Part 42Pov SutinahBegitu mataku terbuka, aku melihat pemandangan kamar yang biasa aku tempati ada di rumahku. Aku bingung sejak kapan aku sudah ada di sini, bukankah sebelumnya aku merasakan pusing dan posisiku berada di toko emas. Emas? Kalung dan cincin yang akan aku jual? Hilang entah ke mana, aku langsung menangis begitu melihat anakku, Didik, Purwanto dan Iwan masuk bersamaan ke dalam kamar.“Alhamdulillah, Ibu sudah sadar akhirnya. Ibu kenapa pingsan di toko emas? Syukur saja pelayan toko berinisiatif menghubungi aku melalui handphone Ibu. Loh?? Kok Ibu menangis, ada apa?” cecar Didik sedangkan kedua adiknya melihat ke arahku dengan wajah cemas. “Kapan Ibu pingsan dan kenapa bisa sampai sini?” aku masih tak percaya apa yang telah terjadi padaku, begitu cepat pencopet berkumis itu mengambil perhiasan yang aku taruh di dalam tas, herannya hanya perhiasan yang dia ambil, sedangkan boks merah diletakkannya begitu saja.“Aku dihubungi oleh pemilik toko emas tapi pakai handphone
Pov DidikSaat pertama kali menerima telepon dari ibu membuatku kaget sebab seseorang mengabarkan jika ibuku pingsan di toko emas, aku pun pergi ke sana berdua dengan Iwan menjemputnya menggunakan mobil sewaan. Begitu sampai ada beberapa orang yang mengelilingi ibuku yang masih belum sadarkan diri. Aku dan Iwan langsung membawa ibu pulang ke rumah, semua barang-barangnya pun aku amankan. Hanya saja beberapa pesan yang masuk dan belum dibuka oleh ibu membuatku penasaran memeriksa gawainya, mataku melotot kaget sebab aku yakin ibu menyusun rencana untuk memfitnah dan menjatuhkan mantan istriku, Mayang.Aku seketika malu jika mengingat kejadian di rumah Mayang, Mayang dengan terang-terangan menuduh ibu membuat ulah atas penemuan belatung dan rambut pada adonan kue bolu pesanan mereka yang diduga disebar oleh orang gila yang masuk ke rumah Mayang melalui pintu dapurnya, hanya saja kami tak sempat mendapati laki-laki yang dimaksud Farida tersebut.Saat Mayang menuduh ibu, tentu saja aku b
Aku nggak habis pikir dengan apa yang dikatakan oleh Brigadir Ahmad barusan, ia mengatakan bahwa penemuan belatung dan rambut yang ditaburkan oleh orang yang diperkirakan tak waras tersebut tidak bisa dijadikan bukti masukan laporan terkait kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Farah maupun Shinta.“Yang namanya orang gila, bisa saja dia mampir karena pintu dapur terbuka … orang seperti mereka tidak bisa dikait-kaitkan dengan apa yang telah terjadi sebelumnya. Jadi laporan masih belum kuat untuk kami catat, selain itu ada pengacara yang siap menjamin Bu Farah dan Bu Shinta bahwa mereka berdua tidak akan melakukannya lagi, besok siang mereka sudah bisa bebas.” Aku dan Farida terbengong mendengar penuturan Brigadir Ahmad. Tak menyangka sama sekali.“Jadi … apa yang kami usahakan selama ini tidak membuahkan hasil?” tanyaku.“Berdasarkan video yang mereka sebar memang terbukti ada belatung dan rambut pada kue yang mereka pesan, kami sudah mengumpulkan bukti-bukti foto dan video y
Sore itu aku dan Farida mengantarkan pesanan Bu Trisno dan Bu Ida sekaligus, rumahnya yang tak begitu jauh dari rumah mantan ibu mertua tentu saja membuatku sedikit khawatir jika saja aku akan bertemu dengan salah satu dari mereka.Begitu melangkahkan kaki ke rumah Bu Trisno yang asri dengan banyaknya pepohonan yang sengaja ditanam membuat aku dan Farida betah berlama-lama di sana menikmati pemandangan sekaligus menghirup udara segar.“Ehh … kalian sudah datang? ayo masuk… kenapa berdiri di luar saja.” Bu Trisno menyapa kami yang masih betah berdiam diri di terasnya.“Pemandangan rumah Ibu bagus sekali makanya betah berlama-lama di sini, anginnya juga sepoi-sepoi bikin mata mengantuk.” Sahutku, dia tersenyum lalu mempersilahkan kami duduk di kursi teras.“Kebiasaan Ibu-ibu tua macam Saya ya hobinya menanam, hitung-hitung buat melindungi panas dari sengatan matahari, selain itu bisa juga menikmati keasrian dengan berjejernya pepohonan. Oya gimana dengan orderan Ibu, sudah siap?” tanya
“Ada apa, Kak? Kenapa Kakak kelihatan cemas begitu?” aku tak lagi menjawab pertanyaan Farida. Aku langsung memintanya tancap gas.“Kita pulang sekarang, Emi bilang Arthur jatuh dan kepalanya bocor, cepat ya laju.” Perintahku dan Farida menurut. Dalam perjalanan menuju pulang yang hanya berkisar dua puluh menit saja rasanya seperti dua hari, aku berharap bisa memejamkan mata dan motor yang aku tumpangi seketika sudah sampai di depan rumah, air mataku mulai tak terbendung. Khawatir berlebihan muncul terjadi sesuatu pada buah hatiku.Begitu kami sampai di halaman sudah banyak tetangga yang berkerumun dan aku berlari begitu saja saat Farida baru saja memberhentikan motornya, aku mencari anakku langsung masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu kulihat Emi sesekali menyeka air matanya sembari mengganti pakaian Arthur yang sudah penuh dengan darah. Aku langsung memeluk anakku yang menangis, dia pasti merasakan kesakitan yang luar biasa dan aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena pen
Mataku membuka lebar saat melihat Kiki, tetanggaku tengah memperhatikan rumahku beberapa menit, entah apa maksudnya. Tiba-tiba saja timbul rasa curigaku saat mengetahui kalau Arthur celaka di tangannya, Emi yang kebelet pipis waktu itu menyerahkan penjagaan sebentar saja ke tetangga kepo ku itu. Aku langsung berpura-pura ke luar rumah lalu melihat ke arahnya, herannya dia langsung mengalihkan pandangan ke lain dan seakan tidak melihatku. Ada yang aneh dengan orang itu, aku yakin celakanya Arthur ada hubungannya dengannya.Aku kembali masuk mengambil beberapa baskom dan Loyang untuk menyusun jualan gorenganku, di dapur aku melihat Emi yang tengah mempersiapkan potongan daun sop ke dalam mangkuk. Begitu melihatku, ia tersenyum. Memang pagi ini giliran Emi yang membantuku berjualan sedangkan Farida menjaga Arthur yang saat ini mungkin masih tidur kembali setelah bermain subuh tadi.“Mi, Kakak boleh tahu kejadian waktu Arthur celaka itu gimana kronologisnya.” Emi langsung berhenti memot
“Setahuku tadi Mas Didik hanya tahu kalau Arthur jatuh di bawah tangga dan aku tidak pernah bilang kalau Arthur kepalanya bocor dan dijahit sama dokter, Ibu dapat informasi dari mana?” tanyaku sembari memindai mereka satu persatu. Kulihat dengan jelas wajah Ibu terlihat gugup. “Ya … dari tetanggamu sekitar sini pas kami lewat tadi ada yang menyampaikan.” Sebutnya buru-buru. Ia meminta dukungan dari kedua menantu kesayangannya yang hanya bisa manggut-manggut saja.Aku tak percaya begitu saja karena aku sangat yakin jika aku tak pernah membuka mulut saat Mas Didik bertanya tadi dan soal Arthur jatuh belum ada yang tahu terutama dari keluarga mantan suamiku itu kecuali memang tetangga sekitar. “Dapat informasinya dari Mbak Kiki, kan?” pertanyaanku seakan memojokkan mantan ibu mertuaku itu. wajahnya semakin bias. “Kamu itu malah dikasih tahu, balik nanya berulang kali. Ibu ke sini itu cuma mau mengingatkan kamu kalau menjaga anak aja sudah nggak becus, terus buat apa sibuk berjualan. Y
“Ya, Bu. Jadi motor yang diambil oleh Pak Didik itu satunya atas nama dia dan satunya lagi atas nama Ibu. Kedua motor itu sama mereknya hanya beda warna saja. Tapi hanya atas namanya saja yang rutin dia bayar sedangkan atas nama Ibu, sama sekali belum dia angsur.” Hah??? “Maaf, Pak. Tapi Saya bener-bener nggak tahu kalau nama Saya dipakai buat mengambil kreditan motor, kok bisa sih Bapak percaya gitu aja memberikan kreditan sementara Saya hanya IRT yang tidak mungkin bisa membayar angsuran, lagipula memang Saya memang tidak pernah berurusan mengambil langsung motor dari tempat Bapak, Bapak silahkan cek juga tidak ada motor yang Bapak maksud.” Aku semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh petugas dari dealer sepeda motor ini.“Kami sudah terbiasa memberikan kreditan ke pada orang yang memang terbiasa mengambil produk kami, Pak Didik ini salah satu pelanggan kami dan waktu itu jelas-jelas dia memberikan jaminan bahwa Ibu juga sedang membutuhkan motor, bahkan Pak Didik sudah ditit