Share

Kejutan

"Rahasia apa yang Ibu sembunyikan dariku juga Mas Andre?" tanyaku hingga membuat ibu mertua terhenyak lalu seketika menutup telponnya.

"Melati, bisa gak kalau masuk kamar ini kamu ketuk pintu dulu."

"Ibu jangan mengalihkan pembicaraan, rahasia apa yang Ibu sembunyikan dariku dan Mas Andre?"

"Ibu gak menyembunyikan apapun."

"Ayolah, Bu, jujur saja."

Belum selesai obrolan kami, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang membuatku bergegas meninggalkan ibu mertua. Setibanya di depan pintu, aku terkejut saat melihat Mas Angga dan Mas Elang bersama istri mereka masing-masing.

"Ibu mana?" tanya Mas Elang dengan wajah ketus.

"Silahkan masuk, Mas, Mbak, aku akan memanggil Ibu dulu."

Mereka mengangguk, lalu duduk di sebuah kursi usang pemberian pemilik kontrakan.

"Mau ngapain lagi kalian kesini?" tanya ibu mertua yang tampak tak senang saat melihat kedatangan dua anak lelaki bersama dua menantunya.

"Bu, Angga mau mengajak Ibu untuk tinggal bersama kami."

"Sama Elang aja, Bu."

"Apa-apaan, kalian? Sejak kalian menipu saya dengan menjual rumah peninggalan orangtua saya, kalian sudah bukan lagi anak-anak saya."

"Bu, tolong maafkan Mas Angga. Dia terpaksa menjual rumah itu untuk modal usaha, lalu kini usaha kami sudah lumayan maju, makanya kami mau mengajak Ibu tinggal bersama kami," ucap Mbak Lintang.

"Sama, Bu, Elang juga terpaksa melakukan itu untuk modal usaha, sekarang Elang sudah punya rumah yang besar dan usaha yang maju. Jadi ayo kita tinggal bersama Elang."

"Gak mau, ibu akan tetap tinggal di rumah ini."

"Ngapain Ibu tinggal di rumah yang sempit dan harus berdesakan dengan anak-anak Melati yang begitu banyak," ujar Mbak Wulan saat melihat keempat anakku yang baru saja bangun tidur siang.

"Ibu betah di rumah ini, Ibu gak mau ikut sama kalian."

"Kenapa gak mau, Bu? Kita akan tinggal di rumah yang besar, selain itu Ibu gak akan merasa terganggu dengan suara berisik anak-anak, karena saya hanya punya satu orang anak yang sekarang sudah SMP."

"Apa? Kalian sudah 13 tahun berumah tangga, anak kalian masih saja satu?"

"Kami berjuang, Bu. Kami berusaha untuk mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik, hingga akhirnya sekarang kami jauh lebih mapan dari Andre yang hanya tukang angkot dan tinggal di rumah kontrakan."

"Sama, Bu, saya juga baru punya satu anak, jadi ibu gak akan kerepotan seperti di rumah ini." Mbak Wulan menyahut.

"Andre dan Melati adalah anak dan mantu kesayangan ibu. Mereka sudah berhasil memberikan cucu yang ibu inginkan, ibu sangat bahagia tinggal di rumah ini."

"Ibu jangan konyol, ngapain Ibu betah hidup miskin, mending Ibu ikut kami aja."

"Pergi kalian semua! Ibu gak mau ikut kalian!" bentaknya sembari mengambil sapu.

"Ibu akan menyesal karena menolak tawaran kami."

"Baiklah, ibu akan mengatakan semuanya. Sebenarnya ibu mengidap kanker stadium lanjut, ibu sudah tak bisa mengerjakan apapun, ibu juga butuh biaya untuk melakukan kemoterapi. Apa kalian sanggup membiyai kemoterapi ibu juga mengurus ibu?"

Kedua kakak iparku beserta istrinya tampak tercengang saat mendengar ucapan ibu mertua.

"Jadi, ibu sudah gak bisa melakukan pekerjaan apapun lagi?" tanya Mbak Lintang hingga membuatku terkejut.

Bisa-bisanya dia malah membahas apakah ibu mertua sudah tak bisa mengerjakan apapun. Apa jangan-jangan niat mereka untuk membawa ibu pergi adalah untuk menjadikannya pembantu gratis?

"Iya, selama di rumah ini ibu hanya ongkang-ongkang kaki, semuanya Melati yang mengerjakan, karena ibu tak boleh kecapekan."

"Kasihan sekali Ibu, dengan penyakit separah itu Ibu harus hidup serba kesulitan," ujar Mas Angga.

"Jadi gimana? Apakah kamu bisa membiayai kemoterapi ibu secara rutin?"

"Maaf, Bu, kami juga membutuhkan banyak biaya untuk kehidupan kami. Kemoterapi itu gak murah," ujar Mbak Lintang tiba-tiba.

"Iya, saya juga gak bisa mengizinkan Mas Elang untuk membiayai kemoterapi Ibu, karena kami belum terlalu mapan," ujar Mbak Wulan

Setelah itu mereka semua buru-buru pergi meninggalkan kami.

"Benarkah Ibu mengidap kanker?" tanyaku setelah mereka semua pergi.

"Enggak, ibu cuma bercanda."

"Syukurlah, Bu. Aku tadi sempat khawatir."

"Kalau benar ibu mengidap kanker bagaimana?"

"Aku dan Mas Andre akan berusaha sekuat tenaga mencari biaya untuk pengobatan ibu."

"Terimakasih, Melati," ujarnya sembari menatap haru padaku.

"Aku berharap Ibu selalu sehat dan panjang umur, agar Ibu bisa melihat saat aku sukses nanti."

"Memangnya kamu yakin bahwa kamu akan sukses?"

"Aku yakin, Bu."

"Teruslah berkhayal jika itu bisa membuatmu bahagia," ujarnya lalu menertawakanku.

"Bu, sebenernya tadi Hendrik datang ke sekolah," ujar Aldi tiba-tiba.

"Mau ngapain lagi dia ke sekolah, bukankah dia sudah dikeluarkan?"

"Dia mengundang semua teman sekelas untuk menghadiri ulang tahunnya, kecuali aku. Katanya, aku gak selevel dengan mereka."

"Tak perlu kamu pedulikan dia, buktikan sama dia kalau kamu bisa bahagia tanpa undangan tersebut," ucap ibu mertua.

"Aku juga belum pernah merayakan ulang tahun, selain itu aku juga belum pernah diundang oleh temanku yang ulang tahun. Karena aku dinilai tak selevel dengan mereka." Tiba-tiba Arka menyahut.

"Hal seperti itu tidak penting, nanti kita rayakan ulang tahun kamu bersama keluarga. Teman kamu itu pasti ulangtahunnya dirayakan hanya bersama pembantu dan teman-temannya, karena kedua orangtuanya selalu sibuk bekerja."

"Aku bosan merayakan ulang tahun hanya dengan lilin tanpa bolu, aku bosan hidup miskin!" teriak Arka sembari bergegas menuju kamarnya.

Kulihat ibu mertua menatap anak keduaku itu dengan tatapan nanar, lalu bergegas menuju dapur.

"Aldi, tolong jaga Aurora dan Elsa, ibu mau bicara sama Arka."

Anak sulungku itu mengangguk, lalu aku segera menghampiri anak kedua.

"Arka, Sayang. Jangan seperti itu, ya. Nenek pasti sedih saat mendengar perkataan Arka tadi."

"Kenapa sih, Bu, kita harus miskin terus?"

"Arka berdoa sama Allah, agar Arka bisa mendapatkan semua yang Arka mau."

"Bu, tapi besok itu kan Arka ulang tahun, kalau tidak bisa dirayakan, setidaknya Arka bisa memakan bolu ulang tahun."

"Maafkan ibu. Tapi ibu memiliki banyak keperluan, apalagi sekarang Elsa sudah masuk TK."

Kulihat anakku langsung menatap mataku yang nanar, aku ingin memberikan semua yang mereka mau, tapi aku tidak mampu melakukannya.

"Maafkan Arka karena sudah membuat Ibu sedih," ujarnya sembari mengusap air mataku.

"Arka minta maaf sama Nenek, ya. Kita harus bersyukur karena memiliki keluarga yang lengkap. Tahukah Arka, sejak kecil neneknya ibu sudah meninggal, ayahnya ibu juga. Setidaknya Arka jauh lebih beruntung dibandingkan ibu."

Anak lelaki berusia 9 tahun itu mengangguk lalu bergegas menemui ibu mertuaku.

"Nek, maafkan Arka, ya." Kulihat anak keduaku itu memeluk neneknya.

"Aldi juga minta maaf, gara-gara Aldi menceritakan tentang Hendrik, Arka jadi merajuk," ujar anak sulungku.

"Iya, nenek gak mungkin bisa marah sama cucu-cucu nenek yang ganteng."

Tiba-tiba Elsa dan Aurora langsung berlari menuju ibu mertua, lalu mereka semua berebut untuk memeluknya.

"Besok kita rayakan ulang tahun Arka, ya," ujar ibu mertua.

"Iya, Nek. Pakai lilin aja gak apa-apa, gak perlu pakai bolu."

"Kalian sayang gak sama nenek?"

"Sayaaaaaaang," jawab mereka serentak sembari bergantian mencium pipi ibu mertua.

"Kalau seandainya kalian disuruh memilih, antara mendatangi pesta ulang tahun teman kalian yang sangat meriah atau ulang tahun nenek yang hanya meniup lilin tanpa bolu, kalian akan pilih yang mana?"

Ketiga anakku hanya terdiam, sembari menatap wajah ibu mertua. Sementara si bungsu malah anteng bermain boneka yang ia temukan dari jalan, tampaknya ia belum mengerti dengan pertanyaan ibu mertua.

"Bagaimana, kalian akan pilih yang mana? Jawab, Aldi, Arka, Elsa?"

"Aldi bingung."

Tiba-tiba ibu mertua tampak tertunduk lesu saat mendengar jawaban sulungku.

"Tentu saja Aldi akan lebih memilih merayakan ulang tahun Nenek," ujarnya sembari tertawa, diikuti oleh anak-anakku yang lain.

Lalu setelah itu mereka kembali berpelukan.

Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan kedatangan seorang kurir yang mengirimkan kue tart yang lumayan besar.

"Atas nama siapa ya, Mas, soalnya kami gak pesan?"

"Pemesan tidak mengatakan namanya, tapi alamat yang diberikan benar rumah ini, bahkan warna cat dan ciri-cirinya yang disebutkan sudah benar."

"Apakah sudah dibayar?" tanyaku.

"Sudah, Bu," ujarnya sembari menyuruhku menandatangani sebuah kertas tanda terima, lalu setelah itu ia memberikan kue tart tersebut.

"Ibu pesan bolu ini?" tanyaku pada mertua.

Ibu mertua malah menggeleng.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status