Share

Mencurigakan

"Ibu jujur aja, Ibu kan yang memesan kue tart itu sebagai kejutan untuk Arka?" tanyaku.

"Ibu kalau mau ngasih apa-apa selalu jujur, contohnya saat mecahin celengan dan saat ngasih anting."

"Lalu siapa yang memesan kue ini?"

"Coba tanya suamimu."

"Apa Mas yang membelikan kue tart ini?"

"Jangankan membelikan kue, jujur saja mas lupa dengan ulang tahun Arka, karena memang kita jarang sekali merayakan ulang tahun anak-anak kita.

"Mas gak usah bohong, ngaku aja, Mas pasti ngasih surprise kan buat Arka?"

"Mas berani bersumpah, kan tiap pulang narik angkot, semua uang selalu diberikan padamu."

"Ya sudahlah, gak usah ribet, kita syukuri saja, mungkin ada orang baik yang ngasih rejeki secara diam-diam," ujar ibu mertua.

"Kok kebetulan banget, apa ada orang lain yang mengetahui hari ulang tahun Arka?"

"Ada," jawab ibu mertua hingga membuatku langsung menatapnya dengan penuh tanya.

"Siapa?"

"Bidan Eriska dan Bu Hajjah Marwah.

Seketika aku langsung mengernyitkan dahi saat mendengar ucapan ibu mertua.

"Kamu ingat gak, Bidan Eriska menggratiskan biaya persalinan saat kamu melahirkan Arka, lalu Bu Hajjah Marwah adalah satu-satunya orang yang memberimu hadiah peralatan bayi saat itu."

"Apa iya mereka, ya, Bu?"

"Bisa jadi."

"Berarti aku harus berterimakasih pada mereka."

"Gak perlu, mereka adalah tipe orang yang ikhlas yang gak suka jika hadiahnya diketahui oleh orang-orang."

"Horeeeee! Kue bolu ulang tahuuuuun!" Seru Arka yang tampak sangat bahagia saat melihat kue tart berhiaskan krim coklat dengan beberapa buah leci dan strawberry diatasnya.

Bahkan kue tart tersebut telah dilengkapi dengan lilin angka 9.

"Seumur-umur, aku belum pernah merayakan ulang tahun dengan bolu sebagus ini," ujar Aldi

"Iya, aku juga." Elsa menyahut.

"Bagaimana kalau kalian semua tiup lilin bersama-sama, anggap saja hari ini ulang tahun kalian semua," ujar ibu mertua.

Setelah itu kami semua menyanyikan lagu ulang tahun, lalu setelah itu keempat anakku meniup lilin secara bersamaan.

"Maaf ya, ibu gak bisa ngasih Arka kado," ujarku.

"Gaka apa-apa, Bu. Bolu ini saja sudah lebih dari cukup," ujarnya sembari menatap bolu tersebut seolah tak sabar untuk segera menikmatinya.

"Apa keinginan Arka sekarang?" tanya ibu mertua.

"Aku berharap kita semua jadi orang kaya raya, banyak uang dan punya rumah yang besar."

"Kan nenek sudah bilang, jadi orang kaya raya itu belum tentu bahagia. Bagaimana kalau ternyata, setelah kaya raya, kamu kehilangan semua yang kamu miliki saat ini?"

"Aku gak mau bohong, Bu, aku juga mau jadi orang yang kaya raya." Aku menyahut.

"Kenapa?"

"Jujur saja aku sedih melihat suamiku dimarahi bahkan sampai dipukuli oleh seseorang, gara-gara mobil orang itu tergores oleh angkot Mas Andre. Padahal sebenarnya yang salah dia, karena dia nyalip sembarangan."

"Dari mana kamu tahu?"

"Dari temanmu, Erwin."

"Sudahlah, itu hal sepele, ngapain dipikirkan?"

"Aku juga sedih melihat Ibu tidur berdesakan bersama anak-anak, lalu Ibu harus capek antar jemput Elsa ke sekolah disaat aku harus bekerja nyari uang tambahan."

"Ibu gak pernah merasa kerepotan dengan semua itu."

"Aku juga sedih saat mengingat Ibu merelakan nasi Padang kesukaan Ibu buat aku."

"Ya ampun, Melati, itu nasi Padang masih terus kamu ungkit-ungkit, ibu ini sudah tua, sudah harus mengurangi makanan seperti rendang."

"Aku juga pernah melihat Ibu ngiler saat melihat acara TV yang menayangkan makanan endol surendol itu, pasti Ibu bosan kan makan orek tempe dan oseng kangkung terus?"

"Lebay kamu Melati, mending kita semua makan kue tart ini," ujarnya sembari memotong kue bolu tersebut lalu menyuapi anak-anak.

Hari ini tak akan pernah terlupakan, rasanya aku ingin terus merasakan kebahagiaan ini. Setelah kenyang memakan kue bolu, keempat anakku tampak mengantuk, lalu ketiganya bergegas masuk kamar.

"Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku juga mau kaya raya seperti dulu," ucap Mas Andre tiba-tiba.

"Justru ibu khawatir, kalau kamu kaya raya, kamu malah akan seperti ayahmu yang selalu sibuk bekerja, lalu tiba-tiba ketahuan berselingkuh."

"Apa?" Aku sangat terkejut saat mendengar hal tersebut, karena selama ini tak banyak yang kuketahui tentang ayah mertua, kecuali ia meninggal kecelakaan mobil hingga meregang nyawa.

"Iya, ayahmu suka foya-foya dan main perempuan, padahal kami berjuang bersama-sama untuk memiliki semua harta kekayaan itu."

"Jadi, dulu Ibu wanita karir?"

"Betul, ibu sempat menjadi wakil direktur. Namun, tiba-tiba ayahnya Andre menyuruh ibu berhenti mengurus perusahaan. Hingga akhirnya ibu tahu bahwa alasan ia menyuruh ibu tak lagi bekerja adalah karena ia berselingkuh dengan sekretarisnya."

"Lalu semua harta kekayaan Ibu habis karena Ayah memiliki banyak hutang?" tanyaku.

"Iya. Dulu kehidupan kami harmonis saat masih hidup sederhana, lalu hubungan kami merenggang setelah meraih kesuksesan, hingga akhirnya ibu kehilangan semuanya gara-gara kebodohan ayahnya Andre."

"Yang salah itu adiknya Ibu. Tiba-tiba dia muncul lalu merebut semua harta kita," ujar Mas Andre tiba-tiba.

"Karena ayahmu memiliki banyak hutang padanya, makanya kita kehilangan semua aset berharga yang kita miliki."

"Sepertinya dia juga yang menyebabkan aku kesulitan untuk kembali mendapatkan pekerjaan di kantor lagi."

"Sudahlah, yang harus kamu lakukan adalah instrospeksi diri. Coba ingat-ingat, apa saja kesalahan kamu dulu?"

"Dulu aku sombong, suka main perempuan, suka membantah ucapan ibu, suka nyakitin orang dan suka semena-mena."

"Hah? Apa kamu bilang?"

Aku sangat terkejut saat mendengar penuturan Mas Andre, karena kami berkenalan setelah ia kehilangan semua kekayaannya, lalu saat itu Mas Andre yang kukenal adalah seorang lelaki baik, pengertian, rendah hati dan bisa menghargai orang lain.

"Betul, dulu ketiga anak ibu semuanya gak ada yang beres. Semuanya sombong dan arogan, mereka semua suka merendahkan orang lain, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan semua yang diinginkan."

"Tapi sekarang aku sudah banyak berubah, kan, Bu?"

"Iya, semoga saja kamu benar-benar berubah."

"Sepertinya Mas Andre sudah benar-benar berubah, Bu, karena sejak pertama kali mengenalnya, dia sudah sangat berbeda dengan yang Ibu ceritakan."

"Jadi, apakah kamu masih ingin menjadi orang kaya raya?" tanya ibu mertua sembari menatapku.

"Jujur saja aku masih penasaran bagaimana rasanya menjadi kaya raya."

"Saran ibu sih, syukuri saja apa yang kamu miliki saat ini, karena saat memiliki banyak uang, belum tentu kamu akan sebahagia sekarang."

"Tapi, apakah Ibu benar-benar tidak merasa sedih dengan kehidupan kita yang terkadang serba kekurangan?"

"Sejauh ini ibu bahagia dengan kehidupan kita," ujarnya sembari tersenyum hangat.

Aku langsung memeluknya dengan erat, rasanya aku sangat bersyukur karena memiliki ibu mertua yang begitu baik dan bijaksana.

Tiba-tiba, aku kembali terpikirkan dengan keinginanku untuk menjadi orang kaya. Sejak kecil, aku hidup serba kekurangan. Ayahku adalah seorang tukang ojek, lalu ibuku seorang tukang cuci gosok di rumah tetangga.

Sama seperti anak-anakku, aku juga tidak pernah merayakan ulang tahun, sejak kecil hingga seusia sekarang. Bahkan aku juga jarang makan enak. Makanan kami sehari-hari adalah nasi dan telur dadar dua butir dicampur terigu lalu dibagi 5. Aku juga tidak pernah memiliki boneka, hingga aku selalu dikucilkan oleh teman-teman sepermainan karena tidak bisa menyamai mereka yang bisa memiliki boneka dan juga memiliki pakaian bagus seperti Princess.

Saat ayah meninggal, aku terpaksa harus melupakan keinginanku untuk kuliah, padahal aku lulus SMA dengan nilai paling tinggi. Setidaknya aku lebih beruntung dari kakak-kakakku yang hanya lulusan SMP.

Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua saudaraku perempuan semua. Saat berusia 17 tahun, mereka berdua telah menikah.

Aku masih ingat saat kakakku bercerita tentang kejulidan ibu mertuanya yang selalu mencari gara-gara padanya juga anak-anaknya. Saat itu aku langsung berdoa agar aku diberikan ibu mertua yang sangat baik dan menyayangiku. Sementara ibu kandungku selalu mendoakan agar aku memiliki suami yang kaya raya.

Ibuku tidak matre, buktinya ibu menerima lamaran Mas Andre yang saat itu telah kehilangan semua kekayaannya. Hanya saja ibuku berharap, aku tidak mengalami nasib sepertinya.

Kenyataannya kini aku mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan Ibu. Aku harus menjadi buruh cuci gosok di rumah tetangga, lalu suamiku hanya tukang angkot.

Apakah aku kurang bersyukur? Tapi aku ingin kaya raya bukan hanya untuk diriku. Aku ingin membahagiakan ibuku yang bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan. Namun, kenyataannya ibu malah meninggal sebelum melihatku hidup berkecukupan.

Aku juga ingin anak-anakku tak lagi direndahkan, begitu pula suamiku yang harus kerja keras banting tulang dan selalu diperlakukan semena-mena. Lalu ibu mertua, jujur saja aku sangat sedih setiap kali melihatnya menjadi bahan omongan tetangga karena kerepotan mengurusi keempat anakku. Jika kami semua kaya raya, setidaknya kami semua bisa hidup enak dan dihargai banyak orang.

"Melati, jangan melamun saja, ayo cepetan tidur, ini sudah malam," ujar ibu mertua hingga membuyarkan lamunanku.

"Iya, ayo, Sayang. Kita masuk kamar," ujar suamiku.

Kami mengangguk lalu bergegas menuju kamar.

Keesokan paginya, setelah suamiku berangkat bekerja sembari mengantarkan anak-anak, aku berniat untuk kembali menitipkan Elsa dan Aurora pada ibu mertua karena aku harus kembali mencari pekerjaan.

"Melati, hari ini kamu gak usah nyari kerja, antar saja Elsa sekolah sambil menjaga Aurora, soalnya ibu ada urusan."

"Ibu mau kemana?"

"Mau melayat suaminya teman ibu yang semalam meninggal."

"Oh, ya udah, deh, Bu."

Setelah itu aku bergegas menuju sekolah TK Elsa sembari membawa Aurora.

"Hai Melati," sapa Arumi, seorang tetangga yang juga mengantar anaknya sekolah TK.

"Hai juga," jawabku.

"Tadi aku melihat mertua kamu memasuki mobil mewah, mau kemana ya?" tanyanya hingga membuatku terhenyak dan bertanya-tanya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status