Asher tampak memasang wajah sebalnya. Ia yang tadi berkata akan kembali setelah jam tiga sore, ternyata tak lama dari ia pulang, kini laki-laki itu sudah kembali ke kantornya lagi. Ia berjalan masuk ke dalam ruangannya di mana Grayson dan Levi menatapnya. Ekspresi dingin Asher yang tengah kesal bisa terbaca oleh Grayson yang mengenalnya setiap hari. "Kenapa lagi? Baru juga pulang sudah kembali lagi," sindir temannya itu. Asher mendengus pelan. "Tidak apa-apa." "Ribut dengan istrimu?" tanya Grayson menebak dengan tepat. "Ayolah Bung! Kau jangan egois seperti biasanya, apa kau tidak kapok dia sudah pernah meninggalkanmu? Apa ... kau ingin ditinggalkan lebih lama dan lebih jauh lagi?" "Tutup mulutmu, Sialan!" Asher mengumpat pelan dan mendongakkan kepalanya dengan kedua mata terpejam. Ia tidak mau bercerita apapun saat ini. Mengingat rasa kesal yang ia rasakan. Hingga tiba-tiba suara dentingan di ponsel Asher berbunyi. Asher melihat pesan yang Aleena kirimkan padanya, hingga sebua
Beberapa hari kemudian, Asher dan Aleena sudah berbaikan setelah perkara kemarin. Tetapi, rasanya masih tidak menyenangkan di hati Aleena mengingat amukan Asher karena hal yang sangat sepele. Pagi ini, Aleena duduk di ruang tamu menemani suaminya yang hendak berangkat bekerja satu jam lagi. Tampak Asher sibuk sekali dengan laptop yang kini tengah ia pangku. "Sayang, apa hari ini kau pulang lebih awal?" tanya Aleena. "Hari ini ada jadwal cek up ke rumah sakit. Katanya kau ingin melihat si kembar laki-laki atau perempuan." Asher menoleh dan tersenyum tipis, sebelum kembali menatap laptopnya. "Aku sibuk, Sayang. Ada banyak urusan penting hari ini. Memangnya jam berapa ke rumah sakit?" tanya Asher. "Jam satu siang," jawab Aleena sedikit kecewa. "Aku mungkin masih ada meeting di jam-jam itu," jawab Asher. Semuanya tidak harus dipaksakan. Aleena tahu itu, ia diam dan tidak mau memaksakan Asher untuk pergi menemaninya. Tetapi, sebagai seorang Istri, Aleena merasa sedikit kecewa. Bahk
Melihat Asher di rumah sakit dengan seorang perempuan, tentu saja hal itu membuat Aleena terkejut setelah mati. Aleena mengajak Theo untuk mendekati Asher yang kini berdiri di depan ruangan bersama seorang wanita yang tengah menangis. Theo, anak laki-laki yang melihat Papanya di sana pun ikut kaget. Karena tadi Aleena mengatakan pada Theo kalau Papanya sambat sibuk hingga mereka harus pergi berdua saja. "Ma ... itu Papa!" seru Theo menunjuk ke arah Asher. Di lorong itu, Asher menoleh saat mendengar suara Theo. Laki-laki itu terkejut melihat istri dan anaknya berada di sana. Aleena menatap Asher dengan tajam penuh sakit hati. Asher benar-benar sangat terkejut. "Aleena, Theo..." Asher begegas mendekati anak dan istrinya, namun Aleena lebih dulu menarik lengan Theo untuk menjauh. "Ayo Sayang, ayo kita pulang!" seru Aleena. Theo tidak melawan dan anak itu berlari kecil mengimbangi langkah Mamanya yang berusaha dilebarkan. "Aleena ... Sayang, tunggu!" pekik Asher mengejar mereka.
Setelah Aleena menangis ditemani Asher. Wanita itupun tertidur pulas dipeluk oleh Asher meskipun berulang kali menolak dan mendorongnya. Asher semakin sadar dengan sikapnya yang keterlaluan. Saat menatap wajah sembab Aleena, wanita yang tengah tertidur lelap itu, rasa bersalah semakin merayapi hati Asher saat ini. "Maafkan aku, Sayang," bisik Asher mengecup pipi dan kening Aleena. Setelah itu, Asher menyelimuti tubuh Aleena dan laki-laki itu melangkah keluar dari dalam kamar. Asher mencari Theo di kamarnya dan anaknya itu tidak ada. "Ke mana, Theo?" gumam Asher. Saat Asher melangkah turun lantai dua, ia mendengar suara Theo menangis di lantai satu.Anak itu tampak tengah bercerita sambil menangis pada seseorang. "Papa nakal, Oma, Opa. Papa tidak mau antarkan Mama ke rumah sakit, terus hiks ... terus Theo ke rumah sakit sama Mama. Papa sama Tante-tante di sana, Mama marah, Mama sedih, Oma. Kasihan Mamanya Theo hiks ... padahal Mama dan Theo mau kasih tahu Papa kalau adiknya Theo
Beberapa hari kemudian...Asher tidak pergi ke kantor lagi selama lima hari ini. Bahkan pagi ini laki-laki itu merawat Theo dan mengantarkan putranya ke kantor. Aleena yang berada di rumah, ia sengaja bersikap dingin pada Asher agar suaminya itu sadar. Bagaimana rasanya dicemburui, sebagaimana Asher selalu cemburu pada Aleena yang bahkan hanya sekedar berbicara dengan laki-laki lain. Pagi ini, Aleena tengah bersama Bibi Julien di ruang makan. Aleena berdiri sambil mengaduk segelas susu miliknya. "Nyonya, saya perhatian dua hari ini Nyonya makannya tidak banyak. Kenapa?" tanya Bibi Julien. "Jangan sampai menjelang melahirkan, berat badan Nyonya malah turun banyak." Aleena menoleh dan tersenyum pada wanita setengah baya yang tengah membersihkan meja ruang makan. "Tidak apa-apa, Bi. Hanya ada masalah kecil saja." "Dengan Tuan, ya?" tanya wanita itu. "Saya perhatikan, Nyonya dan Tuan tidak seperti biasanya." Mendengar hal itu, Aleena diam merenung. Bahkan diam dan acuhnya Aleena p
"Aleena, ada apa, Sayang?!"Asher bergegas masuk ke dalam rumah dan mendekati Aleena dengan ekspresinya yang amat terkejut, pasalnya Asher tidak pernah melihat Aleena semarah ini. Pandangan Asher teralih pada Levi yang diam memegang pipinya yang tampak memerah. "Wanita ini ... wanita ini sudah kurang ajar!" pekik Aleena berkaca-kaca. "Wanita ini adalah sahabatnya Marsha, Asher! Dia ... dia tidak tahu apapun tentang kita, tapi seolah-olah dia tahu semuanya!" Asher menatap tajam pada Levi. "Apa yang kau katakan, heh?!""Tidak, Pak. Sepertinya Nyonya Aleena salah paham. Saya tidak berkata apapun. Nyonya Aleena—""Dia juga bilang kalau ke rumah sakit kemarin kau yang menawarkan tawaran itu padanya! Bukan dia yang mengajakmu?! Yang mana yang benar, Asher?!" pekik Aleena mencekal erat lengan suaminya dan menatapnya tajam-tajam. Aleena menggelengkan kepalanya. "Kau tahu kan, Asher ... aku tidak mau dan aku suka cara seperti ini!" Asher merangkul Aleena dan memeluk istrinya. Laki-laki itu
Usai keributan Aleena beberapa hari yang lalu dengan Levi, sekarang Aleena jatuh sakit dan tidak memungkinkan bagi Asher untuk pergi ke kantor. Karena kondisi inilah, Camelia dan Darren pun sampai datang berkunjung dengan sangat cemas melihat menantunya sakit dalam keadaan hamil yang ke tujuh bulan."Bagaimana Aleena bisa sakit, Asher? Sejak kapan Aleena sakit? Kenapa tidak menghubungi Mama dan Papa?" Camelia menatap putranya sambil duduk di tepi ranjang dan mengusap-usap lengan Aleena yang tengah berbaring. "Sejak tiga hari yang lalu, Ma. Tapi demamnya sejak semalam, panasnya juga sudah turun," ujar Asher. "Sudah turun apanya, masih panas begini kau bilang masih turun," omel Camelia. Wanita itu meraih handuk kecil basah dan ia mengompres lengan kiri Aleena yang benar-benar terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak ... cepat sembuh, Aleena," bisik Cemelia lirih. "Perutmu sudah sebesar ini, Aleena. Mama tidak tega melihatnya." Aleena merasa pusing, ia tidak membuka mata dan masih tertid
Beberapa Bulan Kemudian... Terlepas dari semua masalah pekerjaan yang selalu datang, Theodore yang semakin hari semakin aktif bertingkah ini dan itu layaknya anak seusianya, juga Aleena yang kini sudah mengandung ke sembilan bulan. Hari demi hari dihitung oleh Aleena. Wanita itu terus berdoa sepanjang hari menunggu hari kelahiran si kembar. Bahkan dokter sudah memberikan jadwal untuk Aleena melahirkan si kembar secara operasi yang kurang tiga hari lagi lantaran kondisi Aleena yang tidak memungkinkan. Namun, entah kenapa Aleena takut saat ia membayangkannya hingga tiga hari ini ia banyak diam dan termenung. Asher yang selalu menemaninya, ia paham dengan kekhawatiran yang dialami oleh sang istri. "Aleena..." Asher mendekatinya dan laki-laki itu meletakkan sebotol susu hangat di pipi Aleena. Wanita cantik yang tengah memandangi salju itu pun menoleh cepat. Aleena tersenyum tipis pada Asher. "Emm, kau ini mengejutkanku saja," ujar Aleena menepuk pelan lengan Asher. L
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle