Share

Bagian Tiga

Setelah ucapan spontan yang diucapkan Eva. Yang membuat wajahnya dan wajah bapak kos berubah kaget. Keduanya kompak membuang muka karena salah tingkah.

Eva tidak memiliki pemikiran lain dari perkataannya. Dia hanya ingin meminta izin mencium bayi itu juga, tapi waktu yang dipilihnya ternyata salah. Perkataan yang membuatnya malu karena kesalahpahaman di pemikiran keduanya.

"Saya ... saya ke supermarket depan dulu. Titip Arumi. Saya segera kembali. Secepatnya." Bapak kos segera pamit untuk menghindari kegugupan dan rasa canggung yang masih membungkus Eva dan dirinya.

Eva hanya mengangguk pelan.

Ditinggal berdua dengan bayi mungil itu membuat Eva tidak bisa melakukan hal banyak selain mengajak bayi itu berinteraksi. Eva tidak berani meninggalkan tempat duduknya karena khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang hilang dari rumah ini, pasti dia yang akan dituduh. Meskipun Eva tidak pernah punya niat mengambil apapun, tapi namanya masalah akan menghampiri walaupun bukan dia penyebabnya.

Sesaat, Eva menunjukkan mainan bebek plastik ke depan wajah Arumi, tiba-tiba tangisan bayi itu pecah. Eva panik dan buru-buru ingin menggendongnya. Dia bingung harus menggendong dengan bersandar di dada dan bertumpu di bahunya atau menggendong dengan membaringkan di lengan. 

"Aduh, gimana sih cara gendongnya?" tanya Eva pada diri sendiri.

"Lehernya udah bisa nahan nggak sih ini? Kalau berdasarkan umurnya, udah bisa. Tapi kalau pas aku gendong ternyata belum nahan lehernya, gimana dong? Bisa-bisa, aku bunuh anak orang."

Eva bolak-balik menyentuh lengan bayi itu. Ragu-ragu menyelimutinya. Masih dengan pikirannya yang berusaha mencari jalan keluar, dia dikejutkan dengan tangisan bayi itu yang semakin kencang. 

Tanpa pikir panjang lagi, dia mengangkat bayi itu dan membuat lengan yang tidak seberapa panjang itu sebagai penyangga bayi itu. Memastikan kepala, leher, punggung dan pantat bayi tertahan dengan baik.

Eva menimang-nimang agar bayi itu tenang. Cukup lama Eva melakukan itu sambil mengeluarkan suara yang mengungkapkan rasa sayang pada bayi itu. Sesekali dia juga memasang ekspresi ikut sedih. Akhirnya, bayi itu diam dan menatap lurus pada Eva. 

Eva bernapas lega melihat bayi itu sudah diam. "Sayang, kamu kenapa nangis-nangis, huum? Tenang ya, ada Kakak Eva yang jagain. Ututututut sayang-sayang."

Eva tidak sadar jika dia menggendong Arumi keluar rumah saking paniknya. Dia terus-menerus menggoyangkan tangannya agar bayi dalam gendongannya merasa nyaman.

Tawa Eva pecah ketika melihat bayi itu kesulitan membuka mata karena silau dengan cahaya luar rumah. 

"Kenapa, Sayang? Silau ya?" tanya Eva gemas. "Mau masuk aja ya? Nggak sanggup melihat di sini? Iya?"

Eva berbalik hendak masuk kembali ke dalam rumah. Tetapi, suara teriakan memanggil namanya membuat dia berbalik lagi. Dan betapa kagetnya Eva ketika melihat ada orangtuanya terpaku di sana. Eva yakin, yang meneriakinya tadi adalah mamanya. Sedangkan, di belakang mama, ada ayahnya yang menatap kecewa Eva.

"Ma-mama, Papa. Kok mereka bisa ada di sini?" 

Dengan langkah lebar, mama dan papa Eva mendekat. Setibanya di hadapan Eva, tatapan tajam itu berganti menatap bayi dalam gendongan Eva. 

"Eva! Ini bayi siapa?!" tanya mama Eva penuh penekanan.

"Ini, ini tuh ... ini anak ...," Eva gugup sekaligus takut pada kemarahan mamanya. Dia tidak tahu penyebab kemarahan mamanya. Tapi itu benar-benar menakutkan. 

"Eva! Mama tanya, ini bayi siapa?! Apa ini bayi kamu? Jadi ini alasan kamu nggak pernah mau balik ke rumah kalau libur kuliah. Ternyata, kamu punya anak di sini?"

"Ma, bukan gitu. Ini bukan bayi aku. Tapi tolong, mama jangan teriak-teriak di depan bayi ini. Itu nggak baik untuk anak ini. Dia belum bisa mendengar suara terlalu keras. Kalau dia terkejut bisa bahaya, Ma." 

"Eva! Berani sekali kamu menegur mama!" Mama Eva semakin murka. 

"Ma, bener kata Eva. Jangan berteriak di dekat bayi." Papa Eva berusaha menenangkan dengan mengusap lembut lengan istrinya.

"Papa, diam saja!" bentak Mama Eva menepis tangan papa Eva. "Anak ini sudah membohongi kita. Dia tidak pernah pulang selama libur kuliah. Sudah 2 tahun, dia tidak pulang-pulang. Itu pasti karena bayi ini. Dia menyembunyikan bayi ini dari kita. Pergaulannya bebas di sini, Pa." 

"Mama!" Eva ikut meninggikan suara. Menegur ucapan mamanya yang mulai melantur.

Dia tidak terima dituduh macam-macam oleh mamanya sendiri. Memang benar, dia tidak pulang selama dua tahun. Itu karena dia malas mendengar ocehan mamanya dan tante-tante yang punya mulut besar itu. Dia malas dituntut harus bisa ini dan itu.

Teriakan Eva menganggu bayi itu. Bayi mungil itu menangis kencang. Pasti bayi ini merasa tidak nyaman dengan suasana di sekitarnya yang memanas. Tangisan bayi itu mengisi ruang-ruang kosong pertengkaran antara Eva dan mamanya. 

"Mama, nggak tahu apapun yang terjadi di sini. Mama nggak seharusnya menuduh aku seperti itu. Aku anak mama. Apa pantas seorang ibu menuduh anaknya dengan keburukan?" 

"Eva! Mama ...." Ucapan mama Eva terpotong oleh kehadiran dan suara panik seseorang.

"Eva, Arumi kenapa?" Bapak kos yang bernama Rafa itu segera mengambil alih bayinya. Dia berusaha menenangkan bayinya dan tidak memperhatikan kehadiran orangtua Eva yang menatap bingung padanya.

"Nak. Cup-cup-cup-cup, udah ya sayang nangisnya." Rafa berusaha mengentikan tangisan bayinya.

"Eva! Dia, ayah dari bayi itu?" tanya Papa Eva dengan suara tenang. 

"Iya, Pa." Kali ini, Eva bisa menjawab dengan suara terkontrol. Matanya tidak lepas dari bayi mungil itu. Sepertinya bayi itu ketakutan. Dia terus menangis.

Mama Eva yang mendengar jawaban putrinya hendak menarik kerah baju Rafa, namun ditahan Eva. Dia menatap Eva dengan tatapan tanya. Dia menjadi geram karena dihentikan.

"Ma, jangan memperkeruh masalah. Eva nggak mau dibuat malu oleh dugaan melantur Mama." 

"Lihat anak ini. Lihat, Pa. Dia sudah berani membela pria itu secara terang-terangan. Mama tidak salah lagi. Kalian ...." Mama Eva tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Dia berbalik memunggungi Eva.

"Eva, bantu dia tenangin bayi itu dulu. Papa mau tenangin mama dulu. Nanti kita lanjutkan bicara. Papa percaya sama kamu."

Mata Eva berkaca-kaca menatap papanya. Dia, Papa Eva adalah orang paling Eva sayangi dan hormati.  Papa Eva memiliki watak tenang dan bijaksana, selalu menilai segala sesuatu dengan pandangan luas. Berbanding terbalik dengan mamanya yang tidak sabaran, posesif dan suka marah-marah. Tapi, dibalik sifat bertolakbelakang orangtuanya, Eva sangat menyayangi mereka. Sifat yang berbeda itu justru menghidupkan rumah mereka. Itulah kejutan dari seorang jodoh.

"Eva, nggak seperti yang mama pikir, Pa. Papa harus percaya itu. Aku akan menjelaskan semuanya ketika mama sudah tenang. Biar mama bisa menilai bahwa Eva tidak melakukan apapun apalagi bertindak bodoh seperti yang mama pikirkan."

Papa Eva mengangguk dan tersenyum. Dia menepuk sekali pundak putrinya dan menarik istrinya sedikit menjauh dari rumah utama.

"Pak, maafin saya dan orangtua saya ya. Arumi sampai nangis ketakutan begitu." Eva mendekat ke Rafa. Dia menundukkan wajah, malu dengan keributan yang dia sebabkan.

"Tidak apa-apa, Eva. Arumi mungkin kaget dengan suara keras. Itu bukan kesalahan kamu."

"Pak, boleh saya gendong Arumi. Biar saya yang tenangin dia. Aku penyebab dia nangis, karena itu aku harus bertanggung jawab."

Setelah Rafa mengangguk, Eva memindahkan Arumi ke pelukannya. Dia melakukan hal yang sama saat dia menenangkan Arumi tadi—sebelum mama dan papanya datang.

Berhasil. 

Arumi berhenti menangis dan berusaha meraih wajah Eva. Di depan mereka, Rafa terpesona dengan kemampuan Eva menenangkan bayinya. 

'Semudah itu, Eva mampu mendiamkan Arumi.' Rafa membatin.

Rafa tertegun, kemudian mendehem. Dia menyadari suatu hal. "Sepertinya, Arumi menyukaimu," celetuk Rafa.

"Hah!" Eva kehabisan kosakata.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Miny Yoo
hustt rahasia
goodnovel comment avatar
Rsn Ou
cieeee bapak kos, terpesona sama Eva kan, kan?...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status