke arah aliran sungai yang bergemuruh. “Lewat sana! Kalau kita ikuti arus, mereka bakal kehilangan jejak kita!”Ravika berhenti sejenak, menatap derasnya air sungai. Gelap, deras, penuh dengan batu-batu besar itu bukan jalan yang aman. Tapi karena waktu mereka sudah habis ahirnya dengan terpaksa mereka mengambil jalur sungai yang deras itu.“Vi…” Arven menatapnya ragu, matanya bergetar. “Kita harus lompat, kan?”Ravika menggenggam wajahnya, meski tangannya sendiri gemetar. “Aku tahu ini memang terlihat gila. Tapi ini satu-satunya cara untuk kita kabur dan menjauh dari sini dulu. Kamu percaya kan sama aku?”Arven menatap dalam-dalam, lalu mengangguk mantap. “Aku Selalu percaya sama kamu vi.”---Teriakan polisi terdengar makin dekat. “Mereka segera bergegas ke arah sungai! Cepat kita tak punya banyak waktu la

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Terendus

    Malam kian larut, tapi mata Ravika tak benar-benar bisa terpejam. Setiap kali ia menutup mata, suara tembakan, ledakan, dan bayangan wajah Bayu kembali menghantui. Ia menggenggam tangan Arven lebih erat, seakan itu satu-satunya jangkar yang membuatnya bertahan. Arven, meski kelelahan, masih terjaga. Ia menatap Ravika yang terlihat rapuh untuk pertama kalinya. “Vi,” bisiknya pelan, “kamu nggak harus kuat terus di depan aku. Aku tahu klo kamu capek.” Ravika menoleh, matanya berkaca-kaca. “Kalau aku nggak kuat, kita berdua udah habis, Ven.” Arven menggeleng, wajahnya serius. “Kalau kamu jatuh, biar aku yang jadi sandaranmu. Aku nggak mau cuma kamu yang selalu lindungi aku. Aku juga mau jagain kamu.” Kata-kata itu membuat dada Ravika terasa hangat sekaligus sakit. Ia tak bisa membayangkan kehilangan anak muda yang kini duduk di sampingnya itu. --- Suara ranting patah terdengar dari luar. Refleks, Jendra yang berjaga langsung mengangkat pistol, tubuhnya tegang. “Diam jangan sampai

  • Ibu Kost yang menggoda   Perlindungan Dalam Bayangan

    Langkah mereka semakin berat setelah melewati hutan dan sungai. Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan cahaya oranye di sela pepohonan. Udara lembap menempel di kulit, membuat tubuh semakin lelah.“Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jendra dengan suara serak. “Ada pondok perburuan lama di sini. Jarang dipakai orang.”Ravika hanya mengangguk, memapah Arven yang tetap menggenggam tangannya. Meski Arven terlihat lebih bugar, ia tahu kelelahan dan ketegangan sudah merobek ketahanan siapa pun.Tak lama kemudian, mereka tiba di pondok kayu kecil, dindingnya rapuh, pintu setengah patah. Tapi bagi mereka, tempat itu adalah satu-satunya pelindung malam ini.---Begitu masuk, Ravika langsung duduk di lantai, punggungnya menempel ke dinding. Nafasnya terengah, tubuhnya masih dingin karena basah. Arven buru-buru melepas jaket tipis yang ia kenakan, lalu menyelimutkannya ke tubuh Ravika.“Pakai ini. Kamu menggigil, Vi.”Ravika menatapnya, tersentuh. “Kamu juga butuh itu. Tubuhmu basah sama ka

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Terbuka

    Langkah-langkah mereka terdengar tergesa di jalan tanah. Matahari sudah naik, menyinari dedaunan basah yang berkilau oleh embun. Ravika terus menoleh ke belakang, seolah bayangan Bayu bisa muncul kapan saja.Jendra berjalan di depan, menuntun arah. Bahunya masih terbalut kain, tapi ekspresinya tegas. “Kalau kita tetap pakai jalur biasa, kita pasti ketemu patroli. Kita harus lewat hutan.”Ravika menelan ludah. Jalur hutan berarti lebih panjang, lebih berat. Tapi itu juga satu-satunya pilihan.Arven yang berada di sampingnya menepuk tangan Ravika pelan. “Tenang aja, Vi. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok.”Ravika menoleh, menatap matanya. Dalam kekacauan ini, hanya Arven yang jadi jangkar emosinya. Ia mengangguk tipis, lalu mempercepat langkahnya.---Mereka menyusuri jalan setapak yang makin sempit, akar-akar pohon menjulur seperti sebuah perangkap. Daun kering berderak di bawah langkah kaki mereka.Tiba-tiba Jendra mengangkat tangan, memberi isyarat tanda berhenti. Ia jongkok, kemudia

  • Ibu Kost yang menggoda   Bayangan yang Masih Hidup

    Matahari baru merayap di balik pepohonan ketika Ravika keluar dari gubuk. Udara pagi dingin menusuk kulit, embun masih melekat di dedaunan. Ia berdiri diam cukup lama, menatap jalan tanah yang sepi.Seharusnya ini jadi awal yang tenang setelah malam panjang. Tapi batinnya tahu: ketenangan semacam ini jarang bertahan lama.Di belakangnya, suara langkah ringan mendekat. Arven muncul, rambutnya masih berantakan, wajahnya tampak lelah tapi senyum hangat terukir.“Kamu udah bangun dari subuh?” tanyanya, menguap kecil.Ravika menoleh, bibirnya melengkung samar. “Aku nggak bisa tidur lagi.”Arven berdiri di sampingnya, ikut menatap ke arah jalan tanah. “Aku ngerti. Rasanya kayak… kita cuma punya waktu sebentar sebelum sesuatu buruk datang lagi.”---Ravika menghela napas, lalu menoleh ke wajah Arven. Cahaya pagi jatuh di mata pemuda itu, membuatnya terlihat begitu muda dan jujur. Ada rasa bersalah menyeruak di dada Ravika—pemuda ini seharusnya tidak terseret ke dalam hidupnya yang penuh luka

  • Ibu Kost yang menggoda   Janji di Tengah Gelap

    Fajar belum benar-benar datang ketika Ravika terbangun dari tidurnya. Gubuk reyot itu masih terlihat gelap, hanya ada cahaya samar dari celah dinding yang menandakan pagi hampir saja tiba.Ia mendapati dirinya masih duduk bersandar di dinding, sementara kepala Arven tergeletak di bahunya. Pemuda itu tertidur dengan pulas, wajahnya terlihat tenang meski ada sisa lelah di sana.Untuk sesaat, Ravika hanya memandanginya. Ada perasaan aneh menyelinap ke dadanya—campuran rasa lega, takut, sekaligus rasa hangat.“Arven…” bisiknya lirih, meski tahu pemuda itu tak akan mendengar. “Kau sudah terlalu jauh terseret dalam hidupku.”---Suara langkah membuatnya menoleh. Jendra sudah bangun, berdiri di pintu gubuk dengan bahu yang masih terbalut kain.“Dia tidur nyenyak sekali,” gumam Jendra. “Kamu harus biarkan dia tetap begitu. Anak itu sudah melalui terlalu banyak hal untuk usianya.”Ravika mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi justru itu yang membuatku merasa sangat bersalah kepadanya. Seharusnya di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status