Pagi itu, Melody bersiap untuk mengantarkan Alea. Arjuna telah memerintahkan Rafi untuk mengantar Alea ke sekolah, namun Melody menolak dengan alasan ia ingin mengetahui perkembangan sekolah putrinya.
"Alea, ayo cepat Nak, sudah hampir siang!" teriaknya sambil menunggu Alea yang sibuk mencoba sepatu.Alea mengangkat kepala dan tersenyum, "Ayo, Bu! Alea udah siap kok, kita naik apa ke sekolah?"Melody mendekat sambil tersenyum lebar. "Kita naik angkot, Nak. Kamu suka kan?" tanyanya, sambil melirik Alea dengan penuh kehangatan."Ayoo, asyik!" jawab Alea ceria, lalu berlari menghampiri ibunya.Alea mengangguk penuh kegembiraan, tak sabar merasakan perjalanan ke sekolah bersama ibunya. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan menuju jalan besar, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan mereka, mengejutkan Melody dan Alea."Cepat naik!" seru seorang pria didalam mobil itu, yang ternyata Arjuna.Melody terdiam, kebingungan"Kerja bagus! Pokoknya sebisa mungkin kamu harus bisa pertemukan aku dengan wanita itu."Barata menutup panggilan telepon itu dengan senyum penuh kepuasan, seakan kemenangan telah sepenuhnya ada di tangannya. Akhirnya, ia berhasil mengungkap siapa wanita yang Arjuna bawa malam itu, saat pesta yang penuh teka-teki."Leo, aku akhirnya tahu siapa wanita yang bersama Arjuna itu," ujar Barata dengan nada serius, matanya tajam menatap jauh.Leo mengangkat alis, tersenyum lebar, lalu bertepuk tangan perlahan. "Wah, ini baru yang namanya bos yang selalu tepat sasaran! Apa pun yang dia inginkan, pasti dia dapatkan," ujarnya dengan nada mengagumi.Barata menarik napas panjang, seolah merenung sejenak sebelum melanjutkan. "Wanita itu... dia berbeda, Leo. Aku rasa dia bisa mengisi kekosongan yang sudah lama aku rasakan. Aku ingin dia menjadi bagian dari hidupku."Leo mengangguk penuh pengertian, lalu dengan luwes menuangkan segelas wiski ke dalam gel
"Tunggu sebentar."Pria itu tak henti-hentinya mengikuti Melody, seolah-olah enggan melepaskannya begitu saja. Melody berjalan cepat, langkahnya terasa terburu-buru menuju mobil, seolah ingin menghindari kejaran yang tak kunjung berhenti. Di dalam mobil, Rafi yang sedang menunggu menatap heran, matanya melebar melihat Melody yang tengah diikuti seorang pria yang tampak tak akan mundur."Siapa pria itu, Mel?" tanya Rafi sambil melangkah keluar dari dalam mobil, matanya menatap Melody dengan penuh rasa penasaran.Melody terdiam sejenak, menatap ke arah pria itu yang kini semakin menjauh. Dengan nada tergesa, ia berkata, "Ayo, cepat! Lebih baik kita segera pulang.Mereka buru-buru masuk ke dalam mobil, pintu ditutup dengan cepat. Namun, saat Rafi menyalakan mesin, sesuatu terasa aneh. Mobil itu mengeluarkan suara gemuruh yang tidak biasa, dan mesinnya terasa berat. Ketika ia mencoba menekan pedal gas, mobil itu bergerak pelan, seolah-olah ada ha
Melody yang hendak membuka pintu kamarnya, terhenti sejenak. Tubuhnya kaku begitu matanya menangkap sosok Sasha berdiri tepat di belakangnya. Tanpa kata, Sasha melangkah maju, mendekat dengan langkah pelan namun pasti."Sudah hampir seminggu sejak malam pertama kedua kalian. Saatnya cek hasilnya," ujar Sasha dengan suara tenang, namun matanya tajam. Ia menyodorkan kantong plastik yang berisi tiga alat tes kehamilan kepada Melody.Melody menatap kantong itu, napasnya terhenti sejenak. "Baik, Nyonya," jawabnya dengan sedikit gemetar, mengambil kantong plastik itu. "Aku akan cek sekarang juga.""Begitu selesai, temui aku di ruang tengah," ujar Sasha. Ia melangkah pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Melody yang masih berdiri, merenungi apa yang akan datang.Melody menggenggam erat kantong plastik itu, jari-jarinya terasa kaku, menahan gemetar yang tak bisa ia sembunyikan. Ketegangan kembali menyelimutinya, menghimpit dadanya. Setiap kali ia
Sasha melemparkan tasnya ke sofa begitu melangkah masuk ke dalam kamar. Ia terjatuh lemas di tepi ranjang, kedua tangannya menekan dahi, seolah tak lagi mampu menahan berat pikiran yang terus menggerus batinnya."Kenapa masalahnya tetap sama?" suara Sasha hampir tercekat, penuh dengan kekecewaan yang begitu mendalam. "Rencana bayi tabung gagal, aku sudah merelakan kamu menikahi wanita itu... Tapi apa? Semua usaha itu sia-sia, tetap saja gagal!"Arjuna terdiam sejenak, lalu memandang Sasha dengan tatapan dingin. "Jadi, kamu menyalahkanku?" "Apa kamu nggak bisa sedikit lebih rileks saat berhubungan dengannya? Apa itu terlalu sulit untuk kamu lakukan?" tanya Sasha dengan nada yang hampir seperti memohon.Arjuna menghela napas, wajahnya datar dan tak terbaca. "Hubungan ini atas dasar paksaan, jadi jangan harap hasilnya bisa seperti yang kamu inginkan.""Kalau begitu, kamu nggak akan pernah bisa punya anak, Arjuna," kata Sasha, seraya me
Suasana semakin terasa sunyi, seolah waktu terhenti sejenak. Melody pun menyelinap pergi, sejenak, untuk menyiapkan secangkir teh chamomile, berharap agar Arjuna bisa sejenak melepaskan ketegangan dan memberi sedikit ruang bagi pikirannya untuk tenang.Melihat ekspresi Arjuna, Melody bisa merasakan beban berat yang sedang dipikulnya. Tentu tidak mudah menghadapi kenyataan pahit yang tengah terjadi, hanya karena istrinya yang menolak untuk hamil. Masalah itu pun seolah meluas, menjalar ke berbagai arah, padahal yang diinginkan Arjuna hanyalah seorang anak, harapan sederhana yang terasa semakin jauh."Tuan, saya sudah buatkan teh chamomile. Ini bisa membantu mengurangi stres," ujar Melody dengan lembut, meletakkan secangkir teh chamomile di hadapan Arjuna.Arjuna memandang cangkir itu sebentar, lalu perlahan mengangkatnya. Setelah menyeruput sedikit, aroma hangat teh itu perlahan membawanya merasa sedikit lebih tenang."Sepertinya aku memang nggak b
Pakaian-pakaian itu berserakan di lantai, sementara Sasha terlelap dalam pelukan Leo, matanya terpejam, mengingat semalam yang penuh kehangatan saat mereka menghabiskan malam berdua di sebuah hotel.Beberapa menit kemudian, Sasha perlahan membuka matanya, terbangun dari tidur pulasnya. Dengan hati-hati, ia mencoba melepaskan diri dari pelukan Leo, namun tiba-tiba rasa panik menyergapnya. Ia sama sekali tak ingat apa yang terjadi semalam. Dengan cemas, Sasha menarik selimutnya dan mencari benda pengaman itu, namun tak ada apa pun yang ditemukannya."Sial! Aku kecolongan! Leo pasti sengaja melakukan ini!" teriak Sasha dengan wajah merah penuh amarah, matanya membara menatap Leo."Bangun, Leo! Bangun sekarang juga!" serunya, tangannya mengguncang tubuh Leo dengan kasar, frustasi jelas terasa di suaranya.Leo membuka matanya perlahan, kepalanya masih berdenyut-denyut, terasa berat dan pusing, seolah-olah tidur lelap semalam begitu menghipnotisnya. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih, tubu
Melody teringat akan ajakan Arjuna untuk makan malam bersama, namun kali ini ia lebih ingin mengolah hidangan sendiri. Sayangnya, saat membuka kulkas, tak ada satu pun bahan yang bisa diolah. Dengan cepat, ia meminta izin kepada penjaga vila untuk pergi ke minimarket sebentar.Mini market tersebut memang sangat dekat sekali hanya butuh beberapa langkah saja dari vila. Namun, saat Melody hendak menuju kasir, matanya tertumbuk pada sosok Barata yang baru saja memasuki minimarket. Refleks, ia membalikkan tubuhnya, terkejut dan terdiam sejenak oleh kehadiran Barata yang tak terduga.Melody berusaha menghindar dari Barata, mengamati gerak-geriknya dari kejauhan. Tampak jelas, kedua manik mata Barata terus bergerak kesana kemari, seakan tengah mencari seseorang di antara kerumunan.Melody berdiri kaku di balik rak, tubuhnya gemetar tak terkendali. Hatinya berdetak kencang, seakan melawan setiap langkah yang hendak diambilnya. "Kenapa dia ada di sini?" pikirnya, suara jantungnya mengalahkan
Sosok yang muncul di sudut mata Melody adalah Arjuna. Dengan langkah cepat dan tegas, Arjuna mendekat dan langsung menghentikan langkah Barata, berdiri di antara keduanya dengan sikap yang jelas menunjukkan perlindungan. Melody merasa sedikit lega meskipun ketegangan masih terasa di udara.Arjuna tiba tepat pada saat yang paling kritis, sementara Melody dengan sigap menepis tangan Barata dan berlari, bersembunyi di balik perlindungan Arjuna. Barata mendengus kesal, merasa semua rencananya hancur seketika akibat kehadiran Arjuna yang tak terduga."Apa yang sebenarnya Pak Barata lakukan? Saya melihat Pak Barata seolah memaksa Melody," ujar Arjuna, berusaha menahan emosinya agar tetap terkendali.Barata tersenyum dingin, mencoba menyembunyikan nada agresifnya. "Maaf, Pak Arjuna, saya hanya meminta Melody untuk mengantar saya ke toko kue. Namun, dia menolak dengan sangat keras. Pak Arjuna tahu sendiri, saya tidak suka sekali ditolak." Nadanya penuh d
Dua hari kemudian, Melody kembali menjemput Alea di rumah Suripto. Seperti sebelumnya, ia kembali harus berbohong pada Arjuna. Kali ini ia berkata akan pergi berbelanja ke supermarket—alasan yang sederhana namun cukup untuk menutupi niat sebenarnya."Kamu yakin nggak perlu diantar Alex?" tanya Arjuna, menatap istrinya dengan sorot mata yang menyimpan kekhawatiran."Nggak usah, Mas, biar Rafi yang mengantarku," jawab Melody cepat, suaranya tenang namun agak tergesa."Ya sudah... hati-hati," ucap Arjuna pelan, lalu mengecup kening Melody dengan lembut.Setelah berpamitan, Melody bergegas masuk ke dalam mobil. Hatinya berdebar. Langkahnya tampak mantap, tapi dadanya terasa sesak. Ada rasa bersalah yang mengganjal—terlalu sering ia menyembunyikan sesuatu dari Arjuna akhir-akhir ini. Dan semakin lama, beban itu makin berat.Namun Arjuna tak tinggal diam. Ia sudah cukup lama merasa ada yang berbeda dari sikap Melody. Gerak-geriknya, tatapan matanya, bahkan nada bicaranya—semuanya terasa tak
“A-Alea?” suara Melody nyaris tak terdengar, tenggorokannya tercekat.Dada Melody terasa sesak. Pandangannya mulai berkabut, air mata mendesak keluar tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba tetap tenang. Tangan kirinya meremas erat rok yang ia kenakan.Di sebelahnya, Arjuna mulai melirik penuh tanya. Ia memperlambat laju mobil. “Melody? Siapa itu?”Melody mengangkat tangan, isyarat agar Arjuna menunggu. Ia masih terpaku pada suara di ponselnya.Arjuna kini benar-benar menepi, parkir darurat di pinggir jalan. Ia menatap Melody, khawatir.Malam telah larut ketika mereka tiba kembali di rumah. Lampu ruang tamu menyala temaram, memberikan kesan hangat, namun di balik itu semua, udara terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menggantung di antara dinding-dinding rumah itu—sesuatu yang belum terucap, belum terungkap.Arjuna melepas sepatunya perlahan, lalu berjalan menuju dapur. "Aku ambil air dulu. Kamu mau?" tanyanya.Melody menggeleng cepat. "Enggak, Mas. Aku... capek, mau
Melody mondar-mandir di ruang tamu, langkahnya tak beraturan, seirama dengan kegelisahan yang semakin merayap di dadanya. Matanya tak lepas dari jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Sudah terlalu sore. Pesan dari Arjuna beberapa waktu lalu terus terngiang di kepalanya: “Jangan lupa siap-siap, ya.”"Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku jujur? Tidak, tidak bisa!" gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya mencengkeram ujung blouse yang ia kenakan, berusaha menenangkan diri, tapi sia-sia. Kepalanya penuh kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau Arjuna tahu? Bagaimana kalau semuanya berantakan?Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Melody menegakkan tubuhnya seketika, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri."Kamu sudah siap? Alea kemana?" tanya Arjuna sambil melangkah masuk, matanya langsung mencari-cari sosok kecil yang biasa menyambutnya.Melody tersenyum paksa, mencoba terdengar tenang. "Alea... ketiduran, Mas. Kat
"A-Alea... Alea... masih ada kegiatan di sekolah."Suara Melody terdengar bergetar, seperti menyembunyikan sesuatu. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak karuan. Ia berusaha keras menenangkan dirinya, tapi peluh di dahinya tak bisa berbohong. Tangannya yang menggenggam ujung bajunya gemetar halus.Arjuna menatap Melody, sorot matanya tajam namun tetap tenang."Alea mulai sibuk akhir-akhir ini? Rumah ini jadi terasa kosong," ucapnya pelan, ada nada rindu yang samar di balik suaranya."I-iya, Mas... Alea sekarang banyak kegiatan. Selain sekolah, dia juga ikut ekstrakurikuler piano... dan... les matematika juga," ujar Melody terbata, matanya sesekali menghindari tatapan Arjuna.Arjuna mengernyit, alisnya naik perlahan. "Les matematika? Sejak kapan Alea ikut les?"Jantung Melody nyaris berhenti berdetak. Ia tahu itu kesalahan. Arjuna selalu teliti soal pendidikan Alea—tak ada satu hal pun yang luput dari perhatiannya.Ia menarik napas, mencoba mengendalikan kecemasan yang mencengkeram d
“Ayah?”Suara Alea lirih, hampir tak terdengar, seperti sehelai daun yang jatuh di tengah senyap. Langkah kakinya yang biasanya lincah kini melambat, seakan setiap jejaknya menanggung beban luka yang belum sembuh. Matanya tak lepas dari sosok sang ayah, terbaring lemah di atas ranjang tua, tubuhnya lebih kurus, wajahnya pucat, seolah hidup hanya menumpang sebentar lagi.“Alea, kamu datang, Nak?” Suara Suripto serak dan terputus oleh batuk. “Ayah kira… kamu sudah membenci Ayah.”Melody berdiri di ambang pintu, dadanya sesak melihat pria yang dulu menghancurkan hidupnya kini terbaring tak berdaya. Dendam dan iba bertarung di dalam hatinya. Dulu Suripto adalah sosok yang ditakuti, keras, bahkan kejam. Tapi kini… tubuh itu tak lagi sama. Apakah ini balasan dari semesta? Tapi kenapa hatinya justru terasa nyeri?“Alea nggak benci Ayah…” jawab Alea sambil duduk di tepi ranjang. Mata bulatnya menatap ayahnya dalam. “Cuma… kadang Alea sedih. Soalnya Ayah nggak pernah datang lagi. Nggak pernah
Melody terdiam, matanya kosong menatap lantai kamar. Ia duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Kepalanya penuh gejolak—ia tahu apa yang harus ia lakukan, tapi keberanian belum juga datang. Bagaimana mungkin ia meminta izin pada Arjuna untuk menemui Suripto? Ia yakin, Arjuna tak akan pernah mengizinkannya.Suara pintu kamar yang terbuka pelan menyentaknya dari lamunan."Melody... kamu belum tidur?" tanya Arjuna, suaranya tenang, baru saja pulang dari kantor."Belum..." jawab Melody lirih. Ada jeda. Ia menarik napas, mencoba menyusun kata. "Hmm... Mas, aku... aku mau bicara sesuatu."Arjuna berjalan pelan dan duduk di sampingnya. Ia menatap istrinya yang tampak gelisah. Wajah Melody pucat, matanya beralih dari lantai ke jari-jarinya sendiri, lalu kembali ke lantai."Apa? Katanya mau bicara?" tanya Arjuna, bingung melihat istrinya seperti menahan sesuatu."Itu..." suara Melody bergetar. "Alea... besok Alea minta aku temani ke acara sekolah."Itu bukan
Seminggu sejak kembali dari liburan ke Jepang, suasana hati Melody perlahan membaik. Luka di lengannya telah sembuh sepenuhnya, dan kini ia tengah menapaki harapan baru—menjalani program kehamilan yang selama ini didambakannya. Setiap bulan, ia rutin memeriksakan kesehatan rahim dan kualitas sel telurnya, menyimpan harapan besar dalam setiap hasil yang ia terima.Pagi itu, cahaya matahari mengintip hangat dari balik jendela dapur. Dengan penuh perhatian, Melody merapikan kotak bekal makan siang untuk suaminya."Mas, ini bekal makan siangnya," ucap Melody lembut sambil menyerahkannya pada Arjuna.Arjuna menerima kotak itu dengan senyum tipis. Ia mengecup kening Melody penuh kasih. “Melody, kamu nggak merasa lelah ngurus semua sendiri? Gimana kalau kita cari asisten rumah tangga?” tanyanya hati-hati.Melody menunduk sejenak, jemarinya saling meremas kecil. “Aku masih takut, Mas… Aku belum bisa lupa apa yang dilakukan Bibi Arumi. Aku masih trauma.”Arjuna menggenggam tangan istrinya deng
Setelah insiden menegangkan semalam, Arjuna mantap mengambil keputusan: mereka harus segera pulang ke tanah air. Rasa tidak aman menyelimuti pikirannya, terlebih setelah berbagai kejadian janggal yang menimpa Melody selama di Jepang.Di ruang tunggu bandara, suasana terasa berat. Melody menggenggam tangan Alea erat, matanya berkaca-kaca.“Alea, maafin Ibu ya. Gara-gara Ibu, liburan kita jadi singkat begini,” ucap Melody lirih, penuh rasa bersalah.“Nggak apa-apa kok, Bu,” balas Alea sambil menggeleng pelan. “Alea malah kasihan sama Ibu. Lagipula… Alea juga pengen pulang.”Arjuna yang duduk tak jauh dari mereka hanya bisa tersenyum tipis menyaksikan kehangatan di antara ibu dan anak itu. Namun pikirannya belum tenang. Ada satu hal yang masih mengganggunya—siapa sebenarnya pria misterius yang mencoba mencelakai Melody?“Melody,” katanya pelan, “apa kamu masih ingat pria semalam itu?”Melody menggeleng. “Tidak. Dia pakai masker, topi… juga hoodie. Wajahnya sama sekali tidak terlihat.”“A
“Mas… wanita itu… dia memakai cincin yang sama denganku… cincin pemberianmu yang hilang,” ujar Melody lirih, suaranya bergetar saat jari telunjuknya gemetar menunjuk ke arah kerumunan.Arjuna menyipitkan matanya, menyusuri wajah-wajah yang lalu-lalang, mencoba mencari sosok yang Melody maksud. Sorot matanya berubah tajam.“Tidak mungkin, Melody… Cincin itu hanya satu-satunya. Temanku yang buat sendiri, khusus untukmu. Mustahil ada duplikatnya,” Arjuna menggeleng, nadanya keras, tapi ragu mulai merayap dalam benaknya.“Tapi aku tahu itu punyaku! Aku hapal lekuknya, bentuknya… Jangan-jangan dia yang mencurinya dariku saat di pameran dulu?” Melody tampak resah, matanya tak lepas dari wanita yang kini berjalan menjauh.Arjuna menoleh cepat, gelisah. Tangannya merogoh saku, menarik ponsel. Ia butuh bantuan—Alex pasti bisa melacak sesuatu dari sini.Namun sebelum sempat menelepon, suara kecil memotong kegelisahan itu.“Tuan Papah, Tuan Papah… Alea mau es krim coklat!” rengek Alea sambil men