ホーム / Romansa / Ibu Kost yang menggoda / Permintaan yang Berbahaya

共有

Permintaan yang Berbahaya

last update 最終更新日: 2025-08-09 20:16:54

Hujan telah reda, hanya menyisakan sisa rintik yang jatuh perlahan dari ujung genting, menciptakan irama sunyi di malam yang sepi. Ruang tamu kos itu remang-remang, hanya diterangi lampu bohlam kuning yang menggantung di langit-langit. Aroma tanah basah terbawa masuk lewat jendela yang sedikit terbuka, membuat udara malam terasa semakin dingin.

Arven duduk di kursi kayu, menunggu. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna kejadian barusan—sosok pria misterius dengan tatapan tajam, wajah Ravika yang mendadak pucat, dan kalimat terakhir yang terdengar seperti ancaman. Jantungnya masih berdegup keras, seperti ada firasat buruk yang sulit ia abaikan.

Beberapa menit kemudian, pintu gerbang berderit, lalu terbuka. Ravika masuk dengan langkah cepat. Gaun rumahnya sedikit basah terkena percikan hujan, rambutnya menempel pada pipi. Wajahnya pucat, dan meski mencoba tersenyum, jelas terlihat bahwa itu senyum yang dipaksakan.

“Maaf membuatmu menunggu,” ucapnya pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh sisa suara hujan di luar.

Arven menatapnya lekat, mencoba membaca apa yang disembunyikan di balik tatapan mata itu. “Kamu baik-baik saja? Atau… harusnya aku tanya, kamu dengar apa saja tadi?” Ravika balik bertanya, duduk di kursi seberang Arven.

Arven menghela napas, lalu menjawab dengan tenang namun tegas, “Cukup untuk tahu kalau kamu sedang dikejar oleh sesuatu. Atau… seseorang.”

Ravika terdiam sejenak, menundukkan kepala. Jemarinya menggenggam tangannya sendiri erat, seolah berusaha menahan getaran yang menyeruak dari dalam dirinya. Ia terlihat rapuh, namun sekaligus keras kepala, seperti sedang menimbang sesuatu yang berat.

“Aku tidak suka melibatkan orang lain ke dalam urusanku,” katanya lirih. “Tapi sepertinya aku tidak punya pilihan lagi… selain membiarkanmu masuk lebih jauh.”

Arven mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kalau aku bisa membantu, katakan saja. Aku tidak akan lari.”

Tatapan Ravika terangkat. Ada ragu, ada takut, tapi juga secercah harapan yang tersisa di sana. “Membantu berarti kamu ikut masuk ke dalam masalahku, Arven. Dan masalah ini… tidak akan selesai dalam waktu dekat. Kamu mungkin akan terseret lebih jauh daripada yang bisa kamu bayangkan.”

Arven tersenyum tipis. “Aku bukan tipe orang yang suka mundur setelah melangkah maju. Kalau aku sudah di sini, aku akan tetap di sini.”

Jawaban itu membuat Ravika terdiam lama. Bibirnya bergerak seakan ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya hanya menghela napas panjang. “Pria tadi… dia mantan suamiku.”

Arven mengernyit, dadanya berdesir aneh. “Mantan suami? Jadi benar dia bagian dari masa lalumu? Apa yang dia inginkan darimu?”

Tatapan Ravika berubah dingin. Ia menatap kosong ke arah meja, sebelum menjawab dengan suara rendah, nyaris berbisik. “Hubungan kami berakhir dengan sangat buruk. Tapi dia masih saja mencariku. Ada sesuatu yang dia inginkan… sesuatu yang tidak boleh jatuh ke tangannya, apa pun yang terjadi.”

Arven mengerutkan kening, rasa penasaran menguasainya. “Apa itu?”

Ravika terdiam beberapa saat, lalu berdiri. Ia berjalan ke arah lemari kecil di sudut ruangan. Tangannya gemetar ketika membuka laci, kemudian ia mengeluarkan sebuah kotak kayu tua berukir. Kotak itu kecil, namun terasa berat ketika Ravika meletakkannya di atas meja. Ada gembok kecil yang menjaga rapat isinya.

“Inilah alasannya,” kata Ravika, suaranya terdengar getir. “Ini yang membuat dia terus mencariku. Dan aku ingin kamu yang menjaganya untukku.”

Arven menatap kotak itu lama. Kayu tua yang dingin seolah menyimpan misteri yang pekat, membuat bulu kuduknya meremang. “Kenapa harus aku?”

“Karena dia tidak akan pernah menduga kalau aku mempercayakan kotak ini pada seseorang yang baru aku kenal,” jawab Ravika dengan tegas. Tatapannya menancap tajam ke mata Arven. “Dan karena… aku percaya padamu.”

Kata-kata itu menusuk langsung ke dada Arven. “Percaya.” Sederhana, tapi begitu berat maknanya. Ada rasa bangga, haru, sekaligus takut. Ia meraih kotak itu, merasakan tekstur dingin kayunya. “Kalau dia tahu aku yang menyimpannya… apa yang akan terjadi padaku?”

Ravika tersenyum miring, senyum yang entah menenangkan atau justru menakutkan. “Kalau itu terjadi, maka kamu harus siap berhadapan langsung dengannya.”

Arven menelan ludah. Ada desir adrenalin yang aneh, tapi bukannya ingin kabur, justru ia merasa semakin tertarik untuk masuk lebih jauh. Matanya bertemu dengan mata Ravika, dan mendadak suasana berubah drastis.

Bukan hanya karena bahaya yang mengintai, tapi juga karena jarak di antara mereka semakin tipis. Ravika duduk kembali, kali ini lebih dekat, bahunya hampir menyentuh bahu Arven. Aroma parfumnya bercampur dengan sisa udara hujan, membuat dada Arven bergetar.

“Arven…” suara Ravika merendah, nyaris seperti bisikan. “Aku tahu ini gila, tapi aku butuh kamu sekarang. Bukan hanya untuk menjaga kotak ini… tapi juga untuk membuatku merasa aman. Untuk membuatku merasa… tidak sendirian.”

Arven terdiam. Kata-kata itu membuat hatinya bergetar, tapi juga membuat pikirannya kacau. Ia menatap Ravika lekat-lekat. “Kalau aku bilang iya… berarti tidak ada jalan kembali. Kamu tahu itu, kan?”

Ravika mengangguk pelan. Tatapannya begitu dalam, mengikat, seolah menjerat jiwa Arven agar tidak bisa pergi. “Mungkin memang itu yang kuinginkan. Tidak ada jalan kembali… hanya jalan ke depan.”

Mereka saling terdiam, saling menatap, dalam diam yang penuh ketegangan. Waktu terasa melambat, hanya suara tetesan air di luar yang menjadi latar. Ada sesuatu yang hampir tak terucap di antara mereka, sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar rahasia kotak kayu itu.

Namun Ravika tiba-tiba berdiri, memutus momen itu. “Simpan kotak itu baik-baik. Jangan pernah buka, jangan pernah lepaskan. Besok pagi, kalau kita masih punya waktu… aku akan ceritakan semuanya padamu.”

Arven ingin bertanya lebih banyak, tapi Ravika sudah melangkah pergi. Langkahnya tenang, namun jelas ada beban di sana. Pintu kamarnya tertutup perlahan, menyisakan Arven sendirian di ruang tamu dengan kotak misterius di tangannya.

Ia menatap benda itu lama, lalu menarik napas panjang. Malam itu, ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Dan entah kenapa, meski bahaya jelas mengintai, hatinya justru berbisik ingin semakin jauh terlibat di dalamnya—bersama Ravika, bersama semua rahasia yang akan mengubah segalanya.

---

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak yang Tidak Bisa Mengampuni

    Hutan makin gelap, seolah seluruh langit memutuskan untuk mematikan lampu sekaligus. Ravika merapatkan tubuh Arven ke dadanya, menjaga kepala pemuda itu supaya nggak terayun. Darman berjalan beberapa langkah di depan, langkahnya cepat tapi tetap terukur, kayak orang yang tahu ia sedang dikejar sesuatu yang tidak boleh dia lihat dengan jelas.Angin bergerak aneh. Bukan angin malam biasa—ini tipe angin yang kayak bisikan rahasia lama yang akhirnya berani keluar dari bawah kasur.“Darman,” Ravika memanggil lirih. “Langkah di belakang kita makin dekat.”“Aku tahu,” jawabnya tanpa menoleh. “Dari desis tanah. Berat banget. Dan teratur. Dia bukan orang yang lagi panik. Dia orang yang punya tujuan.”Ravika merapatkan rahangnya, senyap tapi mendidih. “Tujuan yang salah.”Arven sedikit menggeliat. Nafasnya pendek, seperti tubuhnya sedang negosiasi dengan kesadaran. Jari-jarinya bergerak kecil. Ravika langsung menunduk.“Sayang… dengar aku? Kita aman bentar lagi. Kamu tahan, ya…”Arven tidak men

  • Ibu Kost yang menggoda   Proyek yang Tidak Pernah Dibubarkan

    Langkah Ravika menghantam tanah basah. Nafasnya kacau, seperti sprint dari lantai 1 ke rooftop tanpa lift. Darman berlari di belakang, setengah menyeret, setengah menopang tubuhnya sendiri yang udah protes keras.Arven di pelukan Ravika beratnya terasa dua kali lipat dari biasanya. Bukan karena tubuhnya… tapi karena ketakutan Ravika yang numpuk kayak beban ganda di pundak.Suara pertarungan di belakang—antara Bayu versi pertama dan sosok berhelm—menggaung kayak dua monster yang ngadu hidup-mati.Ravika nggak berani menoleh.Yang penting cuma satu:Arven.Tanah licin. Akar pohon menjulur kayak perangkap. Ravika hampir jatuh dua kali, tapi dia terus memegang Arven sekuat mungkin, sampai lengannya mati rasa.Darman mulai ngos-ngosan. “Vi… kita nggak bisa terus lari ke arah ini. Di depan tuh tebing kecil. Mentok.”“Kalau kita belok kiri, kita kembali ke mereka,” Ravika menahan tangis. “Aku nggak mau Arven dekat makhluk itu lagi.”“Ada jalan lain,” Darman menunjuk ke celah antara dua batu

  • Ibu Kost yang menggoda   Orang yang Seharusnya Mati

    Hutan berubah jadi arena perang kecil, udara menggema oleh desis perangkat logam dan detak jantung tiga orang yang udah di ujung energi. Ravika menarik Arven ke dadanya, Darman gemetar sambil menahan sakit di tulang rusuk, dan sosok berhelm itu berdiri lagi seperti mesin yang nggak bisa dibanting dua kali.Tapi fokus semua orang pindah ke satu figur baru:Laki-laki kurus, rambut kusut, wajah pucat seperti orang yang habis kebangkitan kedua. Tatapannya liar, bukan liar berbahaya—tapi liar seperti seseorang yang udah terlalu sering lari dari kematian.Dia menatap Ravika.Panas. Intens. Seakan melihat hantu.Padahal dialah hantu itu.Ravika menelan ludah. “Kamu siapa?”Laki-laki itu mengerjapkan mata. “Nama tidak penting.”Ia menoleh ke arah sosok berhelm. “Yang penting: dia tidak boleh mengambil bocah itu.”“Arven?” Ravika menunduk sedikit, melindungi tubuh yang ia peluk.“Kenapa kamu sebut dia begitu?!”Laki-laki itu menatap Arven, bibirnya menegang.“Aku tahu wajah itu.”Ia menutup ma

  • Ibu Kost yang menggoda   Jejak Kaki yang Tak Punya Nama

    Langkah Darman makin cepat, bahunya tegang, kayak orang yang sadar kalau waktu udah nggak lagi berlari… tapi jatuh bebas.Ravika mengikuti dari belakang sambil memeluk kepala Arven yang pingsan. Nafasnya pendek, tapi matanya fokus kayak lampu sorot yang cuma punya satu target: jaga Arven tetap hidup.Angin di hutan mulai berubah ritmenya—nggak lagi bentuk melodi natural, tapi ketukan yang terlalu teratur.Seakan ada sesuatu yang berjalan selaras dengan mereka.“Sejak kapan dia ngikutin?” bisik Ravika tanpa berhenti melangkah.“Dari sebelum aku nemuin kalian.” Darman tidak menoleh. “Langkahnya gede. Berat. Kayak seseorang yang membawa alat atau armor… entah apa.”“Orang?”“Kalau manusia biasa, ya harusnya ketahuan dari tadi.”Nada Darman jatuh berat—dan kalimat itu membuka pintu rasa takut yang Ravika sembunyikan.---Hutan makin rapat. Cahaya matahari tinggal serpihan yang menetes lewat celah dedaunan. Burung-burung hilang. Serangga nggak bunyi. Atmosfer kayak presentasi yang tiba-tib

  • Ibu Kost yang menggoda   Sosok di Balik Rerimbunan

    Hutan sore itu sunyi kayak kantor pas weekend—kosong tapi bikin merinding kayak ada yang ngintip dari tiap cubicle. Ravika menahan napas, tubuhnya tegang, matanya menyisir setiap sudut bayangan di antara batang pohon.Angin menyapu rambutnya, halus tapi ada getirnya.Sesuatu sedang bergerak.Sesuatu yang bukan Arven.“Keluar,” ujar Ravika dengan suara rendah yang lebih mirip peringatan. “Jangan bikin aku ulang masa lalu yang udah harusnya dikubur.”Diam.Tapi diam di hutan bukan berarti aman.Diam seringkali berarti seseorang sedang memilih waktu terbaik untuk muncul.Sret.Ravika spontan menoleh.Ada siluet hitam melintas cepat.Ringan.Cekatan.Nggak kayak hewan liar.Ini manusia.Atau… sesuatu yang memakai tubuh manusia.Ravika menunduk, mencoba mendekati Arven. Tapi langkahnya berhenti ketika dedaunan di belakangnya bergerak lirih. Hutan seperti memerangkap napasnya sendiri.“Lo jauh dari rumah, Ravika.”Suara itu muncul dari arah kanan—serak, tapi bukan suara Bayu. Bukan suara Da

  • Ibu Kost yang menggoda   Arven Terjatuh di Tengah Hening

    Langit siang memudar ke abu-abu pucat, kayak filter Instagram yang dipaksa turun saturasinya sampai hidup kelihatan sepi. Arven berjalan sambil menahan nyeri di pinggang—luka lama yang dibuka paksa semalam, plus badan yang udah diporsir lebih dari batas manusia normal. Nafasnya pendek-pendek, kayak WiFi lemot yang maksa connect.Setiap langkah berasa kayak gerinda di dalam tulang.Tapi ia terus maju.“Aku harus jauh dulu… sebelum dia keseret masalahku lagi.”Kalimat itu muter terus di kepalanya. Ravika mungkin marah. Mungkin nyari. Mungkin nangis. Tapi Arven nggak mau dia kena apa pun lagi hanya karena dirinya. Dunia udah terlalu banyak lempar batu ke hidup Ravika, dan Arven nggak mau jadi batu berikutnya.Angin siang menampar wajahnya—kencang, kering, dan jahat.Arven berhenti. Mengusap keringat yang bercampur debu. Menatap ke belakang, hutan masih menjulang raksasa, diam, seolah tahu sesuatu yang tidak ia tahu.Tiba-tiba pandangannya berkunang.Sret.Dunia kayak diputar paksa.Rasan

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status