Share

Bagian Dua

Berulang kali, Eva membolak-balik tubuhnya sambil menutupi telinganya dengan bantal. Dia berusaha tertidur lagi, tapi terganggu oleh suara tangisan bayi. Bahkan, dia sudah menyumpal telinga dengan earphone dan memutar instrumen penenang jiwa. Usaha untuk melanjutkan tidur tetap saja gagal gara-gara bayi itu.

"Anak siapa sih yang nangis terus? Emak bapaknya nggak kasihan apa liat anaknya nggak berhenti nangis?"

Eva melempar asal bantalnya, lalu terduduk. Dia mengembuskan napas kasar.

"Padahal ini hari pertama aku bisa istirahat setelah seminggu penuh ujian akhir semester. Aku relain nggak pulang biar bisa tenang di kos. Tidur puas tanpa dengar ceramah mama papa yang selalu nyuruh cepat lulus."

Eva merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan ilmu komunikasi. Dia mahasiswa yang pintar tapi minim kepedulian terhadap nilai dan mata kuliahnya sehingga semuanya menjadi berantakan dan nilai-nilainya anjlok.

Hari ini menjadi hari kebebasannya setelah berperang dengan materi-materi kuliah, makalah atau laporan pengganti ujian dan soal-soal ujian. Dia berencana menghabiskan harinya dengan tidur sepuasnya.

Pagi tadi, teman-teman kosnya sudah pamit pulang ke kampung halamannya masing-masing. Meninggalkan Eva sendirian di kos. Libur panjang setelah ujian akhir semester memang disambut bahagia oleh semua mahasiswa, kecuali Eva.

"Ini nggak bisa dibiarin, aku harus marahin emak bapaknya tuh bayi. Masa nggak ada usaha buat tenangin anaknya sih?"

Eva bangkit berdiri. Menarik sembarangan kardigan untuk menutupi pakaian tidurnya yang lusuh. Dia menutup pintu kamarnya dengan membanting keras.

"Eh, aduh. Bodoh baget sih Eva." Dia mengutuk dirinya setelah menydari kesalahan yang diperbuatnya. "Itu pintu susah dibuka dari luar. Gagang pintunya rusak. Nanti cara kamu masuk gimana? Otak nggak kepake sih kalau udah kesel. Main banting-banting segala."

Eva mengata-ngatai dirinya sendiri yang kadang tidak bisa mengontrol emosinya. Meskipun belum menemukan solusi membuka pintunya, dia berjalan mengikuti sumber suara tangisan bayi.

Dia terhenti di depan rumah pemilik kos atau sering disebut rumah utama. Dia memandangi pintu rumah itu tanpa melakukan apapun.

"Masa iya, bapak kos udah balik. Bukannya dia tinggal di rumah kakaknya ya?"

Eva mengingat perkataan bapak kosnya bahwa ibu kos yang meninggal setelah melahirkan anaknya. Bapak kosnya akan tinggal di rumah kakaknya sementara waktu agar anaknya terurus. Kejadian itu sudah berlalu tiga bulan lalu. Selama itu, rumah utama sengaja dikosongkan. Itu kali terakhir, Eva bertemu dengan bapak kosnya. Eva tipe anak kos yang jarang bertemu bapak kos, kecuali jika pintu kamarnya bermasalah lagi atau toiletnya sedang buntu. Kebetulan saja hari itu, dia ikut mengantar jenazah istri bapak kos.

"Apa itu suara anaknya bapak kos? Kasihan banget anak itu. Ibunya meninggal di hari kelahirannya."

"Apakah bayi itu sudah besar? Waktu aku gendong, dia masih merah."

Eva mengangkat tangannya hendak memencet bel, namun tertahan di udara. Dia tidak tahu harus menegur bapak kosnya yang membiarkan bayi itu menangis kencang dan menganggu istirahat Eva. Atau Eva membiarkan saja bayi itu menangis. Tapi, Eva tidak tega mendengarnya. Dia khawatir kalau bapak kosnya ketiduran dan tidak melihat bayinya yang jatuh, mungkin.

"Aku harus mengeceknya," kata Eva kemudian memencet bel.

Hanya sekali dan dia memilih menunggu sang empunya rumah. Jika lama tidak ada yang keluar, Eva akan menerobos masuk untuk memeriksa kondisi bayi itu.

"Eh, suara tangis bayi kok hilang?" Eva menempelkan telinga ke daun pintu.

Dia bisa mendengar langkah kaki menuju pintu. Cepat-cepat Eva menjauhi daun pintu dan berdiri agak jauh.

Seorang pria yang Eva kenali sebagai bapak kos keluar sambil menggendong bayi. Pria itu tampak kaget melihat keberadaan Eva di depan rumahnya.

"Pak, anaknya kenapa?" tanya Eva. Dia tidak lupa menampilkan senyuman pada pria itu.

"Ternyata kamu," ucap bapak kos terlihat kecewa dengan kedatangan Eva. "Ada apa, kamu perlu sesuatu?"

Pertanyaan itu yang selalu Eva dengar ketika berkunjung ke rumah utama. Wajar saja, penyewa kos datang ke rumah utama tentu membutuhkan atau melaporkan sesuatu.

Berbeda kali ini, Eva menunjuk bayi dalam gendongan bapak kos dan mengulang pertanyaannya, "Anak Bapak kenapa menangis?"

Sejujurnya, Eva merasa kurang nyaman jika memanggil pria itu dengan sebutan bapak. Yang terlihat, bapak kos itu belum terlalu tua. Umurnya sekitar 28 tahun. Lebih cocok dipanggil Mas. Tetapi atas dasar kesopanan dan segan, akhirnya semua anak kos memanggilnya bapak kos.

"Ini nih, dia lagi pup. Saya bingung cara gantinya." Dengan suara berbisik, bapak kos tampak malu mengatakannya.

"Saya bantuin ganti popoknya, boleh?" Eva menawarkan diri. Lenyap sudah kemarahannya Eva, menyisakan rasa kasihan pada bayi itu.

"Kamu bisa?" tanya bapak kos tampak ragu.

"Aku pernah menggantikan popoknya bayi, sekali." Evan mencicit di akhir kalimatnya. Dia pun ragu menggantikan popok bayi bapak kos. Atas dasar kasihanlah yang mendorongnya untuk menawarkan diri membantu.

Bayi yang pernah Eva gantikan popoknya adalah ponakannya sendiri yang berumur 2 tahun saat itu. Meskipun sama-sama batita, Eva yakin cara menggantinya tetap sama. Eva hanya perlu tempo yang lebih pelan dan halus untuk menggantikan popok bayi mungil bapak kos.

"Baiklah. Kamu masuk dulu." Bapak kos mempersilahkan. Ada binar-binar bahagia di wajahnya yang sempat tertekuk dan sedih sebelumnya.

Eva mengekor di belakang bapak kos memasuki rumah. Bapak kos meletakkan bayi mungil itu di karpet berbahan super lembut di ruang tengah. Dia berlalu menuju salah satu kamar di rumah itu.

Eva memperhatikan bayi mungil itu yang sudah sejak tadi berhenti menangis, namun bekas-bekas amukannya masih tersisa di wajahnya yang memerah. Eva tersenyum melihatnya.

'Sangat menggemaskan,' batin Eva tidak tahan ingin mencubit pipi gembul bayi itu.

Ada getaran aneh yang Eva rasakan ketika bertatapan mata dengan bayi itu. Eva yakin, bayi itu sudah bisa melihatnya. Dan Eva dibuat jatuh cinta oleh pandangan pertama bayi itu.

Eva sangat tertantang untuk mencium bayi itu. Dia mendekatkan wajahnya ke bayi mungil yang sedang memainkan tangannya. Ketika hampir menyentuh dahi bayi itu, Eva mendorong wajahnya dengan tangannya sendiri agar tidak lancang mencium bayi itu.

"Nakal banget sih pikiran gue. Mau sosor anak orang."

Eva memarahi dirinya sendiri yang hampir melewati batas. Daripada mencium bayi itu, Eva hanya menoel-noel pipinya. Eve juga mengajaknya berinteraksi dengan menggerakkan kepala dan mulutnya. Membentuk berbagai macam ekspresi untuk ditunjukkan pada bayi itu. Eva memulai aksi komunikasi bayi.

Bapak kos kembali bergabung dengan peralatan bayi yang diletakkan di samping Eva.

"Eva, saya mau minta bantuan kamu satu hal lagi," pinta bapak kos kurang enak.

"Apa itu, Pak?" tanya Eva.

"Popok bayi saya nggak ada. Kamu mau jaga anak saya saja di sini atau bantu saya beli popok." Bapak kos memberi pilihan.

"Jaga dia!" Eva menunjuk bayi itu tanpa ragu dan penuh semangat.

Bayi itu memiliki magnet yang membuat Eva tidak bisa meninggalkannya. Eva tersenyum bahagia ketika bayi itu menangkap telunjuknya dan menggenggam erat.

"Lihat pak! Anak bapak melarang saya pergi. Dia nahan saya. Bapak saja yang pergi beli popok. Percayakan bayi bapak sama saya." Eva tersenyum lebar sehingga menampilkan deretan giginya yang sedikit kuning.

Eva lupa menggosok gigi sebelum ke rumah bapak kos. Untung saja, Eva tidak bau mulut. Kemarahannya tadi yang dia niatkan akan ditumpahkan kepada bapak kos berubah haluan. Dia menjadi bahagia dalam sekejap hanya dengan melihat bayi mungil yang cantik itu.

Bapak kos itu geleng-geleng melihat perempuan muda ini yang penuh antusiasme.

"Baiklah. Nak, Kamu sama Kakak Eva dulu ya. Papa mau keluar sebentar. Jangan rewel dan jadi anak penurut sama Kak Eva. Ok?" Bapak kos menjawil pipi bayinya dan menciumnya.

Interaksi bapak dan anak itu tidak lepas dari penglihatan Eva. Perasaannya menghangat melihat bapak kos begitu mencintai dan penuh kasih pada bayinya.

"Pak, aku mau cium juga." Eva keceplosan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status