Home / Romansa / Ibu Kost yang menggoda / Rahasia yang Terkunci

Share

Rahasia yang Terkunci

last update Last Updated: 2025-08-10 18:04:21

Pagi itu, suasana kos terasa berbeda dari biasanya. Cahaya matahari menembus tirai jendela, tapi bukannya membawa kehangatan, justru meninggalkan hawa aneh yang membuat dada Arven terasa berat. Semalam ia hampir tidak bisa tidur setelah kejadian di rumah kosong. Bahunya masih pegal akibat pergulatan dengan pria berjaket hitam, tapi rasa penasaran tentang kotak kayu itu jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik.

Sambil menghela napas panjang, Arven menuju dapur. Tangannya secara refleks membuat secangkir kopi susu panas. Aroma manis bercampur pahit memenuhi ruangan, memberi sedikit rasa tenang. Ia berharap, setidaknya, kehangatan kopi bisa meredakan pikiran yang terus berputar.

Namun, saat hendak menuju ruang tamu, matanya langsung tertuju pada sesuatu di meja sudut. Kotak kayu itu sudah ada di sana. Letaknya rapi, seolah tidak pernah hilang semalam. Hanya saja, ada detail kecil yang membuat bulu kuduk Arven meremang: sebuah goresan di sisi kotak, tipis tapi jelas, seperti bekas dibuka paksa.

Arven menaruh kopinya, lalu duduk menatap kotak itu lama. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Apa sebenarnya yang begitu penting sampai orang rela mempertaruhkan nyawa untuk merebutnya? Semakin ia menatap, semakin besar dorongan untuk membuka isi kotak itu.

Tangannya sudah hampir menyentuh permukaan kayu ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Arven buru-buru menarik tangannya. Dari pintu kamar, muncul Ravika. Ia mengenakan kemeja putih longgar yang bagian atasnya terbuka, memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Rambutnya masih berantakan, wajahnya lelah, tapi justru ada aura menawan yang membuat Arven kehilangan kata-kata sejenak.

“Jangan dibuka kotaknya,” ucap Ravika pelan tapi tegas. Tatapannya menusuk, seolah tahu persis apa yang barusan hampir dilakukan Arven. “Kotak itu menyimpan sesuatu yang tidak boleh sembarang orang tahu. Sekalipun kamu… jangan pernah coba membukanya.”

Arven terdiam, lalu mengangkat wajahnya, menatap Ravika dengan serius. “Tapi Bu… semalam kotak ini hampir saja direbut orang. Kalau saya nggak tahu apa isinya, bagaimana saya bisa bantu melindunginya? Bukankah itu berisiko?”

Ravika tidak langsung menjawab. Ia masuk lebih jauh ke ruang tamu, lalu duduk di kursi seberang Arven. Pandangannya lama tertuju ke kotak itu, sebelum akhirnya ia menarik napas panjang. “Isinya… sesuatu yang orang rela bayar mahal untuk mendapatkannya. Tapi buat saya, nilainya lebih dari sekadar uang.”

Arven semakin penasaran. “Apa itu sebenarnya? Saya ingin tahu.”

Ravika tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak menyembunyikan beban daripada kebahagiaan. Tangannya merogoh ke dalam saku, lalu mengeluarkan sebuah benda kecil berkilau—sebuah kunci. Ia meletakkannya di atas meja, tepat di samping kotak kayu.

“Ini bukan kunci biasa. Ini adalah kunci ke brankas milik seseorang… yang sudah lama saya tinggalkan.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.

Arven menatap kunci itu, kemudian kembali menatap Ravika. “Seseorang? Maksudnya… suami Ibu?”

“Bukan suami lagi. Lebih tepatnya mantan,” jawab Ravika lirih. “Dia pria yang berbahaya, Arven. Kalau dia tahu kunci ini ada di tangan saya, dia akan melakukan apa saja untuk merebutnya kembali.”

Kata-kata itu membuat dada Arven mengeras. Ia mencoba mencerna, tapi terlalu banyak hal yang belum ia mengerti. “Jadi… pria tadi malam itu adalah mantan suami Ibu?”

Ravika cepat menggeleng. “Bukan dia. Itu anak buahnya. Dia sendiri tidak akan turun tangan dulu, tapi percayalah… cepat atau lambat, dia akan tahu. Mereka akan datang lagi.”

Keheningan menggantung sejenak. Arven menggenggam cangkirnya lebih erat. Dalam hati ia sadar, sejak malam tadi, ia sudah terikat dalam rahasia besar ini. Dan kini, jalan untuk mundur hampir tidak ada lagi.

“Kalau kunci ini begitu penting,” ucap Arven hati-hati, “kenapa tidak disembunyikan di tempat lain yang lebih aman? Seperti di bank… atau dibawa pergi jauh dari sini?”

Ravika menatapnya, dalam dan penuh arti. “Kadang, tempat paling aman justru di tempat yang paling terlihat. Kotak kayu tua ini tampak tak berharga di mata orang lain. Tapi hanya mereka yang tahu… yang akan mencarinya.”

Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu yang tak terucap, semacam ikatan baru yang terbentuk di antara keduanya. Arven merasakan dadanya bergetar hebat, bukan hanya karena rahasia besar itu, tapi juga karena Ravika—wanita yang makin sulit untuk ia abaikan.

Akhirnya Arven berkata, suaranya mantap, “Kalau memang mereka akan datang lagi… biar saya yang berjaga malam ini.”

Ravika terdiam. Mata indahnya berkedip pelan, seolah menimbang sesuatu. “Kamu nggak harus melakukan itu, Arven. Aku tidak mau kamu terluka karena masalahku.”

“Tapi saya mau,” potong Arven cepat. “Saya sudah terlibat terlalu jauh. Dan saya… tidak mau melihat Ibu sendirian menghadapi semua ini.”

Ravika menatapnya lama, dan kali ini, tatapannya lebih lembut. Seolah ada rasa percaya yang perlahan tumbuh. Ia akhirnya berdiri, mengambil kotak kayu beserta kunci itu, lalu berkata lirih sebelum masuk kembali ke kamarnya.

“Kalau kamu memilih tetap di sisiku… maka kamu harus siap dengan segala konsekuensinya. Karena begitu kamu tahu lebih banyak, kamu mungkin berharap tidak pernah bertanya.”

Pintu kamar Ravika tertutup. Arven duduk sendiri di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu itu. Ia tahu, apa pun yang baru saja dimulainya bersama Ravika bukan hal kecil.

Dan entah kenapa, firasatnya berkata… malam nanti akan lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Kost yang menggoda   Bayangan yang Mendekat

    Malam kembali menutup langit dengan tirai gelap. Sejak insiden pria asing yang datang membawa pesan dari Bayu, Ravika nyaris tak bisa tidur. Di kamarnya, ia duduk bersandar di kursi dengan pistol kecil tergeletak di meja. Setiap suara dari luar, bahkan sekecil ranting jatuh, membuatnya tersentak.Tiga hari. Itulah tenggat yang ditulis Bayu di balik foto tua itu. Dan malam ini, satu hari sudah berlalu. Dua hari tersisa sebelum pria itu datang sendiri.Ravika memijat pelipisnya. Sejak ia melarikan diri tujuh tahun lalu, Bayu tak pernah berhenti menghantui pikirannya. Ia tahu, jika Bayu benar-benar muncul, itu bukan sekadar pertemuan lama. Itu adalah hukuman.---Arven mengetuk pintu kamar, kali ini lebih pelan dibanding sebelumnya. “Bu Ravika? Boleh saya masuk sebentar?”Ravika menoleh, menimbang apakah sebaiknya ia menolak. Tapi akhirnya ia mengangguk, membuka pintu. Arven masuk dengan wajah masih pucat, meski luka di pelipisnya sudah ia tutup dengan plester.“Bagaimana kabarmu?” tanya

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Tertinggal

    Langkah-langkah kecil bergema di trotoar basah pagi itu. Udara dingin sisa hujan semalam masih menusuk kulit. Ravika berjalan cepat dengan hood jaket menutupi kepalanya, sementara Arven setengah berlari di belakang, membawa ransel kecil yang tampak terlalu ringan untuk perjalanan yang bisa jadi berbahaya.“Bu, kita yakin ini jalannya?” tanya Arven sambil menyesuaikan langkah.“Tidak ada jalan lain,” jawab Ravika singkat, matanya lurus ke depan. “Kalau kita cuma menunggu, Bayu akan menemukan kita. Kita harus mendahului.”Mereka menuju terminal kecil di pinggir kota. Tujuannya bukan lari jauh, tapi mencari seseorang—Rendra Prakoso. Nama itu muncul di kepingan ingatan Ravika semalam. Rendra dulu adalah tangan kanan Bayu, tapi konon ia sempat berselisih dan menghilang setelah penggerebekan gudang bertahun lalu.Jika ada orang yang tahu kelemahan Bayu, Rendra adalah kunci itu.---Bus ekonomi tua akhirnya membawa mereka ke kota sebelah. Jalanan lengang, hanya sesekali klakson mobil terdeng

  • Ibu Kost yang menggoda   Tiga Hari Menuju Bayangan

    Pagi di kos Ravika terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah naik, tapi hawa dingin dari hujan semalam masih tertinggal. Ravika duduk di ruang tamu, menatap kosong ke cangkir teh yang sudah dingin. Di meja, amplop berisi foto masa lalunya tergeletak, seakan menjadi pengingat bahwa waktu mereka sedang dihitung mundur.Arven datang dari arah kamar, wajahnya pucat dengan perban kecil di pelipis. Luka akibat benturan semalam masih terlihat jelas, tapi sorot matanya penuh tekad.“Bu, kita nggak bisa nunggu. Tiga hari itu bukan waktu lama,” katanya sambil menarik kursi dan duduk berhadapan.Ravika menghela napas panjang. “Arven, kau bahkan belum pulih. Luka kecil bisa menjerumuskanmu pada masalah besar kalau kita gegabah. Bayu bukan musuh biasa. Orang-orang yang dia kirimkan semalam saja sudah cukup menunjukkan siapa yang kita hadapi.”Arven mengepalkan tangan di atas meja. “Justru karena itu kita harus bergerak. Kalau kita diem aja, mereka yang bakal datang nyerang duluan. Sa

  • Ibu Kost yang menggoda   Ketukan di Tengah Malam

    Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah yang masih menggantung di udara. Lorong kos sepi, hanya suara tetesan air dari atap seng yang pecah. Namun Ravika masih duduk di kegelapan kamarnya, jari-jarinya menggenggam pistol kecil itu erat-erat, seolah benda itu satu-satunya yang bisa melindunginya dari bayangan masa lalu. Lalu, suara langkah kaki terdengar. Pelan, mantap, tidak terburu-buru—seolah pemiliknya tahu persis kemana ia akan menuju. Setiap langkah membuat jantung Ravika berdegup lebih kencang. Ketukan pertama terdengar. Tok… tok… tok… Suara itu menembus kesunyian malam, membuat dada Ravika terasa sesak. “Bu Ravika?” suara berat dan dalam terdengar dari balik pintu. Bukan Bayu. Bukan juga Arven. Orang asing. Ravika terdiam, menahan napas. Ia tahu betul trik semacam ini—menggunakan suara orang lain untuk memancingnya membuka pintu. “Bu… saya diminta menitipkan paket. Katanya penting,” suara itu melanjutkan, terdengar tenang tapi terlalu dingin untuk seorang kurir

  • Ibu Kost yang menggoda   Bayangan yang Tak Pernah Pergi

    Malam di kos itu begitu sunyi. Hanya suara tetesan air dari talang yang pecah terdengar, jatuh berulang kali ke tanah becek, memecah kesenyapan. Lampu jalan redup di luar memantulkan bayangan samar di dinding kamar. Ravika duduk bersandar pada tembok dingin, lutut tertekuk, tubuhnya terbalut selimut tipis. Matanya kosong, menatap jauh, tapi pikirannya terus berputar.Wajah pria bertopeng itu muncul lagi di benaknya. Tatapan dingin itu—tajam, menghujam hingga ke dasar hatinya. Ia tahu persis siapa yang bersembunyi di balik topeng itu. Dan kesadaran itu membuat bulu kuduknya berdiri. Jika Bayu benar-benar sudah menemukannya, berarti waktunya hampir habis.Dengan tangan gemetar, Ravika meraih laci meja dan mengeluarkan sebuah foto lama. Pinggirannya sudah lusuh, warnanya mulai pudar. Di foto itu, ia masih remaja, belasan tahun, tersenyum kaku di samping seorang pria tinggi berwajah keras. Di belakang mereka berdiri sebuah gudang tua, berdinding besi berkarat. Pria itu adalah Bayu Adikara

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Terkubur

    Hujan sudah mereda, tapi langit masih bergelayut kelabu. Dari jendela kamarnya yang sempit, Arven memandangi jalan gang yang becek dan sepi. Genangan air memantulkan cahaya kuning lampu jalan, berkilau seperti serpihan kaca yang pecah. Udara malam begitu lembap, menusuk hingga ke tulang, membuatnya sulit bernapas lega.Seharusnya ia bisa tidur malam ini. Tubuhnya letih, tapi pikirannya berputar liar. Kata-kata Ravika terus terngiang, berulang-ulang, seperti gema yang menolak pergi:“Semakin kau tahu, semakin berbahaya semuanya.”Arven menghela napas berat. Ia tahu Ravika tak sembarangan mengucapkannya. Wanita itu pasti menyimpan sesuatu yang lebih gelap daripada sekadar bayangan masa lalu.Ia duduk di depan meja kecil, laptop terbuka. Cahaya layar biru pucat menjadi satu-satunya penerang di kamar itu, membuat bayangannya sendiri terlihat samar di dinding yang lembap. Dengan jari gemetar, ia mulai mengetik: Pemerasan, daerah asal Ravika, tujuh tahun lalu.Hasil pencarian bermunculan. P

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status